Gaya ungkap Al-Qur’an merupakan ekspresi kebahasaan yang digunakan oleh Al-Qur’an di dalam menyampaikan makna. Biasanya disebut dengan istilah at-ta’bîr al-qur’âni. Di dalamnya terkandung nilai i’jaz (kemukjizatan) tersendiri di mata siapapun yang mau merenunginya.
Nilai i’jaz ini bukan hanya terletak pada keindahannya saja, tetapi juga terletak pada ketelitian Al-Qur’an di dalam menggunakan diksi atau pilihan kata dengan menyesuaikan realita yang ada.
Banyak sekali contohnya, di antaranya adalah (1) pemilihan diksi dalam bentuk Fi’il Mudhari’ dan Isim Fa’il, (2) penggunaan suatu patron kata dalam sebuah ayat yang diubahnya ke patron lain pada ayat yang berbeda dan (3) taqdim wa ta’khir atau mendahulukan suatu kata yang biasanya diakhirkan atau sebaliknya.
Baca juga: Nailun Nabilah: Usaha Memuliakan Ilmu Qiraat
Penulis akan mencoba menjelaskan ketiga poin tersebut secara berseri dalam artikel yang berbeda-beda. Mari kita mulai dari yang pertama.
Pemilihan Diksi dalam Bentuk Fi’il Mudhari’ dan Isim Fa’il
Di antara gaya ungkap atau ekspresi kebahasaan yang digunakan oleh Al-Qur’an dalam menyampaikan maknanya adalah pemilihan diksi dalam bentuk Fi’il Mudhari’ dan Isim Fa’il.
Sebagaimana yang diketahui, kalimat Arab dalam bentuk Fi’il Mudhari’ menunjukkan sebuah pekerjaan yang baru dilakukan (للحدوث) atau bisa jadi akan terus mengalami pengulangan (لاستمرار).
Sedangkan kalimat Arab yang berbentuk Isim Fa’il menunjukkan adanya kemantapan sifat yang dimiliki oleh si pelaku (للثبت). Walau tidak dipungkiri juga sifat itu kadang kala bisa terlepas darinya.
Semisal Anda mengucap, هو يتعلم “Dia sedang belajar”, maka itu menunjukkan bahwa kegiatan belajar tersebut baru atau sedang dilakukan oleh yang bersangkutan.
Baca juga: Menjawab Anggapan Al-Quran Tidak Murni Berbahasa Arab
Berbeda halnya ketika Anda berkata, هو متعلم “Dia seorang terpelajar”, ini menunjukkan bahwa kegiatan belajar itu sudah sering dilakukan olehnya, seolah-olah ia telah berkecimpung dalam dunia pendidikan sehingga sifat pelajar tersebut benar-benar telah melekat pada dirinya.
Begitupula ketika Anda berkata, هو يحفظ القرأن “Dia sedang menghafal Al-Qur’an” dan هو حافظ القرأن “Dia seorang penghafal Al-Qur’an”.
Jelas yang pertama menunjukkan adanya keberlangsungan proses menghafal yang bisa jadi terus berulang. Sedang yang kedua menunjukkan bahwa menghafal telah beralih menjadi sifat kokoh yang melekat pada diri sang pelaku (penghafal).
Dalam penggunaan dua bentuk kata ini, Al-Qur’an telah dinilai mencapai puncak estetika kebahasaan dan ketelitian yang sangat tinggi dalam menyampaikan maknanya.
Anda bisa melihatnya, misal, pada surat Al-Kafirun. Di situ kita bisa melihat bahwa Rasulullah Saw. menampik ajakan orang-orang kafir untuk menyembah berhala dengan dua bentuk kata; Fi’il Mudhari’ dan Isim Fa’il. Al-Qur’an juga menggunakan bentuk Fi’il Mudhari’ (kata kerja masa kini dan mendatang) dan Fi’il Madhi (kata kerja masa lampau) untuk menutup masing-masing keduanya. Seperti yang terlihat pada ayat 2 dan ayat 4.
(لَا (أَعْبُدُ) مَا (تَعْبُدُونَ
(وَلَا أَنَا (عَابِدٌ) مَا (عَبَدْتُمْ
Ini bermakna bahwa seolah-olah dalam ayat 2 tersebut Nabi hendak mengatakan, “Aku (pada saat ini dan seterusnya sampai kapanpun itu) tidak akan menyembah, tunduk, taat kepada apa yang kalian sembah (pada saat ini hingga seterusnya pula).
Sedang dalam ayat 4 seolah-olah Nabi hendak mengatakan, “Dan aku tidak pernah (sama sekali) menjadi penyembah dengan cara yang telah kalian sembah (sebelumnya).”
Sehingga menjadi indah dan sempurnalah ungkapan Al-Qur’an dalam menolak adanya Nabi Muhammad Saw. menyembah apa yang orang kafir sembah.
Seandainya Nabi menolak ajakan mereka untuk menyembah berhala hanya dengan menggunakan bentuk Fi’il Mudhari’ saja, maka bisa dikatakan bahwa penolakan Nabi adalah sesuatu yang baru pada diri beliau. Meskipun menunjukkan makna pengulangan, namun di tengah-tengah pengulangan sikap menolak beliau, bisa jadi ada kelengahan, karena A’budu (Fi’il Mudhari’) belum menjadi sifat kokoh pada diri beliau.
Baca juga: Imam Ibrahim Al-Bajuri; Grand Syekh Al-Azhar yang Kitabnya Tersebar di Nusantara
Atau misal ketika Nabi hanya menolak dengan menggunakan (‘Abidun) Isim Fa’il saja. Walaupun Isim Fa’il bermakna sifat kokoh yang melekat pada diri yang menyandang, bukan berarti sifat tersebut akan selalu terus menempel. Karena kadangkala sifat bisa lepas dari penyandangnya.
Seseorang yang bersifat جوّاد (penderma), bisa jadi menjadi tidak dermawan lagi ketika hartanya habis. Dan orang yang bersifat رفيق (peramah) adakalanya tertuntut keadaan yang mengharuskan ia menjadi marah.
Maka, dengan ditampilkannya kedua bentuk kata ini, menjadi tertepislah anggapan-anggapan Nabi turut menyembah apa yang orang kafir sembah. Dapat dipahami bahwa dalam keadaan apapun dan sampai kapanpun, prinsip dan keimanan Nabi akan senantiasa kokoh.
Yang menakjubkannya lagi, Al-Qur’an hanya menampilkan keadaaan orang kafir itu dengan satu bentuk kata, yaitu dengan menggunakan bentuk Isim Fa’il. Al-Qur’an berkata;
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
“Katakanlan, ‘Wahai orang-orang kafir (yang kekafirannya telah mengurat).’”
Bukan menggunakan bentuk Fi’il Mudhari’,
قُلْ يَا أَيُّهَا الذِيْنَ كَفَرُوْا
“Katakanlah, ‘Wahai orang-orang (yang baru atau sedang) kafir.’“
Ini menunjukkan bahwa kekafiran bukan sesuatu yang baru pada diri mereka, melainkan sesuatu yang telah mendarah daging.
Hal ini diperkokoh dengan ayat ke-3, bahkan diperkokoh lagi dengan diulangnya redaksi tersebut pada ayat ke 5, yang keduanya sama-sama menggunakan bentuk Isim Fa’il,
وَلَا أَنْتُمْ (عَابِدُونَ) مَا أَعْبُدُ
وَلَا أَنْتُمْ (عَابِدُونَ) مَا أَعْبُدُ
“Dan tidaklah (juga) kalian menjadi para penyembah apa yang aku sembah (kini dan seterusnya).“
“Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi para penyembah dengan cara yang aku sembah (kini dan seterusnya).”
Baca juga: Mengkhususkan Surat Al-Ikhlash Ada Haditsnya
Sungguh indah dan tepat Al-Qur’an dalam mengekspresikan maknanya. Mahasuci Tuhan dengan segala ketelitian-Nya. Wallahu a’lam.
Dinukil dari kitab At-Ta’bîr al-Qur’âni, karya Shaleh Fadhil, Dar Ibnu Katsir, Kairo, 2016.