Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Perang syair di masa Nabi dan dunia politik media sosial kita hari ini

Avatar photo
39
×

Perang syair di masa Nabi dan dunia politik media sosial kita hari ini

Share this article

Syair merupakan salah satu sastra arab yang berkembang jauh sebelum Islam datang. Syair dalam perjalanannya telah mengalami perkembangan karakteristik dan fungsi yang berbeda antara satu periode dengan lainnya.

Yang mencolok dalam periode pra-Islam, syair digunakan untuk memuji sifat kepahlawanan, mengagungkan kekuatan dan keberanian individu maupun kelompok. Terkadang di dalamnya mengandung unsur kekerasan, kebencian, dan permusuhan, khususnya dalam konteks persaingan antar suku-suku Arab.

Di samping itu, tak jarang juga syair digunakan sebagai alat atau media untuk jihad. Orang-orang arab menggunakannya sebagai media dalam mengampanyekan kabilahnya agar terkenal hingga seantero arab atau bahkan tersiar hingga pelosok negeri lainnya.

Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi kabilah tersebut. Para penyair pada saat itu memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sehingga ia memiliki kontribusi dan peranan yang besar dalam menentukan nasib kabilahnya.

Menurut hemat saya, kegunaan syair saat itu dapat dianalogikan sebagai Media Sosial (Medsos) dalam berpolitik di zaman sekarang. Sebagai contoh seorang politikus dapat memanfaatkan media sosial dalam menggaungkan ideologi yang dianutnya atau partai yang didukungnya, mengunggulkan para calon yang diusungnya, bahkan tak jarang ada juga media yang sifatnya menyerang pihak oposisinya.

Syair pada masa lampau terkadang dijadikan juga sebagai media muslihat dan siasat belaka oleh suatu kelompok tertentu untuk menghancurkan kelompok lainnya dikarenakan adanya persaingan,  ketiadaan sinkronisme kedua belah pihak, atau sebab lainnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh para aktivis jihadis Quraisy dalam menghina Rasulullah. Mereka melontarkan celaan, caci-makian kepada Rasulullah menggunakan media syair, sebab syair dirasa sangat efektif di dalam mengobarkan semangat jihadis dan menjadi semacam media provokatif yang sangat ampuh.

Namun serangan-serangan yang dilontarkan oleh para jihadis kafir Quraisy dan para buzzer yang mendukungnya, semuanya tidak ada dampak dan pengaruh terhadap marwah dan kesempurnaan Rasulullah. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya satu bait syair pun tentang celaan terhadap Rasulullah yang masih terpelihara dan kekal hingga sekarang. Semuanya lenyap bersama dengan para penyairnya.

Gambaran kerasnya perang syair pada waktu itu dapat dilihat sebagaimana hadis Rasulullah Saw kepada Sayyidina Hasan bin Tsabit Ra:

اهجهم وروح القدس معك

“Balaslah cacian mereka dan jibril menyertaimu.”

Hal ini membuktikan betapa panasnya perang syair saat itu, sampai-sampai Rasulullah memerintahkan Sayyidina Hasan bin Tsabit (yang saat itu menjadi penyair Rasulullah) untuk membalas cacian kaum Quraisy.

Sayyidina Hasan dalam syairnya mengatakan:

هجوت محمدا فأجبت عنه    وعند الله في ذاك الجزاء

Kau hina Muhammad, maka kubalas hinaanmu

Di sisi Allah balasan pahala dalam pembelaanku

هجوت محمدا برا حنيفا    رسول الله شيمته الوفاء

Kau hina Muhammad yang benar lagi lurus

Utusan Allah yang tidak pernah ingkar janji

فإن أبي ووالده وعرضي    لعرض محمد منكم وقاء

Sesungguhnya ayahku, nenekku, dan kehormatanku

Kupersembahkan demi menjaga kehormatan Muhammad darimu

Kepiawaian Sayyidina Hasan dalam bersyair untuk melawan celaan kaum Quraisy itu bukan semata-mata dikarenakan rasa dendam yang membara, melainkan sebagai bentuk pertahanan, pembelaan dan ketaatan terhadap Rasulullah Saw, selama masih selaras dengan syariat dan tidak menabrak etika dan norma-norma sebagai kaum muslimin, tentunya juga telah mendapatkan restu dari Rasulullah SAW.

Rasulullah selalu menegaskan agar para Muslim tidak membalas dengan cara yang sama, yaitu dengan cara mencaci atau memfitnah. Beliau selalu menekankan pentingnya menggunakan kata-kata yang santun dan sopan, serta mengajarkan agar para Muslim tetap mengedepankan akhlak dan etika yang baik dalam berbicara.

Maka apa yang dilakukan oleh Sayyidina Hasan merupakan suatu bentuk “jihad bil-lisan” melawan orang-orang kafir. Hal ini selaras dengan sabda Nabi:

 جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

 “Perangilah kaum musyrik itu dengan harta, segenap jiwa dan lisan-lisan kalian.”

Maka jika dikaitkan dengan konteks bermedia sosial saat ini, perang kata-kata atau perdebatan sengit antara individu maupun kelompok sangatlah sering terjadi. Namun, penting untuk diingat bahwa kita harus selalu berbicara dengan sopan dan menghindari kata-kata yang kasar atau menyinggung.

Sebagai pengguna media sosial yang baik dan bertanggung jawab, kita harus senantiasa mengedepankan etika dan akhlak yang baik dalam setiap percakapan atau perdebatan yang kita lakukan di media sosial.

Terlebih lagi kita sekarang sudah hampir memasuki tahun politik, pesta demokrasinya rakyat Indonesia, tentunya dunia permedsosan akan segera memanas, perdebatan akan terjadi di mana-mana dan kapan saja. Sebagian orang akan menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya, dan kita sebagai netizen yang baik harus bijak. Kita harus menyikapinya dengan etis dan bertanggung jawab, serta tidak menabrak norma-norma yang ada.

Maka untuk merealisasikan itu semua, mungkin ada beberapa pesan yang harus kita perhatikan dalam bermedia sosial, yaitu:

Berpikir dahulu sebelum berdebat dan berkomentar. Hindari berkomentar dengan emosi yang memuncak atau membuat pernyataan yang mungkin tidak benar.

Menghormati orang lain, terlepas dari perbedaan pandangan atau keyakinan. Hindari menggunakan kata-kata kasar, mempermalukan orang lain, atau melakukan pelecehan verbal di media sosial.

Tidak menyebar kebencian. Hindari membuat pernyataan atau tindakan yang dapat memicu kebencian, diskriminasi atau intoleransi terhadap kelompok tertentu.

Berbicara dengan sopan dan santun. Hindari menggunakan kata-kata kotor dan kasar yang dapat memicu konflik atau merugikan orang lain, serta menyebarkan hoaks.

Dengan mengedepankan etika dan akhlak yang baik, kita dapat menciptakan lingkungan yang positif di media sosial dan menghindari konflik yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Kontributor

  • Nanang Rizqi Kurniawan

    Asal Banyuwangi Jawa Timur, sekarang sedang menempuh studi di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.