Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kepastian Itu Bernama Kematian

Avatar photo
248
×

Kepastian Itu Bernama Kematian

Share this article

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ

“Sungguh engkau (Nabi Muhammad) akan mati dan mereka akan mati juga.” (QS. Az-Zumar: 30)

Setiap bangun tidur, kita diajarkan untuk membiasakan membaca doa Alhamdulillah alldzi ahyanaa ba’damaa amaatanaa wa ilaihin nusyuur, segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami kembali setelah mematikan (sementara) kami dan kepadanyalah kami kembali.

Begitu membuka mata kita dianjurkan berterima kasih kepada Allah atas nikmat hidup dan masih bisa merasakan udara segar di pagi hari.

Pada dasarnya setiap pergantian hari, maka bertambahlah usia kita. Itu berarti kematian kita semakin mendekat dengan bergantinya hari demi hari. Hasan al-Bashri pernah berwasiat,

‌يَا ‌ابْنَ ‌آدَمَ، ‌إِنَّمَا ‌أَنْتَ ‌أَيَّامٌ، فَإذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ

“Wahai manusia, engkau hanyalah hari-hari. Jika satu hari telah berlalu, berarti Sebagian (usia) dirimu berkurang.” [1]

Tulisan ini mengajak kita semua untuk menyadarkan diri kita, bahwa kehidupan ini sangat singkat dan sementara. Rumah yang kita beli atau bangun bertahun-tahun akan kita tinggalkan, begitu juga dengan mobil, dan segala fasilitas dunia lainnya. Semua harta yang kita miliki tidak akan memberi manfaat saat kita di alam baka kecuali harta yang kita gunakan untuk kepentingan agama Allah dan masyarakat umum.

Nabi Muhammad saw. memuji orang-orang cerdas yang selalu mempersiapkan bekal kematian dengan sabdanya;

الْكَيِّسُ ‌مَنْ ‌دَانَ ‌نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ، مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، ثُمَّ تَمَنَّى عَلَى اللَّهِ

“Orang yang cerdas adalah yang mengevaluasi dirinya dan mempersiapkan bekal kematian, sedangkan orang bodoh yaitu yang menuruti hawa nafsu dan berangan-angan kepada Allah (ia akan diberi kebahagian di akhirat).” (HR. Ibnu Majah dari Syadad bin Auf ra.) [2]

Baca juga: Ahwal al-Mayyit, Kitab Ihwal Kematian Karya Ibnu Hajar Al-Asqalani

Jika untuk bepergian dari Surabaya ke Jogjakarta dan menginap di sana sekitar 3 hari, kita membutuhkan setidaknya bekal/biaya kurang lebih 1 juta rupiah, lalu bagaimana perjalanan menuju akhirat yang sangat jauh dan menetap selama-lamanya di sana, tidak lagi 3 hari, 1 pekan, 1 bulan, atau 1 tahun, melainkan selama-lamanya. Nabi juga menganjurkan para sahabat sesering mungkin mengingat kematian,

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَاتِ

“Seringlah kalian mengingat pengikis kenikmatan.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah ra.)

Keterangan lain menyebutkan, para sahabat bertanya kepada Nabi, apa yang dimaksud pengikis kenikmatan. Nabi menjawab, “Kematian.”

Imam Al-Laffaf juga menyebutkan dampak positif dari mengingat kematian. Ia menyebutkan ada 3 keistimewaan orang yang selalu ingat kematian; ia segera bertaubat, memiliki hati yang qana’ah/merasa cukup dan tidak rakus, dan semakin rajin beribadah. [3]

نَهَيْتُكُمْ ‌عَنْ ‌زِيَارَةِ ‌الْقُبُورِ، فَزُورُوهَا

“Aku telah melarang kalian ziarah kubur dahulu, sekarang ziarahlah kubur.” (HR. Muslim dari Buraidah ra.) [4]

Dalam redaksi lain:

قَدْ كُنْتُ ‌نَهَيْتُكُمْ ‌عَنْ ‌زِيَارَةِ ‌القُبُورِ، فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ، فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الآخِرَةَ

“Aku telah melarang kalian ziarah kubur dan aku sudah diizinkan (Allah) menziarahi makam ibuku. Ziarahlah kubur kalian karena ziarah kubur mengingatkan akan (terjadinya) kehidupan akhirat.” (HR. Tirmidzi dari Buraidah ra.) [5]

Baca juga: Memandang Kematian Sebagai Nikmat dari Allah Swt.

Kematian tidak pandang bulu. Kematian tidak hanya menyasar kepada mereka yang berusia senja, namun juga ke kawula muda. Ia tidak selalu dekat kepada orang yang sakit, namun juga kapan saja siap menjemput orang yang sangat bugar dan sehat. Jangankan kita, manusia terbaik sejagat raya yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga mengalami kematian.

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ

“Sungguh engkau (Nabi Muhammad) akan mati dan mereka akan mati juga.” (QS. Az-Zumar: 30)

Umar bin Khattab sempat tak percaya Rasulullah meninggal dunia, karena rasa cintanya yang begitu mendalam kepada Rasulullah, seakan Umar belum siap ditinggal selamanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Di hari diberitakan kematian Rasulullah, Umar membawa pedangnya berkeliling kota Madinah dan berteriak, “Rasulullah tidak mati, ia hanya pergi menemui Tuhannya seperti Nabi Musa bin Imran dan akan Kembali di tengah-tengah kita. Siapa yang berani mengatakan Rasulullah meninggal, akan aku patahkan kaki dan tangannya.”

Umar terus mengulangi ultimatumnya itu di depan para Sahabat sampai Abu Bakar As-Siddiq datang dan masuk ke rumah Rasulullah. Setelah memastikan kondisi Rasulullah, sahabat terdekat sekaligus mertua Rasulullah itu memerintahkan Umar diam dan duduk.

Lalu ia berpidato di depan para sahabat yang sedang membanjiri kota Madinah dengan air mata, “Siapa yang menyembah Nabi Muhammad, sungguh dia sudah meninggal dunia. Siapa yang menyembah Allah, sungguh Allah Maha Hidup dan tak akan mati.”

Khalifah Rasulullah itu melantunkan ayat 144 surat Ali ‘Imran yang membuat Umar sadar, tersungkur, lemas dan mengakui keyakinannya yang keliru.

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡۚ وَمَن يَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيۡئًاۚ وَسَيَجۡزِي ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ

“Muhammad hanyalah seorang Rasul/utusan Allah, sebelumnya telah datang beberapa Rasul. Apakah jika dia meninggal atau dibunuh, kalian berbalik murtad? Siapa yang Kembali murtad, maka tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur.” [6]

Jika Nabi Muhammad sosok yang sempurna dan memberikan kontribusi besar dalam kehidupan umat manusia mengalami kematian, lalu bagaimana dengan kita, manusia biasa yang penuh kelemahan? Tentu kematian telah menanti kita. Marilah menjadi manusia cerdas yang mempersiapkan bekal perjalanan jauh setelah kematian. Wallahu a’lam.

Referensi:

[1] Abdul Fattah Abu Ghudah, Qimatuz Zaman ‘indal Ulama (Halb: Maktabah Mathbuat Islamiyah, 1434 H), hlm. 27.
[2] Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th), vol. 2, hlm. 1423.
[3] Al-Qurthubi, At-Tazdkirah bi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhiroh (Kairo: Darussalam, 2008), hlm. 14.
[4] Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim (Kairo: Dar Kutub Arabiyah, t.th) vol. 3, hlm. 1563.

[5] Muhamd bin Isa bin Tsaurah At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi (Kairo: Mustafaa al-Halabi, 1975), vol. 3, hlm. 361.
[6] Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum (Kairo: Darul Wafa’, 2010), 404.

Kontributor

  • Achmad Ainul Yaqin

    Bernama lengkap Achmad Ainul Yaqin, Lc., M.Ag. Pengasuh Ponpes Tafsir Hadis SHOHIHUDDIN 2 Prapen Surabaya | Narasumber Radio Suara Muslim Surabaya