Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Makna malam Lailatul Qadar menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani

Avatar photo
25
×

Makna malam Lailatul Qadar menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani

Share this article

Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan adalah terdapat malam Lailatul Qadar. Secara eksplisit kata Lailatul Qadar termaktub dalam al-Quran surat al-Qadr (97) ayat 1-5.

Tidak ada yang tahu pasti kapan diturunkannya malam Lailatul Qadar, siapa yang mendapatkannya, apakah personal individu, satu kelompok atau bangsa tertentu.

Di tulisan ini, saya memilih berfokus mengulas pada makna malam Lailatul Qadar sesungguhnya dengan mengacu pada ulama besar sufi, Syekh Abdul Qadir al-Jilani.

Di dalam Kitab al-Gunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, Al-Jilani menjelaskan makna Lailatul Qadar dengan mengutip beberapa riwayat.

Ibnu Abbas, misalnya, menjelaskan dengan mengulas penafsiran Surat Al-Qadr ayat 1, yakni Kami menurunkan Jibril dengan surah ini (al-Qadr) dan kalimat Al-Quran pada malam kemuliaan (lailatul qadar) kepada Ahli Kitab, kemudian kami juga menurunkan beberapa bintang (najman) kepada Rasulullah saw selama 23 tahun di sepanjang bulan, hari, malam dan waktu.

Menurut al-Jilani, Lailatul Qadar adalah malam kemuliaan nan agung (fi lailatin ‘adzimah). Dikatakan malam itu adalah malam penuh hikmah (lailatul hukmi) karena di malam itu Allah menetapkan perkara yang akan terjadi dari tahun ini ke tahun berikutnya (li annallaha ta’ala yaqdiru fiha ma yakuna min amri al-sunnati ila mitsliha min al-‘am al-muqbil).

Setelah itu, al-Jilani melanjutkan penafsirannya pada ayat kedua dari Surat Al-Qadr, “wa ma adraka ma Lailatul Qadar” (Tahukah engkau Muhammad apa itu Lailatul Qadar).

Redaksi tersebut diawali kalimat istifham, wa ma adraka (Tahukah engkau). Oleh al-Jilani ditafsiri dengan “Wahai Muhammad, seandainya Allah tidak memberitahukan kepadamu tentang kebesaran malam itu, maka semua itu ada di dalam al-Quran” (ya muhammad laula annallaha a’lamuka bi ‘adzhamatiha, fa kullu ma fil quran).

Syekh Abdul Qadir al-Jilani mendefinisikan malam Lailatul Qadar dengan,

هي الليلة المباركة التي قال الله -عز وجل -: {إنا أنزلناه في ليلة مباركة … * فيها يفرق كل أمر حكيم} [الدخان: 3 – 4] ثم قال -عز وجل -: {ليلة القدر خير من ألف شهر} [القدر: 3] يعني العمل فيها خير من ألف شهر ليس فيها ليلة القدر

“Malam yang penuh dengan keberkahan sebagaimana Allah swt berfirman, ‘Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi…, pada malam itu dibedakan (dijelaskan) segala urusan yang penuh hikmah (QS. al-Dukhan [44]: 3-4). Lalu Allah swt juga berkata, ‘bahwa malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan’ (QS. al-Qadr [97]: 4), yakni beramal kebaikan pada malam itu lebih baik dari seribu bulan tanpa Lailatul Qadar.”

Dalam konteks ini, al-Thabari mengetengahkan beberapa ikhtilaf ulama dalam memaknai malam Lailatul Qadar.

Kalangan ulama yang satu menyebutkan bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang penuh dengan keberkahan.

Sementara ulama lain memaknainya dengan pada malam itu segala urusan diputuskan dan “disahkan” semisal kapan makhluk itu mati, dilahirkan, bernasib mulia/ hina, dan segala perkara ditetapkan di malam itu.

Tidak hanya itu, al-Jilani juga mengutip perkataan para sahabat Nabi saw di mana sahabat tersebut tidak bergembira seperti halnya kegembiraan mereka (Bani Israil) terkait malam itu lebih baik dari seribu bulan.

Lalu Rasul merespons kegelisahan empat sahabat tersebut dengan bersabda, “Mereka (Bani Israil) menyembah Tuhan selama delapah puluh tahun dan tidak pernah mendurhakai-Nya sekejap mata pun. Dan Ayyub, Zakariyyah, Hazaqil dan Yusya’ bin Nun heran (tercengang) dengan itu, lalu malaikat Jibril datang dan membacakan ayat kepadanya, “Inna anzalahu fi lailatil qadr” sampai akhir. Kemudian Jibril berkata, “hadza afdhalu mimma ajabta anta wa ummatuka minhu” (Ini lebih utama dari apa yang engkau dan umatmu takjubkan dari bangsa bani Israil).

Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa Lailatul Qadar merupakan malam yang agung dan penuh keberkahan. Malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Malam penuh kebaikan dan pengampunan, serta malam yang dapat mengantarkan manusia pada predikat muttaqin (la’allakum tattaqun).

Barang siapa beribadah atau beramal shaleh di malam Lailatul Qadar, maka bernilai atau setara dengan seribu bulan. Tak heran, jika umat Islam saling berbondong-bondong memperbanyak amal shaleh, dan beribadah di bulan Ramadhan, demi bisa mendapatkan Lailatul Qadar. Wallahu a’lam.

Kontributor

  • Senata Adi Prasetia

    Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Penikmat kajian keislaman, pendidikan Islam, pemikiran dan filsafat Islam, sosiologi dan studi al-Quran.