Kebangkitan pesantren dalam meningkatkan peranannya di masyarakat memberikan legitimasi bahwa kemajuan sebuah peradaban bisa berawal dari pesantren, dari pola pesantren yang sudah sejak dahulu memiliki basis kemandirian yang kokoh.
Ini hanyalah sebuah catatan etnografi penulis yang terinisiasi dari hasil rihlah, nderekake, membersamai Kiai saat berkunjung di beberapa pesantren dan acara pengajian ataupun saat undangan seminar.
Dalam acara yang pernah diadakan oleh kementerian agama, penulis membersamai Kiai untuk menghadiri acara tersebut yang kebetulan, beliau sebagai narasumber pengisi acara tersebut. Tema besarnya adalah tentang penyusunan peraturan menteri agama terkait pendidikan pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum.
Disampaikan bahwa pendididkan pesantren merupakan pendidikan ala Manhajun Nabawi yang dicontohkan Nabi dengan melibatkan dirinya sendiri untuk mengajar kepada para Sahabat. Rasulullah saw. full time mengajar para sahabat di sebuah lembaga yang saat itu dinamakan Dar al-Arqam. Lembaga itu merupakan metode dakwah Nabi yang dilakukan melalui jalur pendidikan di rumah Sahabat bernama al-Arqom bin Abu Arqam.
Baca juga: Santri, Pesantren dan Visi Indonesia Emas 2045
Alasan Nabi memilih rumah itu adalah tempatnya yang stategis, terletak di kaki bukit Shafa yang dekat dengan Masjid al-Haram. Selain untuk alasan keamanan dari pihak pemuka kafir Qurays yang kerap kali mengancam keselamatan kaum Muslimin, pula dapat dengan gampang mempraktikkan ibadahnya di Masjid al-Haram.
Dari sini diambil pemahaman bahwa pesantren di Indonesia meniru konsep pesantren ala Manhaj Nabawi yang diduplikat menghasilkan unsur-unsur utamanya berupa Kiai, Santri, kajian kitab, Bangunan dan Tempat Ibadah/masjid. Kiai memilki wewenang sebagai teladan dan pengajar langsung kepada para santri. Sedang santri adalah mereka yang secara langsung menuntut ilmu di dalam lembaga Pesantren tersebut. Dan masjid, adalah tempat yang digunakan para masyarakat di pesantren untuk menunaikan ibadah dan melaksanakan berbagai ritus kegiatan.
Berabad-abad lamanya pesantren sudah menjadi sistem pendidikan yang khas di Nusantara. Mencetak kader-kader pemimpin umat yang siap mengabdikan dirinya dengan rakyat, mengisi setiap elemen-elemen kemasyarakatan yang ada. Sekian disiplin intelektual, kajian turots warisan para ulama dan khazanah spiritual dikaji sedemikian baiknya menyatu dengan kearifan tradisi Nusantara.
Secara demikian, secara antroplogis kondisi suatu daerah akan mempengaruhi watak dari para penghuninya. Ibnu Khaldun, seorang antropolog muslim tersohor, mensinyalir dalam bukunya yang terkenal, Muqoddimah, bahwa keadaan udara suatu daerah juga dapat mempengaruhi akhlak serta tingkah laku orang-orang yang menempatinya.
Mengingat iklim keadaan Indonesia yang berbeda dengan keadaan Timur Tengah yang jauh dari kesamaan. Karakter dan kebudayaan masyarakatnya pun berbeda. Terutama pesantren, yang dengan hal ini terus bergerak menyesuaikan dirinya dengan keadaan tempat berada. Sudah barang tentu pesantren yang di kampung akan sedikit berbeda dengan pesantren yang bertumbuh di perkotaan.
Seperti yang penulis alami sendiri saat mesantren di daerah Pati, sebuah kabupaten di Jawa tengah yang pesantrennya masih banyak kultur ndeso, keadaan sosial penduduk masih sering bersinggungan dengan para santri di pasantren. Pembelajaannnya pun masih mengunakan kurikulum salaf (kitab Kuning) dan metodologi pembelajaran yang masih bersistem konvensional.
Baca juga: Klasifikasi Santri Menurut Imam Mawardi
Berbeda ketika penulis pindah ke pesantren daerah Jakarta, yang pendidikannya sudah berinovasi untuk lebih mengembangkan kurikulum pendidikannya secara berkelanjutan. Adanya deregulasi pada bidang pendidikan membuat pesantren perlu melakukan penstrategian penyetaraan pendidikannya. Adanya penambahan mata pelajaran seperti bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan lain sebagainya dilakukan dengan tetap mempertahankan nilai kesalafannya. Sehingga pendidikan di pesantren bisa memiliki status (sertifikasi) sesuai dengan kurikulum nasional yang berlaku.
Sekalipun demikian, di pesantren tak mengungkung hanya dalam pendidikan yang bersifat formalitas (sekedarnya) saja. Pesantren menomor satukan tarbiyyah daripada taklim. Pesantren terus mengajarkan kecerdasan emansipatoris yang membebaskan para santri agar toleran nan humanis terhadap sesama.
Ada juga pesantren yang mencoba mengharmonisasikan dirinya dengan birokrasi. Sebegai respons mereka terhadap kondisi dan masalah aktual yang beredar. Basis pesantren yang sebelumnya hanya sekedar menjadikan dirinya sebagai tempat kader ulama agak bergeser —walau tak mengurangi citra kepesantrenaan yang ada— menjadi basis pengkaderan santri birokrat. Mengkontestasikan santri agar dapat bangkit serta andil dalam menguasai ruang birokrasi dalam konteks negara maupun global. Tanpa perlu mencerabut akar genuine pesantren yang kental akan kehidupan spiritual-agamanya.
Seperti artikelnya Amirul Auzar yang berjudul “Harmonisasi Pesantren Menuju Birokrasi” yang ia hasilkan dari investigasinya terhadap Pesantren Luhur Al-Tsaqofah selama di sana. Mahasiswa antropologi ini mengeksplorasikan makna dari beberapa pidatonya Kiai Said Aqil Sirodj, pendiri pesantren tersebut yang berkeinginan untuk terus mencetak santrinya sebagai kader birokrat. Dengan modal ketokohan Kiai Said, Pesantren ini menjadikan spiritual keagamaan sebagai proses pendisiplinan dalam tujuan yang cenderung material (birokrat).
Pada beberapa pesantren ada yang juga mengkondisionalkan keadaannya untuk dapat beradaptasi dengan zaman. Adalah respons terhadap era revolusi 4.0. yang sudah mulai bergulir. Transformasi digital yang berdaya guna sebagai alat untuk menyampaikan ilmu pengetahuan menjadi sarana yang tepat dan cepat kepada santri di pesantren untuk belajar.
Namun demikian, tak perlu adanya perdebatan bila mana ada pesantren yang masik kekeh tak mau meningalkan tradisi klasiknya dengan rule model tirakatan, tak menggaitkan dirinya dengan modernisme dan tak melakukan transformasi apapun. Tidak ada masalaah bagi mereka. Karena bagaimana pun pesantren selalu memiliki keunikannya masing-masing untuk terus mencetak kader-kader santri yang sholeh ritual maupun amal.
Begitu banyak orang-orang yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Namun banyak pula yang darinya itu, defisit akan moral dan akhlakul karimah. Mungkin dari sini, pendidikan paling dasar yang bisa menjadi solusi adalah pesantren. Saat semuanya defisit dengan masalah moral, di pesantren selalu tanggap menanggapinya.
Bermula dari hal-hal yang tidak nyaman dikerjakan, para santri lebih memilih jalan barakah daripada dengan wawasan keilmuan luas yang, naudzubillah, hanya berujung pada kecongkaan dan jumawa. Seperti pepatah mengatakan,” tak ada buah manis yang sama-sama bisa dinikmati saat ini tanpa melalui proses pahit dari akar paling bawahnya.”
Oleh karenanya betapa tinggi apresiasi publik kepada para santri. Layaknya seperti buah, pesantren menghasilkan buah manis yang membuat orang lain menggandrunginya. Buahnya begitu kaya manfaat hingga orang lain tak hanya menggandrunginya sebatas manis buahnya, tapi mencari-carinya karena sebab pengaruh positifnya.