Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Mengapa kebanyakan ulama itu non-Arab? Begini jawaban Ibnu Khaldun

Avatar photo
27
×

Mengapa kebanyakan ulama itu non-Arab? Begini jawaban Ibnu Khaldun

Share this article

Di antara salah satu fakta menarik dalam khazanah keilmuan Islam adalah kenyataan bahwa mayoritas ulama atau orang-orang yang menegakkan panji keilmuan Islam adalah orang non-Arab. Dalam istilah Arab disebut Ajam.

Padahal kita tahu Islam sendiri berasal dari Arab. Bahasa pengantar dalam memahami al-Quran dan Hadis juga berbahasa arab. Akan tetapi justru dalam perkembangannya, sosok-sosok ulama yang membawa dan mengembangkan berbagai disiplin ilmu keislaman adalah orang-orang Ajam atau non-Arab.

Sebut saja dalam bidang Nahwu atau gramatika dan tata bahasa arab, ada Imam Sibawaih yang berkebangsaan Persia. Kemudian dalam bidang hadis, sosok yang sangat berjasa dalam mengkodifikasi hadis adalah Imam Bukhari yang notabene berkebangsaan Bukhara, Uzbekistan.

Istilah Ajam sendiri dinisbatkan pada orang yang berbahasa asal selain Arab. Dulu penyebutan Ajam identik dengan orang Persia, akan tetapi penyebutan ini selanjutnya bersifat general menjadi seorang yang bukan keturunan Arab, baik ia berbahasa arab atau tidak. Sedangkan Arab sendiri berarti orang yang memang Asli keturunan Arab.

Fenomena ini menjadi catatan sendiri bagi Ibnu Khaldun. Dia bahkan mencatat satu bab khusus dalam Muqaddimah.

Dalam analisa Ibnu Khaldun fenomena yang demikian disebabkan oleh mendesaknya kebutuhan pada solusi atas pelbagai permasalahan masyarakat. Seiring semakin jauhnya interval antara sang pembawa syariat dan ajaran yang dibawanya. Pada intinya hal tersebut adalah dinamika zaman yang memerlukan jawaban di mana tidak cukup hanya berdasar al-Quran dan hadits yang masih sangat universal.

Salah satu problematikanya justru adalah bagaimana al-Quran dan hadis ini bisa dipahami oleh masyarakat. Mengingat setelah masa sahabat dan tabi’in tidak banyak orang yang hafal dan mampu menafsirkan al-Quran. Akibatnya, banyak umat Islam yang memahami kitab suci dengan serampangan tanpa metode dan ilmu. Karenanya dibutuhkan satu piranti keilmuan khusus yang bisa menjaga orisinalitas al-Quran dan mempermudah masyarakat dalam mempelajarinya. Dari sini lahirlah ilmu tafsir.

Begitu juga dalam bidang hadis, seiring berkembangnya waktu juga diperlukan perangkat-perangkat pendukung yang diperlukan. Agar hadis ini bersih dari pemalsuan-pemalsuan hadis yang marak dilakukan. Sehingga disusunlah ilmu-ilmu hadis, juga bergerilyanya para ulama dalam mengumpulkan dan mengkurasi hadis-hadis sahih.

Di sisi lain, dengan semakin luasnya komunitas muslim, bahasa Arab yang menjadi bahasa komunikasi utama pun banyak mengalami perubahan. Persinggungan dengan masyarakat multikultural dan multietnis memperparah keadaan itu. Keadaan demikian kemudian menuntut para cendekiawan menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab untuk melindungi bahasa ini dari kepunahan. Agar orisinalitas bahasa Arab tetap terjaga dan tidak tercerabut dari akarnya. Sehingga semua hal dan permasalahan tersebut harus secara serius digarap dan dikembangakan menjadi suatu disiplin ilmu khusus yang diajarkan dan dan dibukukan.

Pada titik ini, menurut pengamatan Ibnu Khaldun, sosok-sosok ulama Ajamlah yang tampil naik ke panggung untuk mengemban tanggung jawab ilmiah tersebut. Karena pada saat itu orang Ajam hidup dalam peradaban yang unggul, warisan peradaban kekaisaran Persia. Sebagaimana diketahui, kepekaan ilmiah memang selalu lahir dari rahim peradaban yang berkemajuan dan hal itu tidak dimiliki oleh bangsa Arab kala itu.

Bangsa Ajam melihat berbagai kebutuhan mendesak di atas sebagai tantangan, sekaligus kesempatan untuk ikut andil dalam menyemarakkan agama Allah. Ibnu Khaldun mencatat:

ولم يقم بحفظ العلم وتدوينه إلّا الأعاجم

“Tidak ada yang mempertahankan eksistensi keilmuan dan membukukannya, kecuali orang-orang Ajam.”

Ibnu Khaldun juga menyitir kebenaran sabda Rasulullah yang secara tidak langsung menunjukkan antusias keilmuan yang dimiliki oleh orang Ajam, khususnya orang Persia:

لو تعلّق العلم بأكناف السّماء لناله قوم من أهل فارس

“Andaikata ilmu itu tergantung di bayang-bayang (sayap-sayap) langit, niscaya akan diraih oleh suatu kaum dari penduduk Persia.”

Bangsa Arab sebagai pemilik bahasa keilmuan Islam, tidak begitu tertarik dengan hal semacam ini. Kebanyakan mereka disibukkan oleh urusan politis dan kerajaan. Para pemimpin selalu memandang rendah hasil karya dan pekerjaan ini. Mereka lebih baik mencari orang yang bersedia mengerjakannya dari kalangan Ajam dan Muwallad (percampuran Arab dan non-Arab) daripada harus mengerjakannya sendiri.

Makanya kita bisa menyaksikan banyak sosok ilmuwan dan cendekiawan pada saat itu berasal dari kalangan Ajam. Dari bidang tafsir ada Ibnu Jarir At-Thabari yang menulis tafsir berjilid-jilid. Dalam bidang hadis, hampir semua pengarang kutubus sittah (kitab induk hadis) berasal dari luar Arab. Mulai Imam Bukhari, Imam Muslim.

Kemudian dalam bidang Nahwu pun demikian, kita bisa melihat sosok Imam Sibawaih dari Kota Basrah Irak. Juga ada Abu Ali al-Farisi dari yang juga dari Persia.

Dalam kodifikasi mazhab fikih pun demikian, Imam Abu Hanifah yang merupakan putra daerah Kufah memperkenalkan mazhab yang pertama kali dibukukan (tadwin) sebagai mazhabnya. Ia juga merupakan mujtahid fikih pertama dalam sejarah Islam. Dan masih banyak bidang-bidang keilmuan lain yang mendapat peran besar dari orang Ajam.

Begitu pula dalam perkembangan ilmu-ilmu logika. Poros-poros keilmuan ini juga mengalami perkembangan yang sangat pesat ketika dikembangkan oleh orang Ajam. Kondisi itu berlangsung cukup lama di berbagai daerah mulai Irak, Khurasan, hingga Mesir. Namun ketika negeri mereka runtuh dan peradaban mereka hilang, maka hilanglah ruh ilmu dari kalangan mereka. Mereka kembali terbelakang.

Itu alasan di balik pentingnya peradaban bagi sebuah bangsa. Menurut Ibnu Khaldun, peradaban adalah modal utama dalam membangun ilmu pengetahuan.

الحضارة الّتي هي سرّ الله في حصول العلم والصّنائع

“Peradaban merupakan rahasia Allah dalam membentuk keilmuan dan karya.”

Oleh sebab itu, jika anda saat ini bukanlah orang Arab, jangan berkecil hati. Anda juga mempunyai kesempatan besar untuk ikut andil dalam meramaikan khazanah keilmuan Islam. Karena kita semua mempunyai potensi yang sama.

Kontributor

  • Ahmad Yazid Fathoni

    Santri, Pustakawan Perpustakaan Langitan, suka menggeluti naskah-naskah klasik.