Era jahiliah bukan berarti era kebodohan, jahiliah di sini memiliki arti membangkang atau menentang. Oleh sebab itu, kata ini bertolak belakang dengan kata ‘Islam’ yang memiliki arti taat kepada Allah Swt. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Ibnu Mandzur bahwa jahiliah adalah kondisi orang Arab—Pra-Islam—yang tidak percaya Allah Swt., rasul-Nya dan syariat Islam. Mereka hanya tahu bagaimana caranya membanggakan nasab atau kabilah sendiri, bersikap congkak, keras, dan lain sebagainya.
Namun, siapa sangka dibalik kekurangan era jahiliah tersebut lahir sebuah keuntungan tersendiri, di mana pikiran mereka selalu tertuju pada hal-hal tertentu yang berhubungan dengan kebanggaan kabilah. Misalnya, mereka tak segan menghabiskan hari-hari mereka demi membuat satu bait syair saja yang berisi kebanggaan komunitasnya sendiri. Sehingga muncullah julukan ‘ahli bersilat lidah’ yang ditujukan kepada mereka. Meskipun kebiasaan tersebut perlu ditelaah lebih lanjut.
Sebelum merambah jauh ke sana, diakui atau tidak, sebuah ungkapan yang mengatakan ‘kebiasaan mencerminkan identitas diri’ memang dapat dibenarkan. Beberapa karakteristik orang Arab—Pra-Islam—yang sampai sekarang tidak luput dari pengamatan para peneliti adalah penggunaan bahasa, syair, peribahasa dan penuturan kisah-kisah. Semua ini menggambarkan corak kecerdasan akal mereka. Bagaimana bisa dikatakan demikian? Apakah ungkapan tersebut tidak terlalu berlebihan? Atau memang hanyalah sebuah pengalihan isu yang digunakan untuk menutupi sikap-sikap buruk masyarakat jahiliah yang sudah melegenda?
Penisbatan ‘kecerdasan akal’ kepada mereka sebenarnya bukanlah hal yang berlebihan. Penisbatan ini dapat ditinjau dari segi hubungannya dengan pola pikir yang mereka bangun, bukan dari segi keindahan sastra atau gaya bahasanya saja. Perbedaan keduanya dapat diamati secara gamblang melalui syair. Mereka dapat menerjemahkan apa pun yang mereka lihat di sekitar mereka ke dalam syair, bahkan sampai hal-hal terkecil sekalipun. Misalnya ketika mereka mendeskripsikan semut secara mendetail melalui syair, bagaimana bentuknya, cara mereka mencari makan, kapan mereka kembali ke tempatnya dan seterusnya.
Seorang analis sejarah yang bernama Ahmad Amin, melalui bukunya Fajr al-Islâm, hanya memilih beberapa karakteristik yang digunakan untuk menjelaskan corak kecerdasan masyarakat jahiliah, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, terdapat beberapa karakteristik kecerdasan yang lain, seperti khithâbah dan saj’ al-Kahn (mantra-mantra). Sehingga muncul sebuah pertanyaan: mengapa beliau tidak mengikutsertakan keduanya dalam kitabnya tersebut? Sebelum menemukan jawaban atas pertanyaan ini, kita perlu membahas satu persatu keempat karakteristik di atas.
Pertama, penggunaan bahasa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bahasa merupakan cerminan alur berpikir. Karena, bahasa tidak tercipta dengan seketika, melainkan muncul melalui interaksi-interaksi. Bermula dari penggunaan kosakata sesuai tingkat kebutuhan, kemudian berkembang seiring berjalannya waktu. Demikianlah cara kerja penggunaan bahasa, kosakata lama tidak mesti selalu digunakan pada masa berikutnya dan itu tergantung pada perkembangan suatu bangsa.
Dengan konsekuensi dari cara kerja penggunaan bahasa, Abu ‘Amr bin ‘Ala’ (w. 154 H) mengatakan: “Kebanyakan syair dan natsr (prosa) peninggalan orang-orang jahiliah telah sirna dan hilang ditelan waktu. Tak ada yang sampai kepada kita melainkan hanya sedikit, meskipun pada kenyataannya masih terdapat banyak syair.”
Melalui pernyataan ini, kita hanya bisa mengiyakan dan tidak bisa memungkirinya. Dengan demikian, manakala ada suatu diksi yang digunakan dalam satu bait syair jahili, kita dapat mengatakan bahwa lafaz dan maknanya sudah diketahui oleh orang Arab pada umumnya. Akan tetapi manakala kita tidak menjumpai diksi tertentu dalam bait syair jahili, kita tidak dapat mengatakan bahwa orang Arab tidak mengetahui lafaz dan maknanya.
Pada masa jahiliah, orang Arab hidup bersuku-suku. Antar satu suku dengan yang lain memiliki perbedaan dari segi bahasa dan logatnya. Terkadang ada suatu kosa kata yang diketahui oleh suatu suku, namun tidak diketahui oleh suku lainnya. Misalnya dalam suatu riwayat: ketika Abu Hurairah mendatangi daerah Daus pada saat tahun Khaibar beliau bertemu Rasulullah Saw. Pada saat itu Abu Hurairah membawa sikkin (pisau) di tangannya, lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Berikan padaku sikkin itu”.
Abu Hurairah menoleh ke kanan-kiri tidak paham apa yang dimaksud oleh baginda nabi. Bahkan Rasulullah Saw. sampai mengulangi perkataannya tiga kali. Karena tidak paham apa yang dimaksud Rasulullah Saw. beliau langsung bertanya: “Benda apa yang engkau maksud wahai Rasulullah Saw.?”
Kemudian Abu Hurairah menunjukkan benda (sikkin) itu seraya berkata: “Inikah wahai Rasullullah Saw?”, “ Iya” jawab Rasululah Saw. lalu melanjutkan: “apakah menurut kalian ini namanya sikkin?” Abu Hurairah menjawab: “Sungguh, baru kali ini Aku mendengarnya.” Demikianlah satu kosakata yang digunakan suatu suku belum tentu suku yang lain menggunakannya.
Kedua, syair. Syair memiliki arti mengetahui, sedangkan penyair merupakan subyek dari nomina kata tersebut. Dengan demikian penyair adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh orang lain pada umumnya. Oleh sebab itu para penyair jahiliah merupakan para cendekiawan. Tidak hanya pandai menuangkan uneg-uneg yang ada dalam pikiran, kualitas bait-bait syairnya pun tidak diragukan lagi.
Maklum, sebelum bait syair dipublikasikan, mereka harus melewati tahap penyeleksian oleh pihak yang ahli dalam bidang syair terlebih dahulu. Adanya daftar peringkat penyair pada masa jahiliah menjadi bukti bahwa yang berada pada urutan teratas adalah mereka yang paling ahli dalam bidang syair. Hal ini dapat kita lihat dari salah satu karya Ibnu Salam al-Jumhi (w. 231 H) dalam kitabnya ‘Thabaqat fuhulu al-Syuara’. Dengan demikian mereka yang sudah memiliki gelar seorang penyair adalah mereka yang benar-benar kompeten dalam bidang syair.
Perihal benar tidaknya keberadaan syair Arab jahiliah masih ada celah perbedaan. Artinya di sana masih ada beberapa golongan para peneliti yang masih meragukannya. Mereka yang percaya keberadaan syair Arab ketika melihat suatu syair mereka perlu menelusuri lebih lanjut dua jalur; jalur sanad (para perawi/orang-orang yang meriwayatkan syair) dan matan (redaksi kata yang diriwayatkan).
Jalur sanad dilihat dari kualitas perawinya. Sedangkan matan dilihat dari ada tidaknya bukti yang menunjukkan kuat-lemahnya matan. Lemahnya matan ditandai dengan ketidaksesuaian yang disampaikan dengan kenyataan atau menyampaikan dua hal yang tidak ada hubungannya sama sekali. Ada perawi yang tsiqqah (dapat dipercaya) seperti Abu ‘Amr bin ‘Ala’ (w. 154 H) dan al-Ashmu’i (w. 216 H), ada juga yang dla’if (lemah) seperti Muhammad bin Ishaq bin Yasar (w. 117 H), Hammad al-Rawiyah, Khalf al-Ahmar (w. 180 H).
Ketika kedua jalur ini benar-benar absah, maka syair tersebut dapat diakui keberadaannya. Namun jika sebaliknya, maka syair tersebut masih dalam taraf keraguan. Walaupun demikian, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa syair palsu tetap dianggap sebagai cerminan kecerdasan akal pada era jahiliah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Salam al-Jumhi bahwa Khalf al-Ahmar adalah salah seorang yang paling mahir dalam hal syair dan jujur apa adanya.
Sebab Khalf al-Ahmar sendiri pernah mengatakan; “Aku tidak memiliki pengetahuan tentang syair, aku hanya sekadar menyampaikannya.” Itulah salah satu bukti kejujurannya. Di sisi yang lain salah satu bukti mengapa beliau dapat dikatakan sebagai sosok yang mahir dalam hal syair adalah para peneliti merasa kesulitan dalam membedakan antara perkataan Khalf al-Ahmar dan perkataan orang jahiliah.
Ketiga, peribahasa. Susunan yang simpel dan menyentuh menjadi alasan tersendiri bagi bagian ketiga ini. Untuk menjadi sebuah peribahasa yang menyentuh, dibutuhkan kerja otak yang tidak biasa sehingga dalam hal ini, peribahasa menjadi hal yang sangat diperhitungkan sebagai salah satu corak kecerdasan akal.
Keempat, kisah-kisah. Orang Arab memiliki kisah-kisah yang menjadi bagian penting dalam bidang sastra. Di dalamnya mengandung petunjuk tersendiri yang pada intinya mengarah pada kecerdasan akal pada si pembuatnya. Di antara jenis kisah-kisah orang Arab adalah harian orang Arab (Ayyamul ‘Arab) berisi tentang kejadian-kejadian perang pada masa jahiliah. Lalu ada juga Ahaditsul hawa. Kisah ini banyak dijumpai di beberapa kitab sastra.
Setelah mengetahui keempat karakteristik di atas. Kesimpulan yang dapat diambil mengenai alasan Ahmad Amin tidak mengikutsertakan khithâbah dan saj’ al-Kahn ke dalam pembahasan corak kecerdasan era jahiliah adalah karena faktor tujuan utama dari setiap karakteristik. Keempat karakteristik di atas masing-masing memiliki tujuan utama yaitu memberikan kesan makna, simpel dan proses yang dilakukan untuk menghasilkannya membutuhkan usaha yang tidak biasa.
Jika kita amati khithâbah tidak termasuk ke dalamnya sebab pada umumnya khithâbah pada masa jahiliah tidak didukung oleh dalil-dalil yang kuat dan hanya terkesan sebagai perkataan biasa. Sedangkan saj’ al-Kahn disebabkan karena tidak ada unsur memberikan kesan makna. Dan juga karena dinilai sebagai perkataan tanpa makna yang jelas atau masih absurd.
Seluruh karakteristik corak kecerdasan orang Arab jahili tidak ada satu pun yang ditulis, semuanya bisa kita jumpai sampai sekarang. Pada mulanya hanyalah disampaikan secara oral melalui satu mulut ke mulut yang lainnya, sebagaimana yang kita ketahui bahwa orang Arab pada masa itu terkenal sebagai bangsa ummiy (tidak bisa membaca dan menulis) namun tidak bisa dipungkiri pula kekuatan hafalan mereka sangat kuat.
Berkat inilah karya-karya mereka bisa sampai kepada kita semua sekarang ini. Dan inilah yang dimaksud dengan kecerdasan tanpa literasi. Setelah membaca keterangan demi keterangan pada tulisan ini ada pertanyaan mengganjal yaitu jika bahasa, syair, peribahasa, kisah-kisah dikategorikan sebagai cerminan kecerdasan bangsa Arab, maka bagaimana dengan bangsa lain? Bukankah mereka juga memiliki itu semua?