Di Indonesia–khususnya lingkungan pesantren–menghormati
keturunan para ulama merupakan ajaran yang sudah diwariskan antar generasi. Di Jawa
misalkan, keturunan kiai biasa diberi gelar “gus” untuk laki-laki dan “ning”
untuk perempuan. Hal ini antara lainmenunjukkan bagaimana penghormatan
masyarakat kepada mereka.
Di samping itu, ada banyak sekali ulama besar yang
kemudian memiliki keturunan yang juga menjadi ulama besar. Di antaranya yang
terkenal misalkan Abu Muhammad al-Juwaini (w. 438 H) dan Imam Haramain al-Juwaini
(w. 478 H), Taqiyyuddin as-Subki (w. 756 H) dan Tajuddin as-Subki (w. 771 H),
Syihabuddin ar-Ramli (w. 957 H) dan Muhammad ar-Ramli (w. 1004 H) dll. Hal ini
dikarenakan kebanyakan orang tua pasti berusaha keras untuk mendidikanak-anaknya.
Di Indonesia misalkan, Abuya Dimyati Cidahu
Pandeglang (w. 1424 H), banyak dikisahkan bahwa beliau tidak mau memulai
pengajian kecuali apabila semua anak-anaknya sudah berkumpul. Pernah suatu
ketika beliau berkata, “Aing mah ndek magahan anak aing, lain daria! (Saya
di sini mau mengajari anak-anak saya, bukan kalian!).” Sehingga pada beberapa
kasus terkadang anak sang ulama lebih mengetahui pendapat orang tuanya dan
menerima lebih banyak ilmu dari sang ayah dibandingkan murid-murid sang ayah yang
lebih senior. Maka wajar apabila murid-murid sang ayah kemudian belajar juga
kepada anaknya meskipun umur mereka terpaut jarak yang jauh dan wajar pulalah
apabila kemudian keturunan para ulama ikut dihormati sebagaimana orang tuanya.
Berkenaan dengan hal tersebut, al-Khathib
asy-Syirbini (w. 977 H) –penulis kitab Mughni al-Muhtaj salah satu
pedoman mutaakhirin Syafi’iyyah dalam mencari pendapat muktamad– pernah berguru
kepada Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari (w. 926 H) bersama dengan Syihabuddin
ar-Ramli dan Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H).
Setelah Syaikhul Islam wafat beliau berguru kepada
Syihabuddin ar-Ramli yang merupakan murid senior Syaikhul Islam. Setelah Syihabuddin ar-Ramli wafat, majlisnya
diisi oleh anaknya (yaitu) Muhammad ar-Ramli penulis Nihayah al-Muhtaj, meskipun
umur al-Khathib asy-Syirbini jauh lebih senior daripada Muhammad ar-Ramli, tapi
ia tetap rajin menghadiri majlis putra gurunya tersebut.
Suatu
ketika, Al-Khathib asy-Syirbini
pernah mengutip dari
Syihabuddin Ar-Ramli bahwa gurunya
itu mengatakan apabila
seorang perempuan melahirkan
anak yang kering (tanpa diiringi dengan cairan), maka
wudhunya dianggap batal. Karena dalam mazhab Syafi’i anak adalah hasil dari
kumpula sperma laki-laki dan sel telur wanita. Memang benar bahwa mengeluarkan
sperma tidak membatalkan wudhu, namun anak yang keluar dari rahim ibunya merupakan
hasil dari percampuran sel telurnya dan sperma suaminya, sehingga hal tersebut
menyebabkan batalnya wudhu sang ibu. Ia menuliskan:
ﻧﻌﻢ ﻟﻮ ﻭﻟﺪﺕ ﻭﻟﺪا ﺟﺎﻓﺎ اﻧﺘﻘﺾ ﻭﺿﻮءﻫﺎ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﻓﺘﺎﻭﻯ ﺷﻴﺨﻲ ﺃﺧﺬا ﻣﻦ
ﻗﻮﻝ اﻟﻤﺼﻨﻒ: ﺇﻥ ﺻﻮﻣﻬﺎ ﻳﺒﻄﻞ ﺑﺬﻟﻚ؛ ﻷﻥ اﻟﻮﻟﺪ ﻣﻨﻌﻘﺪ ﻣﻦ ﻣﻨﻴﻪ ﻭﻣﻨﻲ ﻏﻴﺮﻫﺎ
“Memang, apabila (perempuan) melahirkan bayi yang
kering, maka batallah wudhunya sebagaimana terdapat dalam fatwa guru saya
(Syihabuddin ar-Ramli), karena menyimpulkan dari ucapan mushannif: ‘bahwa
puasanya batal disebabkan hal tersebut’; hal ini dikarenakan bayi tersebut
terbentuk (dari campuran) spermanya dan sperma orang lain.” (Mughni
al-Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994 M, vol. 1, hlm. 141)
Pada teks di atas jelas bahwa al-Khathib
asy-Syirbini mengutip dari Syihabuddin ar-Ramli bahwa ia berpendapat perempuan
yang melahirkan bayi yang kering wudhunya batal.
Ini aneh, karena Muhammad ar-Ramli (putra
Syihabuddin ar-Ramli) menukil bahwa ayahnya tidak berpendapat demikian,
melainkan beliau mengatakan bahwa wudhunya tidak batal, karena meskipun bayi merupakan
campuran dari sperma si wanita dan orang lain, akan tetapi sperma tersebut
telah berubah menjadi wujud makhluk hidup, sehingga tidak mesti kemudian
hukumnya disamakan dengan sperma biasa dalam setiap aspek.
Muhammad ar-Ramli menuliskan:
ﻭﻟﻮ ﺃﻟﻘﺖ ﻭﻟﺪا ﺟﺎﻓﺎ ﻭﺟﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﻐﺴﻞ ﻭﻻ ﻳﻨﺘﻘﺾ ﻭﺿﻮءﻫﺎ ﻛﻤﺎ ﺃﻓﺘﻰ
ﺑﻪ اﻟﻮاﻟﺪ – ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ – ﺗﺒﻌﺎ ﻟﻠﺰﺭﻛﺸﻲ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻫﻮ ﻭﺇﻥ اﻧﻌﻘﺪ ﻣﻦ ﻣﻨﻴﻬﺎ ﻭﻣﻨﻴﻪ ﻟﻜﻦ
اﺳﺘﺤﺎﻝ ﺇﻟﻰ اﻟﺤﻴﻮاﻧﻴﺔ ﻓﻼ ﻳﻠﺰﻡ ﺃﻥ ﻳﻌﻄﻰ ﺳﺎﺋﺮ ﺃﺣﻜﺎﻣﻪ
“Dan apabila perempuan melahirkan bayi yang
kering, maka dia wajib mandi akan tetapi tidak batal wudhunya sebagaimana
difatwakan oleh orang tua saya (Syihabuddin ar-Ramli) –Semoga Allah merahmatinya–
mengikuti pendapat az-Zarkasyi (w. 794 H) dan selainnya, karena bayi tersebut, meskipun
terbentuk dari sperma perempuan dan sperma laki-laki, akan tetapi sperma tersebut
telah berubah menjadi makhluk hidup sehingga tidak mesti diberi hukum yang sama
dengan semua hukum sperma.” (Nihayah al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr, 2014
M, vol. 1, hlm. 131-132)
Syekh Muhammad ar-Ramli pernah ditanya, sebenarnya
manakah pendapat ayahnya yang benar? Beliau menjawab bahwa apa yang dinukil al-Khathib
asy-Syirbini itu benar, namun kemudian ayahnya menarik kembali pendapat itu dan
memilih pendapat yang mengatakan tidak batal.
Syekh Abdul Hamid Syarwani merekam itu dan
menuliskan:
ﻭﻓﻲ اﻟﻜﺮﺩﻱ ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ﻭﺳﺌﻞ اﻟﺠﻤﺎﻝ اﻟﺮﻣﻠﻲ
ﻋﻦ ﺗﺨﺎﻟﻔﻪ ﻣﻊ اﻟﺨﻄﻴﺐ ﻓﻲ ﺇﻓﺘﺎء ﻭاﻟﺪﻩ ﻓﺄﺟﺎﺏ ﺑﺄﻥ ﻣﺎ ﻧﻘﻠﻪ اﻟﺨﻄﻴﺐ ﺻﺤﻴﺢ ﻟﻜﻨﻪ ﻣﺮﺟﻮﻉ ﻋﻨﻪ
“Dlam (Hasyiyah) syekh Sulaiman al-Kurdi (terhadap
Tuhfah al-Muhtaj) terdapat redaksi yang berbunyi: ‘syekh Muhammad ar-Ramli pernah
ditanya tentang perbedaannya dengan al-Khathib asy-Syirbini mengenai fatwa ayahnya
(Syihabuddin ar-Ramli), maka ia menjawab bahwa apa yang dinukil oleh al-Khathib
asy-Syirbini itu memang benar (merupakan pendapat sang ayah), akan tetapi pendapat
tersebut dirujuk kembali.’” (Hasyiah asy-Syarwani ‘Ala Tuhfah al-Muhtaj,
vol. 1, hlm. 131)
Dalam masalah ini, Al-Khathib asy-Syirbini yang notabene
murid senior Syihabuddin ar-Ramli tidak mengetahui bahwa sang guru merujuk
kembali pendapatnya, dan ternyata sang anak yang lebih tahu meskipun lebih muda.
Dari sini kita bisa memahami mengapa ulama-ulama
kita sangat menghormati putra dan putri guru-gurunya, di samping mencari berkah
dan ridha guru, namun ada alasan lain dibalik hal tersebut, yaitu terkadang keluarganya
mengetahui lebih banyak tentang ilmu sang guru dibanding orang lain. Wallahu
a’lam.