Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Maulid Nabi; meneladani etika sosial Rasulullah

Avatar photo
45
×

Maulid Nabi; meneladani etika sosial Rasulullah

Share this article

Rabiul Awal merupakan salah satu bulan yang sangat ditunggu kehadirannya bagi umat Islam. Sebab, para sejarawan mencatat pada bulan ini telah terjadi peristiwa agung, yaitu kelahiran Sang Rasul; utusan akhir zaman. Dalam rangka mensyukuri bulan kelahiran-Nya umat Islam mengadakan banyak kegiatan-kegiatan positif, mulai ceramah-ceramah keagamaan hingga kegiatan pawai tradisional seperti Panjang Jimat yang biasa dilakukan Keraton Kasepuhan Cirebon.   

Nabi Muhamad bukan hanya sosok pembawa risalah ketuhanan, Dia juga merupakan pemimpin Negara pada masa-Nya. Sebagai seorang pemimpin Agama dan tokoh masyarakat, Beliau banyak memeberikan teladan kasih sayang kepada sesama manusia hingga mahluk Tuhan yang lain. Ada banyak kitab tradisional yang merekam jejak keteladanan Beliau, sebut saja salah satunya Asy-Syamâ`il Al-Muhammadiyyah karya At-Turmudzi, yang di dalamnya merekam sisi kehidupan pribadi Sang Rasul.

Rasulullah merupakan pribadi yang sangat santun, dermawan, dan penyayang terhadap umat-Nya. Di sisi lain, Beliau juga orang yang sangat toleran dengan golongan yang berbeda keyakinan. Sebelum Nabi hijrah ke Madinah ada banyak golonga penganut Yahudi dan Nasrani yang lebih dahulu mendiami kota tersebut. Setelah Nabi hijrah mereka semua dibiarkan dengan keyakinannya. Nabi tidak memaksakan mereka untuk menganut ajara yang dibawa-Nya.

Semua teladan tersebut menginspirasi para sahabat yang hidup di masa Nabi. Tidak aneh jika generasi sahabat diberi sertifikasi sebagai generasi terbaik sepanjang masa. Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang terdidik dari madrasah kenabian. Mereka melihat langsung laku sosial, kemanusiaan, hingga laku spiritual Nabi.

Namun teladan kebaikan tersebut kian meluntur pada generasi berikutnya. Degradasi moral mulai menyebar hingga munculnya fenomena para pemalsu Hadits hanya untuk menyerang kelompok yang berbeda pandangan. Pergantian masa telah membius umat Islam hingga lupa dengan sosok Nabi sebagai teladan kesantunan dan kasih sayang. Pada akhirnya Tidak sedikit muslim yang mengenal Nabi hanya sebagai perantara risalah Tuhan, dan melupakan sisi Nabi sebagai teladan kasih sayang.

Ironisnya lagi risalah ketuhanan difahami dengan hitam putih; hanya ada hak dan batil, halal dan haram. Akidah memang terkoneksi dengan hak dan batil. Hukum fikih juga berputar tidak jauh dari lingkaran halal dan haram. Tetapi hal ini hanya aturan yang bersifat formal. Risalah ketuhanan tidak hanya seputar ajaran formal, pada wilayah informal Nabi ditugaskan menjunjung tinggi moral dan etika umat manusia. Bahkan etika menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pribadi Nabi, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Qalam:4.

Meski Beliau memiliki otoritas dalam menentukan kebijakan yang bersifat syariat, tetapi pada prakteknya tidak semua problem diselesaikan dengan pendekatan yuridis dan teologis. Salah satu contohnya, Rasulullah dan para sahabat menyaksikan sendiri kemunafikan Abdullah bin Ubay, hingga Umar meminta izin untuk menebas lehernya. Tetapi Rasulullah tidak mengizinkan, dengan rahmah-Nya Beliau bersabda: “Aku tidak ingin orang-orang mengatakan: Muhamad membunuh sahabat-Nya sendiri (Muslim, No.4682). Kisah ini hanya sekelumit potret rahmat Sang Nabi kepada kelompok yang berseberangan keyakinan.

Nilai-nilai rahmat yang pernah dipraktekkan Nabi ternyata mulai redup dari wilayah sosial umat Islam. Mungkin masih banyak yang mendengarkan kisah rahmat Nabi, tetapi tidak sedikit juga yang menjadikan kisah-kisah tersebut hanya sebagai bagian biografi sesorang yang pernah hidup di dunia. Oleh karena itu, tidak aneh jika kita masih mendengar atau melihat banyak kasus kekerasan. Salah satu kasus yang belum lama terjadi adalah persekusi Banser dan kiai NU di Karawang pada bulan lalu, seperti diberitakan Republika (12/08/2024).

Pada wilayah lain, narasi-narasi kebencian terhadap sesama muslim yang berbeda pandangan masih menjadi konten viral di beberapa media sosial. Kondisi ini diperparah dengan egoisme setiap kelompok yang enggan menyelesaikan masalah dengan pendekatan persuasif. Jika kebencian sesama muslim masih mengisi sendi-sendi kehidupan tidak mustahil konflik berdarah muncul di atas permukaan.

Padahal situasi tersebut bukanlah cita-cita Rasulullah. Salah satu wasiat-Nya pada momentum haji wada adalah menjaga persaudaraan sesama muslim. Perbedaan adalah unsur natural dalam dinamika kehidupan. Di manapun dan kapanpun manusia selalu berbeda dalam beberapa hal. Rasulullah tidak diutus untuk mengikis perbedaan, tetapi untuk mengontrolnya agar tidak keluar dari wilayah moral dan etika.

Sebagai penutup, agar perayaan maulid memiliki nilai positif bagi kemajuan moral Bangsa;  tidak hanya acara seremonial, sudah saatnya umat Islam melakukan introspeksi diri dengan meresapi laku sosial-kemanusiaan Nabi sebagai teladan yang perlu diikuti, bukan hanya sebagai pemberi nasehat. Semoga kita semua -sebagai umat Islam-  diperkenankan melihat Rasulullah tersenyum bangga dengan prestasi moral yang kita capai semasa hidup di dunia. Amiin.

Kontributor

  • Hadi Abdul Fattah

    Santri asal Cirebon. Penikmat kopi, kebijaksanaan, dan Syair Arab. Dapat dihubungi melalui IG: @hadi_abd.fattah