Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Matan Jurumiyah dan Sang Pengarang yang Tak Ditemukan Makamnya

Avatar photo
81
×

Matan Jurumiyah dan Sang Pengarang yang Tak Ditemukan Makamnya

Share this article

Matan Jurumiyah merupakan satu buku pengantar belajar ilmu gramatika Arab yang singkat namun padat makna. Sebuah buku monumental dan kaya manfaat.

Matan Jurumiyah masyhur dan dipelajari oleh jutaan pecinta ilmu bahasa Arab dari timur bahkan barat. Dipelajari oleh orang muslim bahkan dikaji juga oleh kalangan nonmuslim.

Di Indonesia, hampir tak satupun pesantren salaf berdiri terkecuali di sana buku matan ini dipelajari. Ia dihapal ribuan santri setiap generasi. Sudah tak terhitung berapa ribu kali buku ini dicetak ulang dan dialih bahasa hingga Perancis, Inggris, Latin dan Jerman.

Matan Jurumiyah adalah sebuah buku yang ditulis oleh seorang ulama sufi dari Maroko, murid Abu Hayan al-Andalusi. Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Daud as-Sounhaji. Nama as-Sounhaji merupakan nisbat kepada Sounhajah, salah satu suku besar bangsa Amazigh yang banyak tersebar di daerah Afrika utara terutama kawasan Maghrib. Beliau lahir pada tahun 672 Hijriah/1273 Masehi.

Nama Ajurum sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama dari berbagai sumber, merujuk pada bahasa Amazigh yang berarti seorang fakir sufi. Ajurum adalah gelar kehormatan yang disematkan kepada seorang zahid yang ahli ibadah. Namun sebagian mengingkari makna ini dengan alasan bahwa orang orang Amazigh sendiri tak mengerti makna tersebut.

Sebagian menjelaskan bahwa nama Ajurum berasal dari kata Akurrum atau Akarum atau juga Akaram—setelah mengalami pergeseran pengucapan. Sebagai contoh Agadir, nama kota di Maroko, terkadang tertulis menjadi Akadir, Ajadir atau Aghadir. Selain itu, Akurrum atau Akarram hingga saat ini masih digunakan menjadi nama marga sebagian bangsa Amazigh.

Baca juga: Ketika Khalifah Al-Makmun Dibuat Ketawa oleh Nabi Palsu

Ada pula yang berpendapat bahwa Ajurum berarti grammar atau tata bahasa. Dengan itu, matan Ajurumiyah diartikan sebagai buku matan tentang gramatika bahasa Arab. Sebagaimana dipahami oleh orang Turki yang mengartikan Ajurumiyah sebagai grammar.

Pendapat termasyhur adalah yang pertama. Orang yang pertama kali menyandang gelar Ajurum ini adalah kakek beliau yang bernama Daud, merujuk alasan makna di atas. Beliau seorang tokoh besar dan fakir sufi. Dari itu kemudian penulis matan ini dikenal dengan nama Ibnu Ajurum. Sedangkan kalangan sebagian pesantren Indonesia sering menyebut beliau dengan nama Imam as-Sounhaji, merujuk pada nama suku beliau. Rahimahullah.

Ibnu Ajurum atau Imam as-Sounhaji adalah seorang ulama yang mumpuni dan imam dalam ilmu Nahwu. Lewat matan ini, beliau ingin menengahi antara mazhab Kufah dan mazhab Basrah selaku dua mazhab besar para ulama ahli nawu kala itu, meski beliau sendiri lebih condong kepada mazhab Kufah.

Di luar daripada itu, yang terpenting adalah bahwa kitab kecil beliau ini ternyata menjadi karya besar yang besar manfaatnya sepanjang masa. Sebuah kitab yang sangat patut kita syukuri, kita pelajari dan wariskan pada generasi penerus kita semua.

Ibnu Ajurum lahir di kota Fes Maroko, wafat dalam usia 51 tahun dan dimakamkan di sana. Tepatnya di kawasan Bab Jizyien atau yang kini dikenal dengan nama Bab Hamra, kota Fes. Demikian beberapa informasi yang penulis dapatkan.

Namun seribu sayang, ketika penulis serta kawan di Fes hendak ziarah ke makam beliau sesuai informasi yang penulis dapatkan, tempat tersebut kini telah berubah fungsi menjadi pemukiman dan tak kami dapatkan kejelasan tentang letak pasti dhorih atau kuburan beliau. Baik informasi dari para ulama ataupun dari masyarakat sekitar daerah tersebut.

Hilangnya jejak makam beliau adalah hal wajar di bumi Maghribi—bumi yang dihuni ribuan ulama dan wali. Terlebih kota Fes sebagai kota yang dinobatkan oleh pemerintah sebagai kota ilmu. Kota gudangnya kitab dan buku, kota hunian para alim dan ulama dari dahulu.

Baca juga: Shalawat Nariyah Pada Mulanya Bernama Shalawat Taziyah

Ribuan ulama dan wali dikuburkan di sana, sehingga tak terlacak jejak dan tempat dengan pasti terkecuali mereka yang memiliki banyak pengikut setia. Yaitu para ulama dan wali yang memiliki thariqah sehingga kemudian dibangunkan zawiyah oleh murid dan muhibbinnya untuk tempat dzikir dan berkhalwat, serta dalam rangka menjaga ajaran thoriqah sepeninggal guru dan imam mereka.

Ibnu Ajurum dikenal sebagai ulama juga wali shaleh, namun tidak sebagai pendiri atau mewariskan ajaran tertentu dalam berthariqoh sehingga kemudian terjaga makamnya. Beliau mewariskan ilmu yang sangat berharga. Ilmu yang dibutuhkan oleh generasi setelahnya hingga manfaatnya sampai kepada kita semua. Nafa’anaLlahu bi’ulumihi. Amin.

Kontributor

  • Muhammad Makhludi

    Tinggal di Cilacap Jawa Tengah Block 60. Seorang khadam kampung. Pernah nyantri di Leler dan Universitas Cady Ayyad Maroko.