Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Tasawuf: Minat teoritis atau praktis?

Avatar photo
37
×

Tasawuf: Minat teoritis atau praktis?

Share this article

Kisah pertemuan antara Ibn Rusyd dan Ibn Arabi, sebagaimana yang tertuang dalam ‘Futuhat’, ditegaskan oleh Nasr Hamid Abu Zayd dalam ‘Hakadza Takallama Ibn ‘Arabi’, sebagai pertemuan antara dua kutub epistem yang berbeda; Ibn Rusyd mewakili ‘burhani’ (demonstratif) sedang Ibn Arabi mewakili ‘irfani’ (intuitif).

Diceritakan bahwa Ibn Rusyd kagum dengan Ibn Arabi, seorang pemuda yang, sebagaimana kata Ibn Arabi sendiri, “belum tumbuh jenggot di wajahku dan tidak pula kumis (ma baqula wajhi wala tharra syaribi).” Kedua tokoh tersebut bercakap dengan bahasa metaforis dan tampak kekaguman luar biasa dari Ibn Rusyd (seorang Qadli terkenal di Cordova) kepada Ibn Arabi, seraya berkomentar: “Puji syukur kepada Tuhan yang telah memberiku kesempatan untuk melihatnya.”

Pertemuan di atas adalah sejarah pertemuan antara dua jurang metodologi yang satu dengan lainnya tak saling mendukung secara praktik, namun saling terpaut secara hasil. Ibn Rusyd mengangumi Ibn Arabi yang masuk ke kamar khalwatnya dalam keadaan ‘jahil’, kemudian keluar dari sana dalam keadaan yang demikian mengagumkan. Apa yang digali melalui ijtihad akali selama bertahun-tahun oleh Ibn Rusyd mampu dipecahkan oleh pemuda bernama Ibn Arabi hanya melalui khalwat, tanpa belajar dan pun tanpa kitab/buku.

Kini, kita bisa menikmati hasil ijtihad dari dua tokoh besar Islam Barat tersebut. Pada mulanya, Ibn Rusyd tampak lebih mencorong dari Ibn Arabi di abad pertengahan dengan penerjemahan atas karya-karyana. Namun, semenjak abad yang lalu, Ibn Arabi, si Belerang Merah (al-kibrit al-ahmar), tampak menyilaukan bagi para pengkaji barat karena karya-karyanya menyimpan harta karun yang semakin digali semakin bertambah banyak. Tak kurang banyaknya para pengkaji yang membedah Ibn Arabi dari berbagai sudut: Toshihiko Izutsu membandingkan ajaran Ibn Arabi dengan Teoisme, William C. Chittik memfokuskan diri pada Diversitas Agama dalam pandangan Ibn Arabi, dan Henry Corbin mendedah Imajinasi Kreatif dalam sufisme Ibn Arabi.

Namun, di tengah kabar gembira tentang banyak sekali pengkaji yang membahas Ibn Arabi, sesungguhnya Ibn Arabi lebih banyak disalah-pahami daripada dipahami. Tesis ini saya simpulkan dari kajian Tesis senior saya di Mesir, yang membahas Wujud dan Waktu dalam Diskursus Sufistik menurut Ibn Arabi. Membantah A.E. Afifi dalam bukunya ‘Filsafat Mistis Ibn Arabi’, semestinya pengkajian atas Ibn Arabi tidak keluar dari diskursus sufistik. Hasil ijtihad Ibn Arabi bukanlah penalaran rasional biasa. Ajarannya adalah akumulasi dari bakat, mauhibah, dan laku asketis. Para pengkaji yang meminati Ibn Arabi kebanyakan mengandalkan nalar demonstratif-akali. Mereka tak pernah (atau jarang) menempuh lelaku sufistik akbarian sebagaimana yang semestinya. Alhasil, tasawuf hanya dipandang sebagai bagian dari kreativitas rasio belaka. Ijtihad yang ditempuh adalah ijtihad akali, dan dengan demikian, ajaran Ibn Arabi dilabeli ‘filosofis’, ya, mistisisme filosofis.

Oleh karenanya, alih-alih hanya membaca dan memperdalam bacaannya atas Ibn Arabi, Nasr Hamid, sebagaimana yang dikisahkannya sendiri, ‘memperluas jangkauan pengalaman spiritual yang kaya atas karya-karya Ibn Arabi.’ Dan, upaya tersebut ditempuhnya berdasarkan pengalaman seorang tua yang dahulu kala pernah menceritakan kepadanya tentang mimpi bertemu Nabi Muhammad. Nasr Hamid baru bisa memahami pengalaman spritual semacam itu setelah bergelut dengan karya Ibn Arabi, baik di taraf permukaan maupun kedalaman.

Dalam buku ‘Modes of Thought’, A.N. Whitehead menyatakan bahwa para metafisikus besar yang pernah lahir dalam sejarah peradaban manusia, adalah mereka yang mendapatkan ilham dari langit, di mana jalan tempuhnya ialah melalui laku tirakat badani dan batini (asketis). Dari lelaku semacam itu, timbullah pemahaman dan penghayatan terhadap ‘diri’ (nafs), dan dari sana muncullah pemahaman dan penghayatan atas Wujud Transenden. Ibn Arabi, tak ayal, adalah salah satu dari mistikus besar itu—jika tidak paling besar! Kita, si peminat hasil karyanya, barangkali menginginkan hasil instan, yakni menceburkan diri ke lautan sufistik Ibn Arabi dengan pendekatan akali kita, di mana konsekuansinya adalah ketersesatan kita di belantara lautan itu tanpa menemukan satu pun mutiara yang dituju.

Hidup asketis? Hidup sederhana saja susahnya minta ampun!

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.