Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Berkah kedatangan Syekh Ahmad Tayeb di Indonesia

Avatar photo
46
×

Berkah kedatangan Syekh Ahmad Tayeb di Indonesia

Share this article

Syekh Ahmad Tayeb kemarin berkunjung ke Indonesia. Sebuah kebanggaan luar biasa seorang Syekhul Azhar, otoritas tertinggi umat Islam di Mesir, bahkan dunia Islam, bisa “mberkahi” negara tercinta ini. Meminjam istilah Syekh Rifa’ah Rafi’ al-Thahtawi, kebesaran Syekhul Azhar setingkat Syekhul Islam di kekhalifahan Turki Utsmani. “Satu pangkat keulamaan yang disepakati keagungannya oleh semua lini.”

Masyarakat yang mengidolakan beliau dari belahan Nusantara ramai serentak menuju Jakarta untuk bertemu secara langsung dengan sosok besar ini.

Saya ingat perkataan beberapa tokoh di Indonesia, demikian agung jabatan Syekh Azhar, sampai ada keyakinan, siapapun yang memangku jabatan ini pasti bukan orang sembarangan. Dan ada rentetan peristiwa “tidak biasa” yang mengantarkan pada puncak karir keulamaan di al-Azhar ini.

Diceritakan, Tayeb muda terdaftar dalam seleksi militer di Asyuth. Ayah beliau, Syekh Muhammad, tidak setuju dan tampak kurang berkenan. Akhirnya sang ayah meminta beberapa kolega untuk membacakan Yasin secara khusus dengan harapan anaknya gagal masuk Militer.

Dan benar, ternyata berakhir gagal.

Tanpa “Yasinan” yang dulu diselenggarakan sang ayah, mungkin saja beliau sudah masuk bagian dari militer Mesir sekarang.

 

Rentetan peristiwa ini bukan saja terjadi pada Tayeb kecil, tapi pada sang ayah bahkan sang kakek: bagaimana serangkaian “peristiwa mistik” menjadi sebab ketersambungan keluarga kecil di Qurnah ini berelasi kuat dengan al-Azhar, bahkan hingga mengantarkan Syekh Tayeb menjadi Syekhul Azhar. Namun tentu bukan di sini tempatnya untuk menuliskan aneka “peristiwa mistik” tersebut.

Jadi, kembali lagi bahwa sosok yang menjabat Syekhul Azhar, siapapun itu, pastilah bukan “sosok biasa.” Bagi saya yang rakyat jelata ini, menjumpai secara langsung adalah sebuah momen besar. Euforia ini tampaknya adalah hal yang demikian wajar mengingat saya adalah bagian terkecil dari al-Azhar namun berkesempatan menjumpai bagian paling ujung dari al-Azhar.

Tentu sekelas saya hanya bisa berfoto foto dan mengabadikan momen dari jauh. Beda dengan para intelektual yang tentu mempunyai cara “lebih akademik” dalam membahasakan kebahagiaan mereka.

Saya teringat, Syekh Usamah al Azhari bahkan mendokumentasikan khusus jalur keilmuan dari Syekhul azhar ke Syekhul azhar lain (al-musalsal bi syuyukh al-Azhar) dalam kitabnya yang ia beri tajuk

“Al-Najmu al Azhar al-Munif fi As-Sanad al-Musalsal bi Syuyukh al-Azhar As-Syarif” (النجم الازهر المنيف في السند المسلسل بشيوخ الازهر الشريف)

Syekh Usamah mengumpulkan jalur periwayatan melewati tujuh nama Syekhul Azhar secara berturut turut. Beliau mengatakan, “ini adalah mata rantai keilmuan yang tak ada padanannya.”

Menurut Syekh Usamah, beberapa ulama memang mendokumentasikan jalur periwayatan langka: yakni diriwayatkan dari para tokoh agung yang terkumpul dalam satu sifat khusus. Seperti Imam Suyuthi yang meriwayatkan musalsal dari para ahli nahwu. Dan Imam Su’udi al Hanafi meriwayatkan dari para hakim (ithaf al ruwat bi musalsal al qudlat).

Inisiatif Syekh Usamah ini berangkat dari keyakinan kuat, Syekhul Azhar pasti berguru pada Syekhul Azhar yang lain. Bahkan tidak cuma sekedar berguru pada satu sosok Syekhul Azhar: namun terkadang bisa menimba pada dua atau tiga Syekhul Azhar sekaligus. Sehingga mereka tidak sekedar mewarisi keilmuan, tetapi juga metode, penyelesaian masalah dan bahkan sifat rendah hati yang dimiliki oleh hampir semua yang pernah menjabat Syekhul Azhar.

Dan ternyata Syekh Ahmad Tayeb pun demikian. Setidaknya ada tiga sosok Syekhul Azhar yang bersinggungan secara langsung dengan Syekh Tayeb: Syekh Sayyid Thantawi, Syekh Abdul Halim Mahmud dan Syekh Abdurrahman Bishar.

Syekh Ahmad Tayeb sendiri adalah “anak emas” Syekh Sayyid Thantawi. Tidak banyak informasi mengenai nama guru guru Syekh Tayeb. Hal itu karena beliau terbilang jarang menyebut nama nama guru secara detil. Saya berusaha mencari dari berbagai sumber, akhirnya menemukan beberapa nama yang menginsipirasi beliau. Selain yang tersebut di atas, ada Syekh Sulaiman Dunya, Syekh Muhammad Abu Zahrah, Syekh Muhammad Yusuf As-Syekh, Syekh Iwadhuah Hijazi, Syekh Muhammad Ghallab, dan lain sebagainya.

Beberapa nama di atas itulah yang sangat berperan membentuk karakter dominan Syekh Tayeb dalam sisi rasionalitas dan sufistik. Karakter yang rasionalistik juga bisa dilihat pada mayoritas karya Syekh Tayeb sendiri adalah pada bidang ilmu ilmu rasional. Analisa ini juga ditunjang dari “uslub” yang kerap beliau pakai dalam dialog maupun seminar: umumnya memakai “uslub mantiqi”.

Menurut Abdul Adzim dalam Masyikhat al-Azhar, memang Syekhul Azhar mempunyai kecenderungan keilmuan yang tidak sama. Ada yang lebih dominan sufisme, ada yang lebih menonjol ilmu rasional dan managerial, ada pula yang lebih kuat sisi fikih maupun diplomasi. Namun begitu, bukan lantas mengeliminir sisi keilmuan mereka pada bidang yang lain.

Termasuk Syekh Ahmad Tayeb. Beberapa ada yang menyangsikan kepakaran beliau dalam fikih. Bagi saya, meskipun sisi rasional lebih dominan, nyatanya beliau terpilih sebagai Mufti Mesir atas rekomendasi Syekh Sayyid Thantawi. Sekelas Mufti Agung Mesir tentu saja fikihnya bukan “kaleng kaleng” seperti kita.

 

Peristiwa bagaimana proses Syekh Tayeb menjadi Mufti diceritakan oleh Syekh Thaha al-Rayyan dengan detil dalam bukunya “al-Tadzkir.”

Kala itu ada tiga calon Mufti: Syekh Ahmad Tayeb (dicalonkan oleh Syekh Sayyid Thantawi), Syekh Thaha Rayyan (dicalonkan oleh Syekh Umar Hasyim), dan Syekh Ali Jumah (dicalonkan oleh Syekh Hamdi Zaqzuq).

Menurut Syekh Thaha, beliau menolak beberapa kali jabatan prestisius ini. Alasannya tidak lain karena terdapat beberapa fatwa Syekhul Azhar kala itu (Syekh Sayyid Thantawi) yang dipersoalkan oleh Syekh Thaha. Bagi Syekh Thaha, “antara mufti dan Syekhul Azhar tidak boleh ada perselisihan”.

Sementara Syekh Ahmad Tayeb juga awalnya menolak. Syekh Tayeb beralasan pada Syekh Sayyid,

“saya ini lulusan Ushuluddin, Syekh. Tidak pantas menjadi Mufti.”

Syekh Sayyid menguatkan, “saya juga dulu lulusan Ushuluddin. Tapi saya didorong oleh Syekh Jadul Haq Ali Jadul Haq.”

Setelah melalui beberapa pertimbangan matang, akhirnya beliau berkenan.

Ketika Syekh Ahmad Tayeb menjadi Mufti, Syekh Thaha Rayyan terlibat debat panjang mengenai satu perkara fikih secara kontinu dengan di pelbagai media cetak. Masing masing keuekeuh dengan pendapatnya.

Syekh Thaha mengatakan, beliau berharap bisa berjumpa lagi dengan Syekh Tayeb saat sudah tidak menjadi Mufti. Mungkin saja karena konflik pemikiran itu tak berkesudahan, dan akan berimbas pada hubungan baik keduanya secara pribadi.

Di saat itu, Syekh Thaha Rayyan bermimpi, beliau bersama seorang kawan di satu tempat, kemudian terpisah. Beliau ada di jalan pendek yang sampai pada Kubah salah satu wali. Dari atas kubah ada tasbih dengan biji besar menjulang ke atas langit. Sementara kawannya berjalan di jalan yang jauh terpisah sampai tak terlihat. Tetapi di akhir perjelanan ia dan kawannya bertemu di kubah wali tersebut.

Selang satu hari, Syekh Thaha menghubungi Syekh Ahmad Tayeb dan menceritakan mimpinya. Tapi Syekh Ahmad Tayeb tak menanggapi. Kala itu Syekh Tayeb masih menjabat Mufti.

Beberapa bulan kemudian, saat Syekh Ahmad Tayeb terpilih menjadi rektor Al Azhar, beliau berkata: “mimpimu benar benar menjadi kenyataan. Kita sekarang berkumpul di akhir perjalanan.” Yakni saat Syekh Tayeb sudah menjadi Rektor.

Syekh Ahmad Tayeb tidak terlalu lama di jabatan Mufti Agung Mesir. Hanya sekitar 1,5 tahun. Kemudian beliau diberi amanat untuk menjadi Rektor Universitas al Azhar. Pada saat menjadi Rektor, Syekh Tayeb membuat kebijakan hendak mengembalikan fikih madzhab sebagai acuan dalam diktat perkuliahan maupun pembelajaran di al-Azhar. Menurut Syekh Tayeb, Azhariyyin di era ini menjadi “lemah pikir” karena dihadapkan pada materi dan diktat yang dipermudah. Problemnya, jabatan Rektor ternyata tidak cukup kuat menyokong kebijakan ini. Menurut Syekh Thaha, kebijakan Syekh Tayeb benar benar terealisasi saat beliau menjabat Syekhul Azhar.

Barangkali lantaran berkah para ulama terdahulu itulah langkah Syekh Tayeb dipermudah dengan menjadi Syekhul Azhar. Yakni mereka, para ulama yang telah meninggal, “ikut andil” dalam mengembalikan al-Azhar pada metode yang semestinya. Namun ini hanya asumsi penulis saja: kebijakan yang menemui jalan buntu saat menjabat Rektor kemudian dipermudah jalannya saat beliau menjabat posisi tertinggi di al-Azhar.

Saat menjadi Syekhul Azhar, banyak sekali kebijakan kebijakan beliau yang menguntungkan al-Azhar sebagai menara keilmuan. Diantaranya adalah indepensi al-Azhar dari intevensi pemerintah Mesir, termasuk mengembalikan Haiah Kibar Ulama sebagai Lembaga Resmi satu satunya yang berwenang memilih Syekhul Azhar maupun Mufti Agung Mesir. Kemudian beliau juga mengembalikan sistem dan diktat pembelajaran al-Azhar pada metode yang telah diwariskan turun temurun dari pendahulu. Tentu dengan inovasi inovasi rekonstruktif.

Menjadi Syekhul Azhar tidak lantas membuat beliau tinggi bak langit yang tidak terjangkau seperti umumnya para pemangku jabatan lain. Syekhul Azhar itu, sekali lagi, berbeda.

Setiap hari tertentu, Syekh Tayeb kembali ke tempat asalnya untuk mendengar keluh masyarakat yang datang dari berbagai penjuru. Memang kakek beliau (Ahmad Tayeb) mempunyai peninggalan “sahah” (tempat khusus para sufi): selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai “majlis tahkim” guna mencari solusi atas pelbagai persoalan masyarakat. Di majlis itulah segala permasalahan diselesaikan dengan musyawarah dan kekeluargaan. Adanya “sahah” ini secara turun temurun terkondisikan memecah fanatisme kesukuan yang sempat menghantui Mesir beberapa tahun silam.

Egalitarianisme Syekh Ahmad Tayeb sebagai Syekhul Azhar bukan informasi baru, khususnya bagi Azhariyyin. Beliau benar benar memainkan peran Syekhul Azhar sebagai “pelayan” umat.

Sudah demikian maklum, sebelum Syekh Hasunah Nawawi, Syekhul Azhar memang bergelar “khadim al-‘ilm wa al-fuqara’ bi al-Azhar” (خادم العلم والفقراء بالازهر). Disebut “khadim” karena mereka betul betul menjadi muara segala problematika al Azhar, dari keilmuan sampai ekonomi umat. Hingga pada kepemimpinan kedua Syekh Hasunah Nawawi (sekitar tahun 1907 M), predikat itu berganti “al-Ustadz al-Akbar.”

Beberapa dekade kemudian, tepatnya pada kepemimpinan Syekh Ahmad Al-Dzawahiri, beliau marah saat dipanggil dengan gelar “al-Syekh al-Akbar.”

Di Majalah “Kullu Syain wa al-Alam”, seorang jurnalis menulis,

” jam 11, Senin pagi 14 Oktober 1929 kami pergi ke Administrasi Ma’had…kami duduk mengitari Syekh Ahmad Al-Dzawahiri bersama begitu banyak ulama dan pembesar. Salah satu dari kami yang hadir memanggil Syekh Ahmad Al-Dzawahiri dengan “Fadlilat As-Syekh al-Akbar”. Beliau langsung menjawab, “saya tidak lain hanya bagian dari pengajar. Dan saya tidak lain adalah hamba Allah, Muhammad al-Ahmadi. Saya tidak meyakini bahwa saya adalah Syekh yang paling agung di al-Azhar. Bagi saya, yang paling agung adalah yang paling takwa diantara kalian. Saya menyiapkan diriku tidak lain sebatas pelayan untuk al-Azhar dan anak anaknya (khadiman li al azhar wa abna’ihi).

Namun begitu, label “pelayan” tidak mengurangi kewibawaan dan sakralitas jabatan ini. Syekhul Azhar tetaplah Syekhul Azhar.

Saat kunjungan Syekhul Azhar Jadul Haq ke Pakistan, Presiden Pakistan, Muhammad Ziaul Haq bersikeras hendak ikut menjemput di Bandara Internasional Islamabad. Beliau ditegur oleh protokoler,

“Wahai Presiden, ini menyalahi protokol. Presiden harusnya menemui sekelas Presiden. Sementara Syekhul Azhar sekelas Menteri.”

Beliau menjawab, “berapa jumlah Presiden di dunia ini”.

“Ada banyak.” Jawabnya

“Berapa jumlah menteri di dunia?,” lanjut Presiden

“Ada banyak.”

Presiden Pakistan memberi argumen, “namun berapa jumlah Syekhul Azhar? Cuma ada satu di dunia. Oleh karena itu saya ikut menjemputnya.”

Karena Syekhul Azhar cuma satu di dunia, patutlah kita berbahagia dengan kedatangan beliau ke Indonesia. Tentu ekspresi kebahagian bermacam macam. Dalam perjalanan pulang dari Jakarta saya mulai menulis catatan ini sebagai wujud ekspresi kebahagian saya bisa bertemu Syekhul Azhar.

Saya mengenal beliau ketika di Mesir, lewat bukunya yang terkenal, al-Janib al-Naqdi fi Falsafati Abi al Barakat al Baghdadi. Saya juga pernah beberapa kali (tidak sering) ikut talaqqi kitab al-Mustashfa min Ilm al Ushul yang diampu beliau. Fase perpindahan dari Syekh Sayyid Thantawi ke Syekh Ahmad Tayeb juga saya masih di Mesir.

Alhamdulillah kemarin bisa berjumpa lagi kesekian kali meski tidak bisa foto selfie karena dikawal ketat Paspampres.

Kontributor

  • Ahmad Hadidul Fahmi

    Kiai muda NU, suka mengkaji pemikiran Islam, dan rutin menulis berbagai isu mutakhir agama. Mengaku suka musik metal sejak di pondok. Alumni Universitas al-Azhar Mesir dan sekarang menjadi salah satu pengasuh Pesantren Attaujieh al-Islamy Leler Rawalo Banyumas