Sudah menjadi pengetahuan umum jika seorang kekasih akan menuruti apa yang diminta oleh orang yang dikasihinya. Bahkan dalam kisah asmara anak muda, tidak jarang laki-laki harus mengadaptasi hobinya dengan hobi kekasihnya. Misal, sang kekasih suka nonton Drakor. Tidak menuntut kemungkinan laki-laki tadi juga ikut-ikutan nonton Drakor. Paling tidak menemaninya nonton.
Demikian halnya cinta kepada Allah Swt. Orang yang mengaku mencintai-Nya, otomatis harus melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang-Nya. Semakin tulus cinta itu, semakin besar pula ketaatannya. Allah sendiri dalam Al-Qur’an telah menuntut pada hamba mengaku mencintai-Nya agar membuktikan cinta itu dengan mematuhi “kemauan” Allah.
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Imran [3]: 31)
Menafsiri ayat di atas, Syekh Muhammad Musthafa al-Maraghi (w. 1945 M) menjelaskan, seseorang yang ingin dikatakan sebagai hamba yang taat kepada Allah dan amal ibadahnya memperoleh pahala di sisi-Nya, maka harus mematuhi syariat yang telah Allah wahyukan melalui Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, Allah ridha padanya serta mengampuni dosa yang telah ia perbuat.
Lebih lanjut, al-Maraghi menegaskan, ayat ini ditunjukkan bagi orang yang mengaku cinta kepada Allah, tetapi tidak membuktikan dengan amal perbuatannya. Lain lisan, lain perbuatan. Mustahil, orang mencintai tapi tidak tahu siapa yang dicintainya dan tidak menjalani semua perintah serta menjauhi setiap larangannya. (Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, vol. I, hal. 331)
Berbuat Salah adalah Fitrah
Sebagai manusia biasa yang jelas tidak mendapat jaminan untuk terbebas dari maksiat, adalah hal wajar jika seorang hamba melakukan dosa kepada Allah Swt. Belum lagi hidup di zaman digital yang memudahkan manusia untuk mengakses apapun dan potensi terjerumus dalam perbuatan maksiat sangat besar. Lalu, jika seseorang mengaku cinta kepada Allah, apakah melakukan maksiat dapat menodai rasa cinta kepada-Nya?
Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya Al-Hubbu Fil Qur’an menarik untuk kita simak. Menurut al-Buthi, kemantapan cinta seorang hamba kepada Allah tidak menuntut ketundukan secara total terhadap-Nya. Karena jika harus demikian, justru akan bertentangan dengan fitrah manusia sebagai hamba yang lemah. Kelemahan yang dimiliki hamba tersebut sewaktu-waktu bisa menjerumuskan dirinya pada noktah maksiat. (Al-Buthi, Al-Hubbu Fil Qur’an, hal. 62-63)
Penulis mencoba menguraikan pendapat Al-Buthi di atas. Dalam fitrah hierarki penciptaan, Allah mengklasifiksi makhluk menjadi tiga golongan. Pertama adalah malaikat yang dianugerahi akal, tapi tidak memiliki nafsu. Oleh karena itu, malaikat tidak pernah terbesit untuk melakukan maksiat. Kedua adalah hewan yang dianugerahi nafsu, tapi tidak memliki akal. Karena tidak berakal, maka hewan tidak dibebani amanah syariat (taklif).
Sementara yang ketiga adalah manusia. Selain diberi potensi akal, manusia juga memliki nafsu. Dengan potensi akal yang dimilikinya, manusia dibebani amanah syariat. Semakin hamba taat dengan aturan syariat yang ada, semakin luhur pula derajatnya di sisi Allah. Sementara di sisi lain, potensi nafsu dalam dirinya membuat manusia tidak bisa maksimal dalam menjalani ketaatan, bahkan sangat mungkin untuk terjerumus dalam kemaksiatan.
Nah, dengan demikian, rasanya mustahil bagi seorang manusia untuk tidak bermaksiat kepada Allah. Sekalipun kita mengaku begitu besar mencintai-Nya. Kecuali seorang nabi yang sudah mendapat jaminan tidak terjerumus dalam kemaksiatan (makshum).
Untuk mendukung argumennya di atas, Al-Buthi mengisahkan sosok Nuaiman. Salah satu sahabat Nabi yang kandati sering melakukan dosa besar, tetapi dirinya mencintai Allah dan rasul-Nya. Bahkan cintanya mendapat legalitas langsung dari Rasulullah.
Baca juga:
Dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari dikisahkan, Nuaiman merupakan orang yang sempat beberapa kali dihadapkan kepada Rasulullah Saw. karena sering melakukan perbuatan maksiat yang berakibat untuk dijatuhi had. Dilihat dari konsekuensi kesalahannya, tampak bahwa dosa yang sering diperbuat Nuaiman bukan dosa remeh, melainkan dosa besar sekelas meminum arak.
Suatu hari didatangkan kesekian kalinya ke Rasulullah untuk menjalani hukuman had karena meminum arak, salah seorang sahabat memakinya karena geram. “Sering sekali ia dihadapkan ke pangadilan Rasulullah,” kata sahabat tadi.
Mendengar ucapan sahabat tersebut, Rasulullah menanggapinya, “Jangan Anda maki-maki dia, karena ia mencintai Allah dan rasul-Nya.”
Mengomentari kisah di atas, Imam Ibnu Hajar menjelaskan, tidaklah bertentangan jika seorang hamba menerjang larangan Allah, sementara di sisi lain ia juga mengaku cinta kepada-Nya. Karena Rasulullah sendiri mengonfirmasi bahwa Nuaiman adalah sosok yang mencintai Allah dan rasul-Nya, kendati ia berulang kali berbuat maksiat. (Ibnu Hajar, Fathul Bari, vol. XII, hal. 80)
Hemat penulis, jika kita benar-benar mencintai Allah Swt., sudah semestinya kita jaga kesucian cinta itu sebisa mungkin. Bukan berarti berbuat dosa sebagai kewajaran bagi seorang manusia, kemudian kita terkesan menyepelekan perbuatan-perbuatan dosa. Mugkin syair gubahan Imam Syafi’i berikut ini menarik untuk kita resapi,
تَعصي الإِلَهَ وَأَنتَ تُظهِرُ حُبَّهُ
هَذا مُحالٌ في القِياسِ بَديعُ
لَو كانَ حُبُّكَ صادِقاً لَأَطَعتَهُ
إِنَّ المُحِبَّ لِمَن يُحِبُّ مُطيعُ
Kau bilang mencintai Allah, tapi masih saja bermaksiat kepada-Nya.
Sungguh hal tidak wajar dan sulit diterima akal.
Jika kau benar-benar mencintai-Nya, kau pun harus setia pada-Nya.
Sungguh, sudah seharusnya orang yang mencintai patuh pada siapa yang dicintai.
Baca tulisan menarik lainnya tentang Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi di sini.