Bapak sering menceritakan kisah ini. Beliau bilang bahwa cerita ini beliau dapat dari kyai yang konon juga waliyullah di daerah Cilacap Jawa Tengah. Ini kisah tentang dua orang santri yang suka ceplas ceplos kalau bicara. Meski terlihat serius, sebenarnya mereka hanya bercanda.
Sebut saja namanya Dalim dan Jidan. Setiap kali si Dalim dicanda tanya sama temannya, responnya selalu bergaya sedang susah. Meski pada akhirnya juga tertawa bersama. Namanya juga bercanda.
“Lagi ngopo toh kang Dalim, kayak lagi mikiri negara saja?” ledek kawannya satu hari.
“Iya kang. Gimana gak susah. Mana duit habis, istri minta beliin bedak ini itu. Anak-anak minta mainan sama baju baru. Pusing kang,” jawab Dalim.
“Haha, sampean istri saja masih di laukh mahfudz,” kawannya menimpali, disambut tertawa bersama. ” hahahaha…”
Beda halnya dengan kang Jidan. Setiap kali ditanya kawanya demikian, dia selalu menjawab dengan serius.
“Gini kang. Saya itu lagi bingung mau bagi-bagi-bagi ke siapa enaknya. Hari ini banyak orang berdatangan sowan bawa oleh-oleh ke rumah. Masing-masing kok ya bawa-bawa amplop juga. Masakan masih banyak. Buah-buahan juga lebih-lebih itu. Bagi ke siapa yah kira-kira?”
“Hahaha…” sahut kawannya. “Ngimpi sampean” sahut yang lain. Kemudian tertawa bersama.
Begitu kira-kira mereka berdua.
Baca juga: Gamal Abdel Nasser “Membully” Ketua Ikhwanul Muslimin: Hijab Tidak Wajib
Beberapa tahun kemudian keduanya telah mukim di daerahnya masing-masing. Dan ‘ndilalah’ seperti itulah yang mereka alami. Kang Dalim mengalami masa-masa sulit dalam ekonominya sehari-hari. Sementara kang Jidan berkecukupan bahkan lebih dan rajin berbagi.
Kyai Pemimpi
Kepada penulis, seorang kyai muda juga pernah bercerita. Ketika masa belajar, kyai punya seorang kawan yang sama-sama ‘gila’ akan mimpi-mimpinya. Jika kyai bermimpi akan menjadi orang sukses yang membiyai banyak orang untuk belajar ilmu dan mengajarkannya di jalan Allah. Sementara kawannya menandai sekitar 36 negara di peta dunia yang dia pampang di tembok kamarnya.
Saat itu mereka berdua masih masa belajar. Jangankan berlebih uang, untuk kebutuhan sehari-hari mereka ‘nyambi’ kerja apa saja. Demi mimpi-mimpi yang mereka yakini.
Faktanya. Hari ini, dalam umurnya yang masih terbilang muda, kyai sudah menggenggam mimpinya. Ilmu agamanya sangat mumpuni dan dibarengi ilmu pengetahuan yang luas dan kesuksesan secara materi duniawi. Alim, kaya dan dermawan.
Sementara itu, kawannya telah berkeliling ke hampir seluruh negara yang ditandainya di peta. Bukan jalan-jalan dan menghabiskan uang, tapi berbagi ilmu dan memberi pencerahan. Pun menggenggam cita-citanya.
“Setiap amal bergantung niatnya. Jika dimaknai lebih luas, bahwa kesuksesan sebuah pekerjaan sangat bergantung cita-cita dan mimpi pelakunya.” Demikian sang kyai pernah menjelaskan.
Cita-cita bisa tampak dalam ucapan bahkan candaan. Mimpi bisa muncul dalam harapan dan keyakinan. Allah swt senantiasa memberi isyarat dan bimbingan. Karena dalam ilmu-Nya tak dikenal kata kebetulan. Semua telah digariskan dalam keadilan dan kebijaksanaan Yang Maha Kuasa.
Baca juga: Syekh Ali Jum’ah: Yang Hilang dari Kita Adalah Cinta Kasih
Niat dalam hati adalah awal dari ucapan dan perbuatan. Dalam ucapan ada perbuatan. Sebuah perbuatan yang penuh kesungguhan adalah doa dalam bentuk yang lain. Ia adalah sebuah pengharapan yang lahir dalam kenyataan.
Niat, ucapan dan perbuatan adalah satu kesatuan. Kebaikan niat yang muncul dalam ucapan pasti akan lahir pada perbuatan yang baik pula. Demikian pula cita-cita. Karena hakikat cita-cita adalah niat dan harapan baik seorang hamba kepada Rabb-Nya Yang Maha Kuasa.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah swt berfirman:
أنا عند ظن عبدي بي، وأنا معه إذا ذكرني
“Aku sesuai prasangka hambaku pada-Ku dan Aku bersamanya apabila ia mengingat-Ku.” (HR. Muslim)