Pujian Al-Qur’an Untuk Ashabus Shuffah
Dalil syariat tentang tasawuf sudah jelas: Hadits Jibril mengenai Ihsan merupakan pembenar tentang tradisi kesufian. Sementara Ashabus Shuffah menjadi semacam contoh konkrit mengenai tradisi tersebut. Artinya tasawuf tidak hanya berada dalam tataran ide, namun sudah lengkap dalam tataran praktik di masa Rasulullah.
Siapa sebenarnya Ashabus Shuffah? Ini yang akan kita perbincangkan. Dalam tafsir biasanya merujuk pada ayat yang khusus memuji mereka: “Dan jangan kau (Muhammad Saw) usir mereka yang menyeru/berdoa pada Allah di siang dan malam karena menginginkan ridla-Nya, (rizki) mereka tidak ada dalam hitunganmu dan mereka juga tidak menanggungmu sama sekali. Jika mengusir mereka maka kamu menjadi bagian orang-orang lalim.” (QS. Al-An’am: 52)
Ayat tersebut memuji Ashabus Shuffah sebagai “yang menyeru/ berdoa pada Allah siang dan malam”. Mereka adalah kaum muhajirin yang hijrah bersama Nabi Saw namun tidak memiliki sanak famili di kota Madinah. Sehingga Nabi Saw membangunkan tempat di samping Masjid Rasulullah.
Rasulullah yang Memberi Nama
Yang memberi nama mereka dengan Ashabus Shuffah adalah Rasulullah sendiri. Rasul selalu menyapa mereka dengan “Assalamualaikum, wahai Ashabus Shuffah.” Jumlahnya, menurut Abu Nuaim dalam Hilyah, berkisar antara 70 orang hingga 300 orang. Ibn Ajibah menambahkan angka tersebut dalam Futuhat Ilahiyah, hingga membengkak ke angka 400 orang.
Baca juga: Mereka yang Terakhir Wafat dari Kalangan Sahabat dan Tabi’in
Mereka disebut dengan kaum fakir para sahabat. Sebab meskipun mereka kaya di masa jahiliyah, seperti Mush’ab bin Umair, tapi semua ditinggalkan demi hijrah ke jalan keimanan.
Pakaian dan Makanan Ashabus Shuffah
Kehidupan Ashabus Shuffah sangat memprihatinkan. Pakaian mereka hanya satu setel sehingga terlihat lusuh dan sudah robek-robek. Bahkan ada yang hanya sebatas lututnya sehingga tatkala sujud dalam shalat ada yang harus menahan bajunya supaya aurat mereka tidak terlihat.
Ayat di atas turun dalam rangka membungkam para elit kaum Quraisy yang mengejek mereka di hadapan Nabi Saw, “Muhammad, seandainya kamu meluangkan waktu dengan kami secara khusus tanpa dihadiri mereka yang pakainnya compang-camping itu, mungkin kami akan ikut (masuk islam) bersamamu”. Tapi Nabi segera mendapat teguran ayat di atas dan memilih duduk dengan Ashabus Shuffah.
Apa yang akan dimakan dalam keseharian mereka juga menunggu dan bergantung pada pemberian dari Rasulullah. Terkadang mereka harus mengganjal perut dengan batu sebagaimana Rasulullah juga melakukannya. Jika malam maka Rasulullah menyiarkan, “Siapa yang punya makanan cukup untuk dua orang maka hendaknya dia membawa 3, jika cukup untuk 3 maka bawalah 4 orang, jika cukup 4 maka bawalah 5, jika cukup untuk 5 orang maka bawalah 5. Sesungguhnya Abu Bakar membawa 3 orang dan Rasulullah membawa 10 orang.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Selain untuk mengajarkan sedekah ke para sahabat, angka-angka ini disebutkan guna menyadarkan kita bahwa keberkahan makanan ada pada banyaknya tangan. Semakin banyak tangan yang ikut makan maka semakin berkah; meski secara kasat mata makanan hanya cukup untuk hitungan tertentu.
Kegiatan Ashabus Shuffah
Saya membayangkan mereka selayaknya santri di pesantren, Ashabus Shuffah adalah santri-santri Rasulullah yang menginap di emperan masjid Madinah. Sehingga dari kelompok Ashabus Shuffah inilah lahir ulama sahabat seperti Abu Hurairah yang tercatat sebagai perawi hadits terbanyak 6000 hadits lebih, Huzaifah Ibn Al-Yaman sebagai pengoleksi hadits tentang fitnah akhir zaman, Abu Dzar Al-Ghiffari yang menjadi ikon kaum sufi dengan kritik tajamnya pada penguasa yang mulai terbuai oleh kekuasaan dan masyarakat yang mulai terpesona dengan kemegahan dunia.
Baca juga: Kisah Seorang sahabat Masuk Islam di Tangan Tabi’in
Ashabus Shuffah sebagaimana deskripsi Al-Qur’an di atas adalah orang-orang yang menyibukkan diri dengan ibadah, zikir dan ilmu. Tak ada yang lain.
Suatu kali Rasulullah melewati segerombolan Ashabus Shuffah, lantas Rasulullah menyapa, “Apa yang kalian lakukan?”
“Kami berzikir bersama, wahai Rasulullah,” jawab Salman Al-Farisi mewakili mereka.
“Saya melihat malaikat rahmat turun menaungi kalian. Maka saya akan duduk dengan kalian,” tutur Rasulullah.
Suatu kali Rasulullah menawarkan pada mereka, “Maukah kalian pergi ke Batha’ dan ke Al-Aqiq untuk mendapatkan masing-masing 2 unta yang halal tanpa melakukan dosa?!”
“Kita semau mau itu, wahai Rasulullah.” sahut mereka.
“Pergilah ke masjid. Baca dan pelajari kitab Allah (Al-Qur’an)! Maka ini lebih baik dari menyedekahkan 4 ekor unta yang gemuk-gemuk.”
Jadi kegiatan mereka adalah ibadah di malam hari, puasa di siang hari, mempelajari ilmu, dan pergi ke medan jihad.
Mayoritas Ashabus Shuffah mati syahid di medan perang. Sebagai panutan kaum sufi, tak benar jika kaum sufi masa kini hanya menghabiskan waktunya dalam mihrab dengan memegang tasbih, tanpa belajar ilmu dan berjihad dalam pengertian yang luas: semisal mencari nafkah untuk keluarga dalam konteks modern.
Tidak Berubah
Berkat tarbiyah Rasulullah, Ashabus Shuffah menjadi pribadi-pribadi istimewa. Perubahan nasib tak merubah karakter dan sifat mereka seperti dipuji Al-Qur’an. Setelah islam semakin meluas, perekonomian sebagian Ashabus Shuffah membaik, namun tak merubah karakter sebagai “orang-orang yang menyeru pada Allah di siang dan malam karena mengharap ridla-Nya”.
Baca juga: Momen-momen Spesial Baginda Rasulullah Mendidik Sahabat
Sebagian memang menolak kenikmatan dunia yang berlebihan seperti Abu Dzar Al-Ghifari. Namun pada prinsipnya secara lahir dan tampilan boleh berubah namun kesungguhan hati dan tekad tak pernah berubah. Ini menjadi teladan bagi kaum sufi dalam menyikapi setiap perubahan yang dihadapi; bisa memilih jalan Abu Dzar atau jalan Ashabus Shuffah yang lain. Semua ada dasarnya.
Hakim bin Hizam Diperintah Bekerja
Dalam mendidik santri-santrinya, Rasulullah tak memperlakukan mereka secara seragam. Setiap orang dididik sesuai dengan kapasitas dan bakatnya. Hakim bin Hizam, termasuk seorang anggota Ashabus Shuffah, mendatangi Rasulullah untuk meminta pertolongan yang ketiga kalinya.
Rasul kemudian berpesan padanya, “Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini menyilaukan. Siapa yang mengambilnya dengan kedermawanan maka akan diberkahi, tapi yang mengambilnya dengan mengikuti nafsunya maka tidak diberkati; seperti orang makan tapi tak kenyang-kenyang. Sungguh, seseorang yang mengambil tali untuk mengumpulkan kayu bakar (untuk dijual) lebih baik dari meminta-minta, entah diberi atau tidak.”
Sebaliknya Bilal bin Rabah malah dimarahi tatkala ketahuan menyimpan makanan untuk besok. Sama dengan Sahabat Abu Bakar yang diterima tatkalan menyerahkan semua kekayaannya untuk berjuang di jalan Allah. Tapi saat sahabat Utsman mau meniru langkah Abu Bakar, Rasulullah malah menjawab, “Hangan!”
Akhirnya Utsman menawar, “Kalau begitu separuh, wahai Rasulullah.”
“Separuh itu banyak.” kata Nabi.
“Ya sudah 1/3,” tawar Utsman. Dan Nabi menerimanya.
Mana yang Afdal: Tajrid atau Kasab?
Pengertian Tajrid menurut Ibn Ajibah: meninggalkan sebab dan melawan nafsu. Seseorang yang sama sekali tak menjalankan usaha untuk mendapatkan rejeki karena menyandarkan diri secara total pada Allah, itulah tajrid.
Sikap semacam ini, dalam tasawuf, dibenarkan dengan aturan-aturan tertentu semisal tak boleh mengeluh jika rejeki Allah terlambat datang. Sikap ini dibenarkan seperti Rasul yang tidak mengingkari pola hidup Ashabus Shuffah.
Baca juga: Jangan Mudah Menuduh Munafik dan Pentingnya Belajar Sirah Nabi
Namun banyak ulama yang berpendapat bahwa maqam tajrid sangat sulit dipraktikkan di masa kini. Pasalnya, hukum berubah sesuai illat dan konteksnya. Di masa Rasulullah, para dermawan menyantuni Ashabus Shuffah atas dasar ikhlas karena Allah.
Namun kini sudah jarang menemui dermawan seperti itu. Apalagi ulama, kata Sayid Ahmad Zaini Dahlan, harus memiliki usaha sendiri sehingga tak menggantungkan hidupnya pada orang lain. Hidup mulya dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun.
Toh, maqam tajrid menurut Ibn Ajibah masih bisa dipraktikkan sebab ada yang membagi menjadi tajrid zahir dan tajrid batin, yakni menyingkirkan semua yang menyibukkan diri dari mengingat Allah. Secara ragawi dia berada di toko atau kantor tapi secara batin dia bersama Allah.