Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Gerakan Pembaharuan Tafsir: Mengubah Arah Memahami Hukum

Avatar photo
54
×

Gerakan Pembaharuan Tafsir: Mengubah Arah Memahami Hukum

Share this article

Gerakan pembaharuan tafsir (tajdid fi ‘ilm tafsir) secara periodik selalu terjadi sepanjang sejarah penafsiran al-Quran, Ini jelas nampak dalam perkembangan produk tafsir sepanjang sejarah. Pembaharuan ini bisa terjadi pada cara penyusunan tafsir, metode pengambilan sumber penafsiran, orientasi penafsiran dan pusat perhatian kajian bahkan pada pola tata urut penyajian.

Dalam khazanah tafsir klasik, kita mengenal katagori thobaqat al-mujtahidin al-uwal, yaitu para mufasir dari kalangan sahabat, tabiin dan tabiit taabiin, lalu thobaqat naqalat tafsir, yaitu para ahli hadis yang meriwayatkan tafsir, seperti Abdur Rozaaq as Shon’ani (211 H).

Lalu thobaqat al mufassir an naqid, yaitu mufasir yang kritis dan mentarjih dari beberapa pendapat, seperti Ibnu Jarir at Thobari (310 H), dan terakhir thobaqat al-mufassir al-mutakhayyir qaulan wahidan, yaitu mufasir yang hanya memilih salah satu pendapat, seperti mufasir-mufasir mazhab.

Dan jika kita fokuskan perhatian kita pada era kontemporer (abad 14 H-sekarang), maka kita bisa mengklasifikasikan gerakan-gerakan pembaharuan dalam tafsir sebagai berikut:

1- Tafsir yang berusaha menyingkap aspek kemukjizatan al-Quran di bidang ilmu pengetahuan alam atau lebih dikenal dengan “tafsir ilmi”.

Gerakan ini di era klasik diangkat oleh Imam Fakhrur Rozi dan Imam al Ghozali, dan di abad 14 H ini dipelopori oleh Syekh at Thobiib al-Iskandarani (w 1306 H) dalam tafsirnya Kasyful Asraar an Nuuraniyah al Quraaniyah fiimaa Yataallaqu bil Ajraam as Samaawiyah dan diikuti oleh Syekh Thantawi Jauhari (w 1357 H) dalam tafsirnya al-Jawaahir fi Tafsiiril Qur’an.

2- Tafsir yang berusaha memberdayakan al-Quran untuk mengatasi problem faktual kehidupan masyarakat atau lebih dikenal dengan tafsir ijtima’i.

Gerakan ini dipelopori oleh Muhammad Abduh (w 1323 H) dan Rosyid Ridho (w 1353 H) dalam Tafsir al Manaar dan diikuti oleh Syekh al-Maragi dalam Tafsir al Maraghi.

3- Tafsir kontekstual yang disusun berdasarkan kajian keserasian kata, kalimat, fashilah (penutup ayat), ayat, kelompok ayat dan kelompok ayat yang lain, dan juga keserasian antar surah.

Pada era klasik, gerakan ini dimulai oleh Imam al-Biqa’i dalam Nadhm Durar fii Tanaasub al-Aayaat wa as-Suwar, yang kemudian pada abad 14 H ini diangkat kembali oleh Syekh al-Maraghi (w 1371 H), diikuti dengan inovasi yang lebih sistematis oleh Syekh Said Hawa (w 1409 H) dalam tafsirnya al-Asaas fit Tafsir, dan di Indonesia dipopulerkan oleh Prof. Dr. M Quraisy Shihab dalam Tafsir al Misbah.

4- Tafsir berdasarkan kesatuan tematik dalam surah atau yang mengkaji tema pembahasan tertentu dari beberapa ayat yang terkait, ia dikenal dengan uslub tafsir maudhu’i.

Gerakan tafsir ini dipelopori oleh Dr. Muhammad Abdullah Darraz (w 1377 H) dalam kitabnya an-Nabaul Adhim terbit tahun 1957 M yang menyajikan tafsir maudhu’i surah al-Baqoroh secara lengkap, diikuti oleh Syekh Muhammad al-Ghazali (w 1996 M) yang menulis tafsir maudhu’i lengkap seluruh surah al-Quran dengan nama Nahwa Tafsiirin maudhuiiyin Lisuwaril Quran.

5- Tafsir yang berusaha menginduksi lafaz-lafaz al-Quran di berbagai letaknya secara runtut dalam al-Quran untuk mendapatkan makna dan rahasia ayat sembari mempertimbangkan gaya bahasa dan konteks ayat baik secara khusus maupun secara umum, yang dikenal dengan nama al-manhaj al-bayaani.

Metode ini dicetuskan oleh Prof Amin al Khuli (w 1385 H) dalam kitabnya “manahiju at tajdid fi an nahwi wa al balaghah wa at tafsir”, dan dipraktikkan oleh murid sekaligus istri beliau yaitu Prof Aisyah bint Syathi’ (w 1998 M) dalam at-Tafsir al Bayaani lil Qur’an alKarim, dan juga digunakan oleh Prof Fadhil Sholih as-Saamiraa’i (lahir 1933 M) dalam Alaa Thariiq at Tafsiir al Bayaani yang sudah terbit 4 jilid.

6- Tafsir yang berusaha menyajikan tafsirnya berdasarkan urutan turunnya surah (tartib nuzuli) demi menghasilkan makna dengan menghadirkan suasana turunnya al-Quran dalam periode dakwah Nabi.

Pola ini dikenalkan pertama kali oleh Syekh Muhammad Izzah Darwazah (w 1404 H) dengan Tafsir al Hadist, dan di abad 15 ini digunakan oleh Syekh habannakah al-Maidani (w 1425 H) dalam Ma’arijut Tafakkur wa Daqaaiqut Tadabbur dan Dr. M Abid al jabiiri (w 2010 M) dalam at-Tafsir al Waadhih.

7- Tafsir yang berusaha menyingkap maqashid-maqashid dan tujuan al-Quran baik yang umum maupun khusus dengan mengeksplorasi makna-makna kebahasaan, serta konteks mikro dan makro ayat. Tafsir ini dikenal dengan tafsir maqaashidi.

Gerakan ini dipelopori oleh Syekh Thahir Ibnu Asyur (w 1393 H/ 1973 M) dalam at-Tahrir wa at Tanwiir, dan Indonesia mulai diperkenalkan oleh Prof. Dr. Abdul Mustaqim dalam kitabnya At-Tafsir al Maqaashidy; al Qadhaaya al-Muaashirah Fii Dlau’ al Quran wa as-Sunnah.

Kitab setebal 114 halaman ini menjelaskan masalah-masalah kontemporer yang harus dipahami oleh umat Islam di seluruh dunia, dalam rangka menciptakan kehidupan yang layak dan ideal antar umat beragama, seperti wasathiyyatul Islam (moderatisme Islam), amar ma’ruf nahi munkar “tanpa kekerasan”.

Hingga Kepemimpinan yang bertanggung jawab di hadapan Allah dan rakyat, naluri seksual, interaksi dengan non muslim dan toleransi, interaksi dengan lingkungan, problem pakaian wanita, keutamaan bekerja yang halal, fenomena hoaks, dan tentang kecurangan dan suap.

Kitab ini menggabungkan kajian al-Quran dan hadis untuk menjelaskan tema-tema yang dipilih, dengan menggunakan sistematika tafsir ijmali yaitu menjelaskan makna ayat secara global dengan terkadang dikuatkan dengan rujukan beberapa kitab tafsir yang muktabar, untuk menghasilkan makna yang komprehensif dikaitkan dengan maqashid syariah. Kitab ini dengan cermat menggabungkan uslub tafsir ijmali dan maudhu’i dalam satu kajian.

Pemikiran-pemikiran Prof. Abdul Mustaqim yang dituangkan dalam kitab ini sangat aktual kontekstual dan mewakili semangat moderatisme Islam yang digaungkan di dunia Islam pada tahun-tahun terakhir ini. Ini sekaligus juga bukti bahwa ulama Indonesia juga ikut serta dalam memasyarakatkan moderatisme Islam di dunia.

Secara khusus, Pemikiran Prof. Abdul Mustaqim dalam beberapa tema sangat tegas dalam menentang pemikiran kaum liberal, misalnya ketika beliau menolak legalisasi LGBT (hal 29), juga tegas menentang pemikiran konservatif, misalnya ketika beliau menolak niqob (cadar) dalam pakaian muslimah dan mengatakan bahwa itu hanyalah adat (hal 67).

Lain dari itu, saya sangat beristifadah dari kitab ini, ketika membaca pandangan Prof. Abdul Mustaqim ketika menerangkan tentang pentingnya hifdhul biiah (menjaga lingkungan) dan memasukkannya sebagai salah satu maqashid syariah yang juga harus diperhatikan (hal 59).

Di samping alasan-alasan rasional yang beliau sampaikan ketika menerangkan kenapa pedagang Muslim zaman dulu berhasil mengenalkan Islam yang ramah dan toleran (hal 75).

Saya berharap kitab ini menjadi pintu gerbang kajian-kajian tafsir maqashidi di Indonesia, sehingga pesan-pesan al-Quran yang belum tersingkap bisa segera diberdayakan dari makna-makna lafaz dan konteks ayat dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat dan menolak mafsadah bagi mereka.

Kontributor

  • Afifudin Dimyathi

    Nama lengkapnya Dr. KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi, Lc., MA. Menyelesaikan jenjang sarjana di Universitas Al-Azhar Mesir, dan jenjang magister serta doktoral di Sudan. Kini mengasuh Pondok Tahfidzul Quran, Hidayatul Quran, Darul Ulum, Peterongan, Jombang.