Banyak dari kita sering
mengeluhkan sulitnya belajar, terutama dalam ilmu agama. Merasa kesulitan
menghapal, kesulitan memahami, dll. Tak jarang hal tersebut membuat sebagian
kita berpikir bahwa ia terlalu banyak kekurangan, terlalu bodoh dsb. Padahal
apabila kita merenungkan kembali, sebenarnya kita tidak banyak kekurangan sama sekali
dibandingkan orang lain.
Syeikh Jalaluddin al-Mahalli (w.
864 H) misalkan, ia adalah seorang tokoh besar dalam mazhab Syafi’i. Ia murid Ibnu
Hajar al-Asqalani (w. 852 H) penulis Fath al-Bari penjelasan Shahih
al-Bukhari. Ia banyak memiliki sumbangsih besar di berbagai macam disiplin
keilmuan; sebut saja dalam ilmu tafsir ia menyumbang Tafsir al-Jalalain.
Dalam ilmu fikih, ia menulis Kanz ar-Raghibin penjelasan Minhaj
ath-Thalibin-nya Imam
Nawawi (w. 676 H). Dalam ilmu ushul fikih beliau punya penjelasan terhadap Jam’
al-Jawami’-nya Imam Subki (w. 771 H), dan juga syarah terhadap kitab al-Waraqat-nya
Imam Haramain (w. 478 H).
Merupakan hal yang menarik
ketika az-Zarkali (w. 1396 H) menulis biografi beliau dengan mendeskripsikan
bahwa:
ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ اﻟﺤﻔﻆ: ﺣﻔﻆ ﻣﺮﺓ
ﻛﺮاﺳﺎ ﻣﻦ ﺑﻌﺾ اﻟﻜﺘﺐ ﻓﺎﻣﺘﻸ ﺑﺪﻧﻪ ﺣﺮاﺭﺓ
“(Jalaluddin al-Mahalli)
adalah orang yang tidak mampu menghafal, pernah suatu ketika beliau menghafal
catatan dari beberapa buku dan suhu panas tubuhnya langsung naik.” (al-A’lam,
Dar al-Ilm, juz 5, hlm. 333-334)
Artinya imam besar yang punya
banyak sumbangsih dalam disiplin keilmuan ini ternyata punya kekurangan di
bidang menghafal. Tubuhnya akan kepanasan dan sakit apabila dipaksa untuk
menghafal. Tapi ternyata hal tersebut bukanlah suatu alasan untuk berhenti
berkarya. Terbukti sampai sekarang,
kedudukan beliau dalam dunia keilmuan Islam tidak diragukan lagi.
Syeikh Sulaiman al-Jamal (w.
1204 H) tidak berbeda jauh dengan
tokoh di atas. Dia merupakan tokoh besar dalam
madzhab Syafi’i. Dia murid
dari Grand Syeikh al-Azhar ke-8; Syeikh
Muhammad al-Hifni (w. 1181 H).
Syeikh Sulaiman al-Jamal
memiliki banyak sumbangsih terhadap khazanah keilmuan Islam. Sebut saja dalam
ilmu tafsir beliau menulis al-Futuhat al-Ilahiyyah; penjelasan Tafsir
al-Jalalain. Dalam ilmu fikih beliau menulis Futuhat al-Wahhab, hasyiah
terhadap syarh Manhaj ath-Thullab tulisan Syeikhul Islam Zakaria
al-Anshari (w. 926 H).
Syeikh Abdul Hayy al-Kattani
(w. 1382 H) ketika menuliskan biografi beliau, menukil dari Ibnu Abdissalam
an-Nashiri (w. 1329 H):
ﻫﺬا اﻟﺮﺟﻞ ﺁﻳﺔ اﻟﻠﻪ اﻟﻜﺒﺮﻯ ﻓﻲ ﺧﻠﻘﻪ ﻣﻊ
ﻛﻮﻧﻪ ﺃﻣﻴﺎ ﻻ ﻳﺤﺴﺐ ﻭﻻ ﻳﻜﺘﺐ ﺑﻞ ﻭﻻ ﻳﻄﺎﻟﻊ، ﻭﺩﺃﺑﻪ ﺃﻥ ﻳﺄﺗﻲ ﺑﻤﻦ ﻳﻄﺎﻟﻊ ﻟﻪ ﺣﺼﺘﻪ ﻓﻲ ﺳﺎﺋﺮ
ﻣﺎ ﻳﺮﻳﺪ ﺗﺪﺭﻳﺴﻪ ﻣﻦ اﻟﻔﻨﻮﻥ، ﻓﻴﺴﺮﺩ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻳﺤﻔﻆ ﻫﻮ ﺟﻤﻴﻊ ﺫﻟﻚ
“(Syeikh Sulaiman Jamal)
adalah tanda kebesaran Allah yang agung pada ciptaan-Nya, padahal dia adalah
seorang yang ummi; tidak bisa menghitung, tidak bisa menulis, bahkan tidak bisa
membaca, ia selalu memerintahkan orang untuk membacakan untuknya bagian yang
akan ia ajarkan dari setiap disiplin cabang ilmu, maka ia pun menghafal
semuanya.” (Fihris al-Faharis, Beirut: Dar al-Gharb
al-Islamiy, juz 1, hlm. 300).
Dari penjelasan di atas kita
bisa memahami bagaimana seseorang yang punya kekurangan yang sangat fatal di
bidang keilmuan, yaitu tidak bisa membaca dan menulis, akan tetapi
kekurangannya tidak menghambatnya untuk memperkaya pengetahuannya. Bahkan
menjadi tokoh besar dalam madzhab Syafi’i yang karangannya dijadikan rujukan
dalam memutuskan hukum.
Apabila dibandingkan, tentu
kebanyakan dari kita punya modal yang lebih banyak untuk menerima ilmu, baik hafalan, maupun kemampuan
membaca dan menulis. Maka dua tokoh ini–yang pertama tidak bisa menghapal namun
bisa membaca dan menulis, lalu ia berjuang dengan kemampuan baca tulisnya, dan
yang kedua tidak bisa menulis dan membaca, namun bisa menghafal, lalu ia
berjuang dengan hafalannya–merupakan gambaran nyata, bahwa terkadang bukan
bekal Tuhan yang kurang pada diri kita, tapi kita yang memang terlalu malas!
Semoga Allah memberikan
taufik kepada kita semua. Amin!