Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Hukum Mengucapkan Selamat Natal dan Perdebatan Tak Kunjung Usai

Avatar photo
34
×

Hukum Mengucapkan Selamat Natal dan Perdebatan Tak Kunjung Usai

Share this article

Di antara yang sangat saya nikmati dan selalu menjadi bahan “menggelitik” adalah perdebatan di media sosial pasca akhir tahun, perihal hukum mengucapkan selamat natal.

Sejak saya bergabung dan mulai melek di media sosial, perdebatan itu selalu tersaji dan bahkan tidak akan pernah hilang, apalagi selesai di setiap tahunnya ketika sudah ada di ujung akhir tahun.

Satu akun dengan lantang menyuarakan haram dengan dalih umat Islam tidak perlu mengikuti perayaan dan menyemarakkan acara agama lain, atau alasan yang lain, urusan agama ya jangan dicampur, natal masuk dalam ranah akidah, bukan interaksi sosial lagi, oleh karenanya sangat berdosa jika umat Islam mengucapkan selamat natal kepada pemeluk agama lain.

Akun yang lain yang mendukung dan mengamini pendapat yang mengatakan boleh mengucapkan selamat natal juga tidak mau kalah. Dengan argumentasi yang refresentatif, valid. Ibarot para ulama sudah tersaji dan siap goreng untuk menghadapi mereka yang mengatakan haram.

Bagaimanapun argumentasi dan sanggahannya, seperti apapun rasio dan nalar mengolahnya untuk bisa diterima oleh semua kalangan secara kolektif, hukum yang masih khilaf (diperdebatkan) bagi para ulama, ya tetap khilaf. Bahkan sampai kiamat kurang dua jam saja akan tetap khilaf. Dan tidak bisa dipaksa menjadi hukum konsensus (mujma alaih), kemudian disampaikan kepada masyarakat. Alasannya sederhana itu tadi, khilaf!

Ucapan Selamat Natal dalam Nalar Fikih

Membahas hukum fikih memang seru dan menunjukkan bahwa sampai kapan pun, fikih akan terus dibutuhkan untuk menghadapi, menjawab, dan memberikan alternatif dari regulasi dan beberapa persoalan baru yang terjadi di kalangan masyarakat. Akan tetapi, membahas satu tema, tanpa mengenal akhir dan batas waktu merupakan sesuatu yang sia-sia. Misalnya, setiap tahun bahas hukum mengucapkan selamat natal.

Mari kita sudahi pembahasan ini. Penting memang. Akan tetapi masih banyak persoalan-persoalan lain yang juga berkaitan dengan fikih perlu untuk segera dituntaskan. Masyarakat kita tidak hanya penting “tahu” hukum mengucapkan natal, jauh dari itu mereka juga membutuhkan bimbingan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Semoga tulisan singkat di bawah ini bisa menyudahi beberapa pembahasan yang kerap dijadikan perbincangan setiap tahunnya. Saya akan menyampaikan beberapa pendapat ulama tentang mengucapkan selamat natal.

1. Ulama yang Mengharamkan

Syekh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Khatib asy-Syarbini, ulama mazhab Syafi’iyah yang hidup pada paruh abad kesembilan, secara tegas mengatakan bahwa orang yang sepakat dengan hari raya non-Muslim, atau yang mengucapkan selamat pada hari raya mereka harus di hukum atau dita’zir. (Lihat, Syekh Khatib asy-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadzil Minhaj, V/526).

Imam Ibnu Hajar al-Haitami, ulama kelahiran Mahallah, Mesir bagian Barat pada Rajab 909 Hijriah ini dalam fatwanya juga tidak jauh berbeda, sebagaimana fatwa Syekh Khatib asy-Syarbini di atas, yaitu tidak membolehkan mengucapkan selamat natal, serta tidak membolehkan menjual aksesoris yang di situ mendukung terhadap perayaan natal, bahkan wajib bagi pemerintah untuk melarang umat Islam akan hal tersebut. (Lihat, Imam Ibnu Hajar, Fatawa Fiqhiah al-Kubra, IV/239).

Imam Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad Syamsuddin, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Ibnul Qayyim al-Jauzi, ulama paruh abad ketujuh dari kalangan mazhab Hanabilah dalam salah satu masterpiece-nya dengan tegas menyatakan tidak boleh (haram) mengucapkan selamat pada syiar-syiar kekafiran yang husus bagi non-Muslim dan bahkan Ibnul Qayyim menganggap pendapat ini sebagai konsensus para ulama. Begitu juga mengucapkan selamat atas hari raya mereka, ini juga haram secara konsensus.

Lebih tegas, Imam Ibnul Qayyim menyatakan, ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka setara dengan ucapan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah, serta lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. (Lihat, Ibnul Qayyim, Ahkamu Ahli Dzimmah, I/441).

2. Ulama yang Memperbolehkan

Syekh Alauddin Abil Hasan bin Sulaiman Al-Mardawi, ulama kelahiran Damaskus 817 Hijriah dan Wafat Tahun 885 H, ini mengatakan bahwa, masih ada dua riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal terkait hukum mengucapkan selamat Natal kepada non-Muslim.

Menurutnya, riwayat pertama mengatakan haram mengucapkan selamat natal pada non-Muslim. Sedangkan riwayat kedua tidak haram, akan tetapi makruh hukum mengucapkannya. Bahkan, sebagaimana yang dikutip oleh beliau, dalam kitab ar-Ri’ayah yang dinukil oleh Imam Al-Mardawi hukumnya boleh, dan ini juga di sampaikan oleh Imam Ibnu Abdus dalam masterpiece-nya, yang berjudul at-Tadzkirah.

Imam Ibnu Abdus juga berpendapat bahwa jika ada maslahah rajihah (nyata-jelas), misalnya ada harapan tertarik pada Islam, maka hukumnya juga diperbolehkan. (Lihat, Syekh Al-Mardawi, Al-Inshof fi Ma’rifatir Rajih minal Khilaf, IV/234).

Asy-Syahid Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, lahir pada tahun 1929 di Desa Jilka, Pulau Buthan (Ibn Umar), sebuah kampung yang terletak di bagian utara perbatasan antara Turki dan Irak. Beliau  berasal dari suku Kurdi, yang hidup da­lam berbagai tekanan kekuasaan Arab Irak selama berabad-abad.

Dalam salah satu masterpiece-nya, yang berjudul Istifta’atun Nas mengemukakan kebolehan mengucapkan selamat natal. Beliau menjelaskan, bahwa boleh mengucapkan kata “selamat” pada ahlul Kitab saat hari raya mereka. Baik orang Nasrani maupun Yahudi, Dengan catatan tidak mengakui terhadap keyakinan mereka.

Tidak hanya itu, Syekh Ramadhan Al-Buthi juga membolehkan masuk ke dalam tempat peribadatan mereka dalam rangka toleransi dan menyesuaikan lingkungan yang ada, dengan syarat tidak mengikuti ritual peribadatan mereka, serta tidak terdapat kemungkaran di dalamnya. (Lihat, Syekh Al-Buthi, Istifta’atun Nas, halaman 41-46).

Al-Allamah Fadhilatul Habib Ali Al-Jufri dalam suatu kesempatan beliau menyampaikan bahwa “hukum berputar sesuai illahnya, al-hukmu yaduru ma’a illatihi” kesepakatan akan haramnya mengucapkan selamat natal oleh ulama terdahulu disebabkan karena disertai iqrar (pengakuan terhadap keyakinan mereka). Sementara peradaban modern, memandang ucapan selamat bukan sebagai pengakuan atas hal yang dirayakan, melainkan murni sebagai wujud menjaga hubungan baik.

Seorang muslim yang mengucapkan selamat natal sama sekali tidak meyakini bahwa agama Kristen benar, yang ada dalam hatinya tidak lain hanya ingin berbuat baik dan menjaga keharmonisan. Orang yang melihatnya pun beranggapan demikian.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami dan disimpulkan bahwa hukum mengucapkan natal dalam diskursus ilmu fikih ada dalam ranah khilafiyah (perbedaan pendapat) di antara para ulama. Dalam ranah khilafiyah, tidak ada suatu keputusan yang harus menjadi konsensus dan harus dipatuhi oleh semua elemen masyarakat.

Siapapun boleh memilih antara mengikuti pendapat yang mengharamkan, juga boleh memilih pendapat yang menghalalkan. Keduanya merupakan dua yang tidak bisa disatukan.

Untuk meminimalisir adanya kegaduhan dan perdebatan berkepanjangan, perlu adanya kesadaran bahwa hukum khilaf tidak untuk diperdebatkan, disalahkan, apalagi sampai tuduh menuduh “kafir” dan “musyrik” antar sesama umat Islam. Ini jangan sampai terjadi dan memang tidak boleh dilakukan.

Mari kita sama-sama bijak dalam bersikap, bahwa perbedaan pendapat ulama muncul tidak hanya saat ini. Perbedaan itu muncul sejak masa Islam datang.

Ditulis dalam perjalanan menuju Muktamar ke-34 NU di Lampung, Selasa (21/12/21), dari Banten hingga mendekati Lampung.

Simak tulisan menarik lainnya tentang hukum mengucapkan selamat natal di sini.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.