Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Kisah Shafiyuddin al-Hindi Mengadili Ibnu Taimiyah

Avatar photo
27
×

Kisah Shafiyuddin al-Hindi Mengadili Ibnu Taimiyah

Share this article

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) diadili dan dipenjara kurang lebih 7 kali. Tiga di antaranya di Mesir. Motifnya beragam, dan satu di antaranya adalah polemik kitabnya yaitu Fatwa Hamawiyah. Sebuah kitab berisi jawaban atas pertanyaan sensitif tentang ketuhanan dari orang-orang Hamat Syiria. Seperti apa makna istiwa, apa makna “antara jari-jari Allah”, dan hal-hal mutasybihat lainnya. 

Gara-gara kitab itu, para ulama dikumpulkan di tempat pengadilan Dar as-Sa’adah Kairo. Pimpinan ulama yang mengadili itu adalah Shafiyuddin al-Hindi al-Urmawi (w. 715 H). Beliau istimewa bukan hanya dalam menulis, tapi juga tampil mewakili publik menjadi tokoh penting dalam mengadili Ibnu Taimiyah di tahun 705 H itu. 

Keputusan dijatuhkan, dan Ibnu Taimiyah dipenjara di Qal’atul Jabal. Sebuah penjara yang terletak di atas gunung yang dikenal dengan kawasan Benteng Salahuddin al-Ayyubi atau Qal’ah Salahuddin. Penjara itu kini dibuka untuk wisatawan. 

At-Taj as-Subki bilang bahwa al-Hindi adalah di antara ulama yang paling paham mazhab Asy’ariyah dan hal-hal rumit di sana. 

Tentu saja menilai peristiwa tersebut tergantung sudut pandang rujukannya. Kalau rujukannya orang-orang Asy’ariyah semacam at-Taj as-Subki dalam ath-Thabaqat al-Kubra, tentu saja puja-puja itu ditujukan kepada al-Hindi. 

Kalau kita membaca narasi dari Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah dan asy-Syaukani dalam al-Badr ath-Thali’ tentu puja-puji hanya ke Ibnu Taimiyah. Bahkan Asy-Syaukani komentar dengan nada meremehkan, “Ia bukan levelnya Ibnu Taimiyah!” 

Kendati tokoh kelahiran India tersebut seorang ulama unggul, ia punya hal buruk–yang sebenarnya ia bukan satu-satunya yang punya keburukan itu. Tepatnya keburukan dalam menulis. Tulisan tangannya sangat buruk sekali. Teman-temannya sampai menilai bahwa tulisan tangannya adalah tulisan paling buruk yang pernah ada. 

Suatu kali, saat di pasar, ia temukan sebuah salinan buku dengan tulisan yang sangat buruk. Ia kira tulisan itu lebih buruk dari tulisannya. Jelas itu kesempatan emas untuk membuktikan ke orang-orang bahwa tulisan tangannya masih sangat mendingan jika dibandingkan dengan salinan buku di pasar itu. 

Bukunya murah, tapi ia enggan membayar kecuali dengan harga yang mahal. Ia membelinya, lalu pulang ke rumah. Saat waktu senggang, ia membuka salinan buku itu dan amat terkejut, 

“Ternyata itu tulisan tangan lamaku,” kelakarnya, sebagaimana dikisahkan dalam ath-Thabaqat al-Kubra. 

Bukan hanya yang mendengar yang tergelak, saya pribadi yakin bahwa penulis kitab al-Faiq dan Nihayatul Wushul dalam Ushul Fiqh itu juga pasti terkekeh ketika tahu bahwa buku yang direncakan sebagai bukti bahwa tulisannya tak buruk-buruk amat itu ternyata tulisan tangannya sendiri.

Kontributor

  • Alfan Khumaidi

    Alumni Blokagung yang kini berdomisili di Mesir. Meminati kajian keislaman dan aktif di PCI NU Mesir.