Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Penerapan Moderasi Beragama menurut Quraish Shihab

Avatar photo
35
×

Penerapan Moderasi Beragama menurut Quraish Shihab

Share this article

Sebagai kelanjutan pesan Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab terkait moderasi beragama pada tulisan sebelumnya, beliau mengatakan bahwa ulama pada masa dahulu telah mengingatkan kita agar berhati-hati dalam berfatwa dan memberikan jawaban kepada masyarakat.

Beliau berkata, “Sangat keliru bila seseorang hanya membuka buku-buku lama dalam memberikan jawaban terhadap persoalan masyarakat pada masanya dengan jawaban-jawaban ulama terdahulu.”

Pakar tafsir lulusan Universitas al-Azhar ini menguatkan statemennya dengan ungkapan Ibnu Qayyim (w. 751 H), “Orang seperti di atas dianggap lebih berbahaya daripada seorang dokter yang memberikan obat kepada dua orang yang punya gejala demam yang sama, tapi memiliki penyakit yang berbeda.” 

Oleh karena itu, fatwa dan dakwah harus selalu melihat kondisi yang dihadapi. Beliau melanjutkan, “Selain itu, Imam Ghazali (w. 505 H) juga menyatakan, ‘Bila ada dua orang yang bertanya kepada Anda tentang berenang, maka jangan langsung dijawab boleh. Bisa jadi jawaban boleh diberikan kepada penanya pertama, namun jawaban tidak boleh diberikan kepada penanya yang kedua. Kenapa demikian? Karena setelah diteliti, penanya yang pertama adalah orang yang pandai berenang, tapi penanya yang kedua tidak pandai berenang.’ Demikian itu dakwah dan fatwa. Memberikan jawaban yang sesuai dengan kondisi sang penanya.”

Aturan Main Berfatwa dalam al-Qur’an

Dalam berdakwah dan berfatwa, Al Qur’an telah memberikan ilustrasi yang sangat baik untuk dijadikan pegangan. Allah berfirman:

أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا

“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah ia (air) di lembah-lembah menurut ukurannya.”

Dalam ayat di atas, Allah menurunkan air dari langit dan air mengalir di lembah-lembah sesuai ukuran lembah. “Bila air meluap, tidak sesuai kadar lembah, maka penampungannya akan meluap dan menjadikan banjir,” tutur penulis Tafsir al-Mishbah itu.

Demikian pula dalam berdakwah, sampaikan kepada umat yang sesuai dengan ukuran dan kadar yang dibutuhkan mereka. Dalam masyarakat yang majmuk dapat dijumpai beragam karakter manusia.

Ada yang berpikiran sempit, maka dibutuhkan asupan nutrisi dakwah yang sedikit. Ada yang berpikiran luas dan terbuka, maka harus diberikan asupan nutrisi dakwah yang banyak. Ibaranya, air itu tuntunan agama, yang harus diberikan kepada seseorang yang sesuai kadar dan kondisinya.

Baca juga: Mengkampanyekan Islam Moderat ke Generasi Milenial

Beliau mengingatkan bahwa apa yang terdapat pada masa lalu dan masih relevan dengan masa sekarang, maka harus diambil. Dan bila tidak sesuai dengan masa sekarang, maka ambillah yang sesuai dan relevan. Hal tersebut sesuai dengan kaidah yang mengatakan:

المحافظة  على القديم الصالح، والأخذ بالحديد الأصلح

“Memeliha sesuatu yang lama yang masih relevan, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.”

Keniscayaan Diskusi dalam Menerapkan Moderasi

Di samping itu, pada era sekarang, kondisinya jauh berbeda dengan masa dahulu. Masa sekarang perlu menerapkan moderasi. Untuk menerapkannya, maka harus membuka ruang diskusi kepada khalayak yang berbeda pendapat. Al Qur’an menegaskan bahwa seorang yang berdakwah hendaknya harus membuka ruang diskusi.

وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Dan berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.”

Beliau berkata, “Dalam konteks menerapkan moderasi seringkali kita menjumpai orang–orang yang tidak sependapat dengan kita, untuk itu maka diperlukan ruang diskusi. Salah satu ciri orang yang punya sikap moderasi itu bersedia mendiskusikan pendapatnya dengan pihak lain.”

Baca juga: Kembali ke Sunnah, Kembali ke Wasathiyah

Dalam berdiskusi dengan pihak lain, tidak dibutuhkan siapa yang menemukan kebenaran setelah berdiskusi. Imam Syafi’i berkata, “Setiap saya berdiskusi dengan pihak lain, saya tidak pernah peduli apakah kebenaran yang saya anut atau kebenaran orang lain yang saya temukan. Jika kebenaran saya jumpai pada orang lain, maka akan saya ikuti.”

Dalam hal itu pula, Al Quran tidak hanya mengajarkan kaidah (رأينا صواب يحتمل الخطأ، ورأي غيرنا خطأ يحتمل الصواب) “Ra’yuna shawab yahtamilu al Khata’, wa ra’yu Ghairina khata’ yahtamilu al Shawab.” (Pendapat kami benar namun bisa jadi salah, pendapat orang lain salah namun bisa jadi benar), justru ialah:

وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Sesungguhnya kami atau kamu, pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.”

Untuk itu, dalam hidup bermasyarakat mari kita saling bekerja sama tanpa menuding orang lain, tanpa menuduh nonmuslim itu kafir. Oleh karena demikian, mengapa Allah berfirman (قل ياأيها الكافرون ) “qul ya ayyuhal kafirun.” Kenapa harus ada kufur?

Menurutnya dalam tafsir Mafatih al Ghaib, Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 605 H) mengatakan bahwa antara lain dikatakan bahwa Nabi Muhammad sebenarnya secara tabiat, perangai dan perasaannya enggan menuduh nonmuslim dengan kafir. Tapi ini merupakan perintah Allah. Artinya, dalam hal ini seakan-akan Allah mengatakan kepada Nabi Muhammad, sampaikan kepada mereka bahwa saya tidak akan menyampaikan kata kafir ini kepada kalian, tetapi ini adalah perintah Allah yang harus disampaikan khusus kepada kalian.

Pesan Orang bijak tentang Penerapan Moderasi

Salah satu tanda orang yang moderat dan menerima pandangan tentang moderasi adalah terbuka untuk berdiskusi dengan orang lain. Jika pintu diskusi dibuka selebar-lebarnya namun mereka enggan untuk berdiskusi dengan orang yang berbeda pandangan, maka tidak perlu mengajak mereka untuk berdiskusi. Sebab jikapun Anda mampu mengalahkan mereka dengan argumentasi tapi Anda belum tentu mampu mengalahkan kepala batunya, maka tidaklah perlu berdiskusi, demi kedamaian.

Beliau berkata, “Ada orang-orang yang enggan menerima moderasi sehingga enggan berdiskusi. Kalau enggan berdiskusi tidak usah berdiskusi sebab orang bijak berkata, ‘Kalau seandainya Anda dapat mengalahkan mitra diskusi Anda dengan argumentasi, tetapi Anda tidak bisa mengalahkan kepala batunya, maka Anda tidak perlu berdiskusi dengannya karena dalam Al Qur’an dinyatakan: وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا yang artinya, ‘Apabila orang-orang bodoh menyapa mereka, mereka mengatakan, ‘Saya mencari kedamaian.’”

6 Prinsip Penerapan Moderasi

Moderasi adalah ciri ajaran Islam. Karena moderasi adalah keseimbangan. Moderasi digambarkan sebagai neraca. Oleh karena itu, jika ingin menerapkan moderasi maka seseorang harus menerapkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, harus seimbang, melihat antara kedua sisi; kanan dan kiri. Kalau tidak melihat kedua sisi, maka dapat dipastikan tidak akan tahu posisi yang seimbang. itulah moderasi.

Kedua, harus terbuka. Jika seseorang ingin menerapkan moderasi maka harus terbuka kepada siapapun agar mampu menyerap dan mengetahui argumetasi-argumentasi orang lain dengan baik. Bila itu sudah dilakukan dengan baik, maka seseorang bisa menetapkan arah mana yang akan dilakukannya. Sebagaimana halnya, seseorang yang tidak tahu berapa jumlah orang yang ada di depannya, maka dia tidak akan mengetahui siapa yang berposisi di tengah.

Ketiga, moderasi memerlukan pengetahuan yang luas dan penerapannya memerlukan hikmah.

Keempat, menerapkan moderasi memerlukan kehati-hatian, tidak berlebih-lebihan dan juga tidak ceroboh.

Kelima, menerapkan moderasi memerlukan emosi yang stabil.

Keenam, menerapkan moderasi memerlukan akurasi penyampaian dan kesesuaian dengan konteks.

Contoh dalam penerapan moderasi adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw, yang diperintahkan untuk membaca dan membaca tanpa mengetahui apa yang harus dibaca. Setelah dibekali oleh ilmu dengan membaca, baru kemudian Nabi diperintahkan berdakwah, dengan dibekali mental spiritual.

Baca tulisan menarik lainnya tentang moderasi Islam di sini.

Kontributor

  • Rozi Nawafi

    Ahli ilmu qira'at Al-Qur'an Asyrah al-mutawatirah bersanad sampai kepada Nabi. Wakil koordinator pendidikan dan pengajian di Pesantren Darussalam Keputih Surabaya dan pengisi acara Kiswah Tv 9 Nusantara NU Jatim. Penulis buku “Mengarungi Samudra Kemuliaan 10 Imam Qira’at.”