Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kesesatan Teori Penegakan Khilafah HTI (2)

Avatar photo
34
×

Kesesatan Teori Penegakan Khilafah HTI (2)

Share this article

Bagi Hizbut Tahrir, ahliyyatul wujub mengangkat khalifah ini adalah semua umat Islam. Siapapun yang tak berusaha menegakkannya, maka berdosa besar. Demikian teori HT, ketika menjelaskan kewajiban khilafah ini.

Lalu bagaimana dengan praktiknya?

Praktik yang mereka kerjakan di lapangan juga mengafirmasi teori ini. Kita dengan mudah berselancar di internet mencari berita kegiatan mereka. Dalam rangka menegakkan khilafah ini, mereka melakukan tatsqif atau pembinaan materi. Juga melakukan masirah atau demonstrasi kepada apapun dan siapapun yang mereka tuju dan anggap menghalangi penegakan ini.

Dari kegiatan itu pula kita tahu, para peserta mereka terdiri dari semua elemen umat Islam. Mulai dari lelaki dan wanita dewasa, anak kecil, hingga orang tua. Dari beragam latar-belakang sosial pula. Ada yang berprofesi ASN atau pegawai negeri, tenaga pengajar, ustadz, artis hingga tokoh politik nasional. Pada dasarnya, mereka melakukan itu semua demi memenangkan opini khilafah di tengah umat, sebagai implementasi penegakan khilafah yang mereka idamkan.

Ketika kegiatan mereka dipertanyakan, mereka selalu mengumbar teks para ulama tentang wajibnya menegakkan khilafah. Khilafah adalah mahkota kewajiban, sehingga siapapun tak berusaha menegakkannya, berarti menghilangkan bagian paling inti dari Islam. Hanya dengan khilafah, cita-cita Islam Kaffah mereka tercapai. Demikian papar mereka.

Namun, apa benar ahliyyatul wujub penegakan khilafah menurut para ulama muktabar, adalah semua umat Islam, sehingga mereka semua berdosa besar saat tak menjalankannya – sebagaimana yang dipropagandakan HTI selama ini? Mari kita uji!

Al Qadhi Abu Ya’la, dalam Al Ahkam as Sulthaniyyah, dalam topik imamah halaman 19, menulis:

وهي فرض على الكفاية، مخاطب بها طائفتان من الناس، إحداهما: أهل الإجتهاد حتى يختاروا، والثانية: من يوجد فيه شرائط الإمامة حتى ينتصب أحدهم للإمامة.

“Khilafah adalah fardhu kifayah, yang dibebankan pada dua kelompok. Pertama, ahli ijtihad sehingga mereka bisa memilih (imam). Kedua, mereka yang memiliki kelengkapan syarat khalifah, sehingga salah satu diantara mereka diangkat menjadi imam.”

Penegasan bahwa hanya dua kelompok ini saja yang terkena beban kewajiban menegakkan khilafah, secara sangat tegas, juga diungkap Imam al Mawardi dalam Al Ahkam as Sulthaniyyah, halaman 17. Setelah mengunggulkan status fardhu kifayah menegakkan khilafah, beliau mengarahkan ahliyyatul wujub kewajiban ini:

وليس على من عدا هذين الفريقين من الأمة في تأخير الإمامة حرج ولا مأثم

“Selain atas kedua kelompok umat ini, tiada masalah dan dosa dalam menunda khilafah.”

Tegasnya, kedua ulama pakar di bidang fikih dan khilafah ini dari madzhab Hanbali dan Syafi’i, secara jelas menegaskan bahwa ahliyyatul wujub penegakan khilafah bukan semua elemen umat – sebagaimana dipropagandakan An Nabhani, kemudian diikuti secara membabi buta oleh syabab HTI hingga kini. Melainkan hanya kelompok tertentu dari umat Islam yang memiliki kapabilitas imamah.

Kelompok tertentu ini oleh para ulama disebut sebagai Ahlul hal wal aqdi. Syekh Muhammad Ra’fat ‘Utsman dalam karya disertasi beliau yang mendapat kehormatan martabat as syaraf al ula, yang berjudul Riyasat ad Daulah fil Fiqh al Islami pada halaman 61 menulis:

أن الجماهير التي قالت إن معرفة وجوب نصب الإمام ليس لها طريق إلا الشرع قد بينت مرادها بالوجوب هنا هو الوجوب الكفائي.. وهذا الوجوب متوجه إلى جميع أهل الحل والعقد والصالحين لتولي هذا المنصب، فإذا قام بعض أهل الحل والعقد بهذا الواجب سقط الوجوب عن باقيهم، أما إذا لم يقم أحد بهذا الواجب فإن أهل الحل والعقد جميعا آثمون، وليس يأثم غيرهم من باقي الأمة الذين لا تتوافر فيهم صفات أهل الحل والعقد.

“Bahwa kelompok ulama yang mengatakan bahwa mengetahui kewajiban mengangkat imam hanya bisa ditempuh dari syariat, telah saya jelaskan maksud wajib disini adalah wajib/fardhu kifayah.. Kewajiban ini ditujukan pada semua ahlul hal wal ‘aqdi dan mereka yang pantas mengemban jabatan ini. Jika salah satu dari ahlul hal wal ‘aqdi telah mengerjakannya, kewajiban ini telah gugur atas yang lain. Adapun jika tak seorang pun melaksanakan kewajiban ini, maka semua ahlul hal wal ‘aqdi berdosa. Umat Islam lain yang tak memenuhi kriteria ahlul hal wal ‘aqdi tidaklah berdosa.”

Guru besar fikih komparatif Universitas al Azhar ini juga menegaskan seperti yang ditegaskan Al Qadhi Abu Ya’la dan Imam al Mawardi. Bahwa kewajiban khilafah yang fardhu khifayah ini hanya dibebankan kepada Ahlul wal ‘aqdi. Bukan semua umat Islam sebagaimana pemahaman salah An Nabhani. Umat Islam selain Ahlul hal wal ‘aqdi seluruhnya tak akan berdosa meski tak menegakkan khilafah, karena memang sejak awal itu bukan tugas dan kewajiban mereka. Jauh berbeda dengan propaganda HTI selama ini.

Jika kita mau membandingkan antara pendapat para fukaha’ sejati dengan pendapat An Nabhani, sejatinya kita bisa menimbang secara logis mana yang lebih akurat dan tepat. Apakah akal kita bisa menerima, bahwa anak kecil, wanita dan orang tua awam oleh Allah SWT dibebankan mendirikan khilafah? Apakah justru ini malah seperti taklif ma la yuthaq atau membebankan tugas yang tak mungkin diemban, yang oleh para ushuliyyin, sudah di-nash sebagai hal yang tak pernah terjadi dalam syariat?

Oleh Imam as Sahrastani dalam kitab Al Milal wan Nihal pada juz 1 hlm. 22, persoalan imamah diungkapkan:

وأعظم خلاف بين الأمة خلاف الإمامة؛ إذ ما سل سيف في الإسلام على قاعدة دينية مثل ما سل على الإمامة في كل زمان

“Pertikaian terbesar antar umat adalah pertikaian khilafah. Karena pedang dalam Islam tak pernah dihunus atas nama kaedah agama sebagaimana pedang terhunus demi khilafah di setiap zaman.”

Atau seperti ungkap Imam al Ghazali dalam al Iqtishad fil I’tiqad hlm. 127 tentang khilafah:

إنها مثار للتعصبات، والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض، بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ؟!

“Sesungguhnya khilafah adalah sumber fanatisme. Orang yang menghindari membahasnya lebih selamat dibanding yang membahas, bahkan walaupun dia benar. Bagaimana jadinya jika dia salah?!”

Jika demikian pendapat para ulama muktabar tentang khilafah, mana mungkin hal seberat dan seberbahaya ini malah diwajibkan atas semua umat? Apakah bukan sebuah kebodohan yang nyata jika malah mewajibkan penegakan khilafah kepada anak kecil, wanita dan orang awam, yang sama sekali tak memilik siginifikansi dalam persoalan khilafah?

Data-data di atas mendorong kita untuk jujur. Untuk lebih tegas menyikapi pembodohan publik yang dilakukan kawan-kawan HTI. Kita perlu lebih percaya dengan ulama kita yang amanat menyampaikan ilmu secara benar, dibanding propaganda kosong yang menodai akal sehat.

Malah, jangan-jangan Taqiyyuddin an Nabhani telah melanggar ijmak dengan keteledorannya ini?

Kontributor

  • Muhammad Nora Burhanuddin

    Nama lengkapnya Muhammad Nora Burhanuddin, Lc. MA. Seorang cendekiawan muda muslim lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Selain disibukkan mengajar dan mengisi seminar, juga menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah PCINU Mesir.