Khalifah Harun Ar-Rasyid tiba-tiba merasakan kesakitan. Ia buang air kecil dan memasukkan air kencingnya ke dalam botol. Kemudian botol itu diperlihatkan kepada dokter. Pemeriksaan urine sudah dikenal pada zamannya.
Hasilnya, menurut analisa dokter, penyakit yang diderita Khalifah Harun Ar-Rasyid tidak lagi bisa diobati. Dokter hanya bisa berkata, “Sampaikan kepada pemilik urine ini bahwa sebentar lagi dia akan celaka. Katakan padanya akan segera menulis wasiat.”
Mendengar hasil diagnosa itu, Harun Ar-Rasyid menangis.
Baca juga: Kisah Harun As-Rasyid, Pemimpin yang Merakyat
Pada suatu hari, dokter pribadinya yang bernama Jibril bin Bukhtisyu datang menghadap namun Khalifah Ar-Rasyid tidak menolehkan pandangan. Khalifah tampak termenung sedih. Setelah berdiri lama di hadapannya, dokter Jibril berkata:
“Mengapa keadaanmu menjadi begini? Andaikan sakit, mohon khalifah bersedia berbagi denganku. Barangkali saya punya obat untuk kesembuhan khalifah. Ataukah sesuatu yang buruk menimpa orang yang khalifah cintai?
“Kesedihanku tidak seperti yang baru saja kamu katakan.” Kata Khalifah Ar-Rasyid, “Semalam aku bermimpi. Mimpi yang sangat menyeramkan.”
“Janganlah khalifah sedih selarut itu.” Dokternya berusaha menenangkan, “Barangkali mimpi tersebut hanya kembang tidur atau mimpi kosong yang sedang lewat. Kalau boleh tahu, apa yang khalifah lihat di mimpi itu?”
Khalifah Harun Ar-Rasyid bercerita, “Aku melihat seolah-olah diriku tengah duduk di atas kasurku ini. Tiba-tiba dari bawah, muncul lengan dan telapak tangan yang aku kenal. Telapak itu menggenggam seonggok tanah merah. Kudengar ada seorang yang tidak kulihat sosoknya berkata ke arahku, ‘Ini adalah adalah tanah tempat kamu dikuburkan kelak.’
Kutanyakan padanya, ‘Di mana ditemukan tanah merah itu?’
‘Di daerah Thus.’ Tangan itu lenyap dan aku sudah tidak mendengar apa-apa lagi.”
“Cukup, Khalifah.” Kata Jibril, “Beristirahatlah. Masih banyak urusan penting yang lebih membutuhkan perhatian dan pemikiran Khalifah. Penyakit yang engkau pikirkan merasuk ke dalam pikiran sehingga menimbulkan mimpi aneh semaca itu.”
Baik Khalifah Harun maupun dokter Jibril untuk sementara lupa akan mimpi ngeri tersebut. Sampai sewaktu Khalifah Harun bepergian ke Khurasan, tiba-tiba ia diserang rasa sakit di tengah perjalanan. Sakitnya bertambah parah hingga khalifah tiba di derah Thus.
Baca juga: Rumah Sakit Zaman Dinasti Islam: Pasien Enggan Pulang, Orang Sehat Mengaku Sakit
Khalifah Harun kembali teringat mimpi menyeramkan itu. Sekuat tenaga, dia mencoba loncat. Dia berdiri dan terjatuh. Rombongan termasuk Jibril datang menghampiri dan menanyakan, “Apa yang sedang terjadi, Khalifah?”
Dia pun memanggil Jibril dan bertanya, “Masih ingatkah kamu akan mimpiku?”
Dia kemudian menoleh ke arah pelayannya, Masrur. “Ambilkan aku tanah dari tempat ini!” Masrur datang membawa segenggam tanah merah.
Dia melihat langsung tanah merah itu sembari berkata, “Tanah merah ini, demi Allah, adalah tanah yang aku lihat dalam mimpiku.”
Air mata tumpah dari mata Khalifah. Tangisnya pecah seketika. Tiga hari kemudian, di kota Thus itu, Khalifah Harun Ar-Rasyid menghembuskan nafas terakhir.