Di tengah gegap gempita kemajuan keilmuan dan teknologi, jarak tak lagi menjadi soal. Kehadiran pesawat terbang membuat orang mudah bersafari ke negara lain dalam waktu yang singkat dan cepat. Ada orang yang bepergian untuk tujuan melancong, tamasya, liburan, urusan kerja, dan menuntut ilmu.
Lantas bagaimana hukumnya tinggal di negara non-muslim dengan tujuan menuntut ilmu, sementara Nabi dalam haditsnya yang diriwayatkan bersabda, “Saya terbebas (lepas tanggung jawab) dari seorang muslim yang tinggal di wilayah kaum musyrikin.”
Pengambilan putusan hukum boleh tidaknya orang belajar di negara non-muslim tidak bisa sembarang asal dan ugal-ugalan. Dibutuhkan perincian yang mendalam baik dari segi riwayat, diroyat haditsnya serta fiqh al-waqi’iyah (fikih realitas) juga maqoshidus syariahnya.
Anjuran Islam untuk menuntut ilmu
Agama Islam sangat memuliakan ilmu dan mendorong pemeluknya untuk terus belajar. Bahkan Allah sendiri menjamin akan memberikan derajat yang tinggi bagi setiap hambanya yang berilmu.
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ
Artinya: “Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS Al-Mujadalah; ayat 11)
Imam al-Qurtubi dalam kitab al-Jami’ li Ahkami al-Quran berkata:
[أي: في الثواب في الآخرة وفي الكرامة في الدنيا، فيرفع المؤمن على من ليس بمؤمن، والعالم على من ليس بعالم؛
Artinya: “Yakni, pahala di akhirat dan kemuliaan di dunia, sehingga seorang mukmin ditinggikan derajatnya di atas orang non-muslim, dan orang berilmu di atas orang yang tidak berilmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Imam Ibn Mas’ud Allah memuji para ulama dalam ayat ini bermakna bahwa Allah mengangkat orang-orang yang berilmu di atas orang-orang yang beriman dan yang tidak berilmu, dalam artian keluhuran derajat dalam agama mereka jika mereka melakukan apa yang diperintahkan.
Keutamaan menuntut ilmu di dalam hadits Nabi SAW antara lain adalah sebagai berikut:
عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ أَبِي الدَّرْدَاءِ بِدِمَشْقَ، فَقَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا، سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا بِمَا يَصْنَعُ، وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِمِ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، حَتَّى الْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْبَحْرِ،»
Artinya :” Dari Katsir bin Qois berkata, Saya berada di sisi Abi Darda’ di Damsyiq, Ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa berjalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga, dan para malaikat meletakkan sayap-sayapnya (sebagai tikar) karena ridlo (senang) terhadap apa yang sedang ia kerjakan, dan sesungguhnya mahluq-mahluq yang ada di langit dan bumi serta ikan-ikan yang ada di tengah laut sungguh-sungguh memintahkan ampunan (dari Allah) untuk orang ‘alim,“
Setiap Sarana Memiliki Maqosidul hukum
Sudah menjadi kaidah umum bahwa sebuah sarana memiliki maqosidul hukum nya sendiri. Ketika sesuatu menjadi sarana menuju sesuatu yang halal, maka ia hukumnya halal, dan sebaliknya ketika ia menjadi sarana menuju sesuatu yang terlarang, maka ia hukumnya haram.
Imam Izzudin ibn Abdis Salam berkata dalam kitab “Qowaid al-Ahkam”:
“Sarana-sarana memiliki maqosidul hukum masing-masing, maka sarana untuk tujuan yang baik adalah sarana yang terbaik, dan sarana untuk tujuan yang buruk adalah sarana yang terburuk”.
Ulama lain, Imam al-Qarafi dalam kitab “Al-Furuq” berkata:
“Sebagaimana sarana untuk sesuatu yang diharamkan adalah haram, maka sarana untuk sesuatu yang diwajibkan adalah wajib. Sumber-sumber hukum itu ada dua macam:
1. Maqashid, yaitu sesuatu yang mengandung antara maslahat (kebaikan) dan mafsadah (keburukan).
2. Sarana, yaitu jalan yang mengantarkan kepada keduanya, dan status hukumnya mengikuti kepada sesuatu antara yang diharamkan dan dihalalkan itu, tetapi kekuatan hukum dan derajatnya lebih rendah dibandingkan maqashid.”
Hukum tinggal di negara non muslim untuk menuntut ilmu
Apabila menuntut suatu ilmu diwajibkan oleh syariat, maka semua jalan yang mengantarkan kepada ilmu tersebut adalah halal, kecuali jika jalan tersebut dilarang oleh syariat atau mengantarkan kepada hal yang dilarang maka jalan kepadanya juga haram.
Jika tinggal di negara non-Muslim merupakan sarana untuk mendapatkan ilmu, dan menetapnya di sana ia merasa aman baik dalam agamanya, jiwanya, dan kehormatannya, serta dapat mempraktikkan agamanya tanpa dihalangi atau dibatasi, maka tinggal di negara tersebut hukumnya sah.
Perundang-undangan internasional modern telah menjamin semua orang dari semua ras dan agama atas hak untuk keamanan pribadi, harta benda dan keluarga serta hak untuk menjalankan agamanya tanpa halangan atau pembatasan di Negara manapun yang mereka masuki melalui jalur hukum yang lazim.
Pasal 2 ayat 1 Kovenan Internasional tentang Hak Asasi Manusia menyatakan [Setiap Negara Peserta Kovenan ini berjanji untuk menghormati hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dan menjamin hak-hak ini bagi semua orang yang berada di dalam wilayahnya dan yang tunduk pada yurisdiksinya, tanpa pembedaan apa pun atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya].
Hidup berdampingan secara damai dan menolak kekerasan serta kebencian di antara semua individu dari berbagai ras dan agama merupakan salah satu nilai yang ditekankan oleh Sekretariat Umum Badan Fatwa dan Otoritas di Dunia, dan “Dokumen Yurisprudensi dan Toleransi Fatwa.”
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, yang sudah disebutkan di awal hal ini dipahami sebagai orang yang tidak bisa menjaga diri dan agamanya di dalam rumahnya.
Dalam kitab “ Maalim al-Sunan” karangan Imam al-Khattabi menjelaskan Dirayat dan riwayat sebab turunnya hadis ini; ternyata hadis ini turun berkenaan dengan orang-orang yang tinggal di negara-negara non-Muslim pada saat kaum Muslimin berperang dengan mereka dan bersiaga menghadapi mereka, dan seorang Muslim yang tinggal di tengah-tengah mereka tidak dapat menjalankan agamanya, takut akan fitnah, dan tidak aman untuk dirinya dan harta bendanya.
Dengan demikian, dalam kasus pertanyaan tersebut, dibolehkan tinggal di negara-negara non-Muslim untuk belajar selama ia merasa aman baik agamanya, jiwanya, dan kehormatannya, dan mampu memenuhi kewajiban ibadahnya selama tinggal di tengah-tengah mereka. Wallahu a’lam bis showab.