Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Perdebatan Sifat-sifat Allah

Avatar photo
44
×

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Perdebatan Sifat-sifat Allah

Share this article

Kita tahu dalam sifat Allah Swt. ada hukum dan ketentuan. Misalnya bahwa sifat Allah tidak identik dengan Dzat-Nya Allah., justru sifat ini hanya sebagai tambahan terhadap penjelasan Dzat-Nya Allah. Seperti Allah bersifat Maha Tahu dengan pengetahuan, bersifat Maha Hidup dengan sifat kehidupan, bersifat Maha Kuasa dengan sifat kekuasaan dan seterusnya.

Tentu saja, kata Gus Ulil, hal ini posisi ulama Asy’ariyah. Perdebatan ini pada abad ke 4,5 sampai 6 Hijriyah era Al-Ghazali (sebelum dan sesudahnya) sangat luar biasa. Mengapa demikian? Karena yang berdebat di sini ada tiga aliran, yaitu pengikut akidah Asy’ariyah Maturidiyah, Ahlu Al-Hadits/Atsar (sekarang kita menyebutnya orang-orang salafi), dan kubu Muktazilah dan para Filosof.

Pertanyaannya adalah, apakah sifatnya Allah identik dengan dirinya Allah, atau sesuatu yang melebihi dirinya Allah? Kenapa pertanyaan ini penting? Bagi generasi Islam sekarang, pertanyaan ini absurd (tidak bisa dipahami). Tentu saja, orang yang awan sejarah akan berkata untuk apa membahas hal yang tidak berkaitan dengan politik kekinian.

Namun demikian, bagaimanapun ini adalah bagian dari sejarah pertumbuhan akidah, dan kita harus membacanya. Dengan kata lain, mengaji kitab Al-Iqtishad, sama dengan bertamasya melihat pemandangan-pemandangan kota kuno yang penuh kenangan indah.

Rupa-rupanya, perdebatan ini muncul karena sebab memahami konsep tauhid dalam surat Al-Ikhlas. Allah Swt. berfirman:

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ 

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa.” (QS. Al-Ikhlas [112]: 1).

Lalu seperti apa makna tunggal itu? Kubu Ahlu Al-Hadits tidak mau membahas hal ini, sebab baginya cukup mengimaninya bahwa Allah Maha Esa.

Argumentasi Muktazilah/Filosof

Berbeda dengan kelompok Muktazilah/Filosof berpandangan bahwa Allah Maha Esa itu artinya tidak tersusun oleh unsur unit dan bagian-bagian, al-ajza’. Berbeda dengan manusia yang tidak tunggal, melainkan terdiri dari unit dan bagian-bagian, murakkab. Sebab, dalam diri manusia ada badan dan roh. Seluruh tubuh manusia adalah komposit.

Acap kali dalam pikiran terbersit, Allah Maha Esa itu tidak sekedar bahwa Allah tidak mempunyai kembaran, tidak ada Tuhan selain Allah memang iya. Tetapi, makna Allah Ahad (Esa) tidak berhenti di situ, melainkan Ia tidak tersusun dari bagian-bagian yang menjadi unsur penyusun Allah seperti manusia.

Kemudian lagi, tentang tidak adanya yang mirip dengan Allah, dan Allah tidak mempunyai ajza’, simple dan tidak komposit. Jika demikian, kalau Allah memiliki sifat apakah tidak simple? Sebab, jika Allah mempunyai sifat maka bisa dipahami Allah tersusun dari bagian-bagian (ada sifat, dzat dan af’al); tersusun dari tiga dimensi.

Dan otomatis ini bertentangan dengan doktrin surat Al-Ikhlas. Inilah pandangan Muktazilah/Filosof. Dengan demikian, jika sifat itu dipahami sebagai sesuatu yang ada diluar diri Allah, maka berarti Allah tersusun dari dua unsur, yaitu diri dan sifatnya. Maka tidak disebut tauhid.

Untuk menjaga tauhid yang konsisen, maka Muktazilah/Filosof berpandangan bahwa Allah itu tidak mempunyai sifat. Karena itu, tak heran jika Muktazilah/Filosof dalam sejarah Ilmu Kalam disebut sebagai orang-orang yang menafikan sifat (nufatusshifah), atau al-munazzihah (membersihkan Allah dari unsur-unsur).

Lalu bagimana cara memahami sifat ini? Menurut Muktazilah/Filosof sifat itu identik dengan Allah, tidak terpisah dari Allah. Jadi Allah dan sifatnya menyatu-padu. Kenapa orang-orang Muktazilah/Filosof membawa doktrin ini? Karena demi dan untuk menjaga konsistensi Tauhid dalam surat Al-Ikhlas. Makanya, mereka mengklaim dirinya sebagai orang yang paling mengerti soal tauhid, ahl al-adl wa al-tauhid (mengerti keadilan Tuhan dan tauhid).

Argumentasi Asy’ariyah

Sementara itu, ulama Asy’ariyah sangat menentang doktrin ini. Orang-orang Muktazilah/Filosof dengan doktrinnya (sekilas kelihatannya) ingin memurnikan tauhid. Alih-alih memurnikan, mereka malah terjatuh pada kesalahan yang lain, yaitu menafikan sifat.

Dalam hal ini, jika sifat itu dianggap identik dengan dzat, maka sifat itu sudah tidak ada. Karena dzat dan sifat berbeda. Begitu juga jika menafikan sifat maka sudah pasti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan hadits.

Kata Gus Ulil, dalam banyak ayat al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah mempunyai sifat. Dan jika dikatakan sifat identik dengan dzat maka itu problem. Misalnya, bagaimana cara memahami dzat dan sifat itu sama?

Misalnya lagi, si A pegang microphone warna hitam dan si B pegang bolpen warna orange. Dalam hal ini jika sifat dan dzat identik, bagaimana mungkin dzat yang warnanya orange seperti bolpen dengan dzat yang warnanya hitam microphone bisa disamakan? Kalau dzat dan sifat identik, maka jika ada barang warnanya hitam, putih, merah dan lainnya berarti sama, tidak ada bedanya.

Secara tidak langsung Anda mengatakan, bahwa barang yang warnanya hitam seperti microphone dengan barang warna orange seperti bolpen itu sama, padahal secara sifat berbeda. Lalu bagaimana bisa disamakan? Yang jelas, ketika misalnya barang berwarna putih maka dia memiliki sifat yang berbeda dengan warna hitam. Sifat inilah yang membedakan antara satu jenis barang dengan lainnya.

Contohnya lagi soal ukuran. Misalnya bolpen berukuran panjang 10 cm, maka bolpen mempunyai sifat panjang 10 cm, lalu bolpen itu Anda potong menjadi 5 cm. Jika sifat dan dzat sama, maka bolpen yang tadi panjangnya 10 cm dengan 5 cm itu sama. Yang jelas tidak masuk akal karena sudah berubah. Bagaimana dzat yang punya sifat A disamakan dengan dzat yang punyai sifat B?

Tidak mungkin dzat yang mempunyai sifat A sama dengan dzat ketika dia mempunyai sifat B. Sebab sifat menambahkan sesuatu yang berbeda kepada dzat. Jadi tidak bisa dikatakan identik dengan dzatnya sendiri. Karena itu, menurut ulama Asy’ariyah bahwa Allah dan sifat-Nya adalah dua hal yang terpisah, makna dari al-shifatu zaidatun ala al-dzat.

Karena jika Anda mengatakan al-shifatu wa al-dzatu wahidatun, maka sama dengan Anda menafikan adanya sifat dan otomatis berlawanan kepada al-Qur’an dan hadits. Itu sebabnya, doktrin dari ulama Asy’ariyah adalah al-itsbat al-shifat (Allah mempunyai sifat). Inilah hukum dan kaidah sifat Allah pertama menurut ulama Asy’ariyah.

Sekali lagi, ketika kita mengatakan Allah Maha Kuasa, itu artinya Allah Maha Kuasa melalui sifatnya yaitu qudratun (kekuasaan) yang tidak sama dengan Dzat-Nya Allah. Sebab itu, jika mau dirumuskan cara ulama Asy’ariyah dalam mendiskripsikan sifat Allah mengatakan begini: Allahu Qadirun bi Qudratin Zaidatin ala Al-Dzat, Allahu Alimun bi Ilmin Zaidin ala Al-Dzat wa Laisa Huwa Dzat, Allahu Hayyun bi Hayatin Zaidatin ala Al-Dzat, Allahu Sami’un bi Sam’in Zaidin ala Al-Dzat dan seterusnya.

Berbeda dengan rumusan sifat orang-orang Muktazilah/Filosof yang merumuskan: Allahu Alimun bi Ilmin Huwa Dzatuhu (Allah mempunyai sifat Maha Tahu dengan sifat pengetahuan yang sifat itu identik dengan Dzat-Nya) dan seterusnya.

Kata Gus Ulil, rumusan-rumusan seperti ini penting kita pelajari untuk mempertajam akal. Dan jangan dianggap hal seperti sebagai bid’ah karena tidak ada di masa nabi. Tidak semua hal yang tidak ada pada zaman nabi itu jelek.

Kita tahu Islam adalah peradaban, termasuk peradaban ilmu. Tentu saja, yang namanya peradaban pasti berkembang, semakin maju zaman maka semakin maju pula keilmuaannya. Demikian juga cara membahas Allah semakin canggih. Pendek kata, belajar akidah Asy’ariyah tidak sekedar belajar iman, melainkan juga belajar penalaran (rasional).

Ketika kita menjadikan sesuatu menjadi ilmu maka tidak mungkin kita mengikuti hawa nafsu. Mengingat, problem di era media sosial orang lebih banyak menggunakan nafsu, suka dan tidak suka. Akibatnya, mereka saling membuliy sakut kanan-kiri. Namun, ketika di cintai, mereka memberikan pujian tak terhingga. Berbeda dengan ilmu yang ketika suka kepada ini dan itu maka selalu beralasan, ada hujjahnya.

Itu pula sebabnya, sesuatu yang berbau ilmu pengetahuan tidak mudah untuk viral, berbeda dengan turutan hawa nafsu yang mudah viral. Greetnya secepat kilat. Tak memperdulikan sisi dampak negatifnya. Di sinilah pentingnya ilmu dan pengetahuan. Wallahu a’lam bisshawab.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.