Di awal abad 20 Masehi, jumlah ulama Nusantara dalam barisan Kaum Muda asal Sumatera Utara (dulu: Sumatera Timur) yang terdata hanya empat ulama saja. Mereka adalah Syekh Mahmud Al-Khayyat, Syekh Abdul Hamid Mahmud Asahan (1894-1951 M), Syekh Hasyim Muda, dan Tengkoe Fachroeddin (1885-1937 M).
Syekh Mahmud al-Khayyat adalah anak Syekh Muhammad al-Khayyat, seorang ulama Arab yang pernah menjadi guru besar di halaqah Masjidil Haram dan guru bagi sejumlah besar ulama Nusantara. Salah satu muridnya bernama Syekh Hasan Maksum. Namun, gelar yang lebih khusus disematkan kepadanya adalah ulama dan pakar ilmu Falak.
Menurut Prof. Deliar Noer dalam disertasinya yang sudah dibukukan dengan judul Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, ketika melakukan wawancara dengan anak ulama tersebut pada Maret 1957, menyebutkan bahwa Syekh Muhammad Al-Khayyat adalah ulama yang pertama sekali menyampaikan khotbah di masjid raya Al-Mashun Medan. Ia juga pernah menjadi mufti di Kedah dan meninggal di Penang.
Putranya yang bernama Syekh Mahmud Al-Khayyat disebut dalam tulisan Syekh Hasan Maksum dan Buya Hamka. Dalam tulisannya yang berjudul Tanqih azh-Zhunun ‘an Masa’il al-Maimun (Pembersih Segala Keraguan atas Beberapa Persoalan Agama yang Disidangkan di Istana Maimun).
Syekh Hasan Maksum menyebutkan bahwa Syekh Mahmud al-Khayyat adalah seorang guru di Sungai Rampah bagi sekelompok masyarakat muslim Mandailing yang paham keagamaannya menyalahi mazhab Syafi’i sehingga informasi tentang mereka sampai kepada Sultan Makmun al-Rasyid.
Sultan Deli itu kemudian memerintahkan Syekh Hasan Maksum yang menjabat sebagai Imam Paduka Tuan agar melakukan sidang keagamaan di Istana Maimun pada tanggal 10 Muharram 1340 H/ 1921 M.
Sedangkan Hamka dalam otobiografinya yang berjudul Kenang-Kenangan Hidup menyebutkan bahwa anak Syekh Muhammad al-Khayyat tersebut adalah penasehat Muhammadiyah di Sumatera Timur.
Adapun Syekh Abdul Hamid Mahmud Asahan merupakan ulama asal Asahan lulusan Mekkah. Setelah menamatkan belajar di tanah suci selama empat tahun, ia kembali ke tanah kelahirannya dan menjadi ulama dengan paham keagamaan Kaum Tua.
Namun, perubahan terjadi pada ulama Asahan ini setelah melakukan perjalanan ke Mesir pada tahun 1930 M, dimana ia bertemu dengan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, pendiri majalah Al-Manar sekaligus murid utama Syekh Muhammad Abduh.
Salah satu pemikiran Syekh Abdul Hamid Mahmud Asahan adalah pintu ijtihad masih terbuka dan keharaman taqlid dengan mengarang kitab untuk menguatkan pendapatnya yang berjudul Tamyiz at-Taqlid min al-Ittiba’. Kitab ini memicu bantahan dan polemik antara ulama.
Dua ulama Nusantara menulis bantahan atas kitab tersebut. Yang pertama dari Minangkabau, yaitu Syekh Muhammad Khatib Ali Padang dalam karyanya Intishar al-I’tisham fi at-Taqlid ‘ala al-Awam, dan yang kedua dari Medan, yaitu Syekh Hasan Maksum dengan karyanya Ash-Sharim al-Mumayyiz ‘an al-Tala’ub bi Kalam al-Aziz.
Tentang biografi dan pemikiran seorang ulama asal Tanjungbalai yang dikenal dengan Syaikh Hasyim Muda, penulis tidak menemukannya selain informasi terkait perdebatannya dengan Syaikh Hasyim Tua dalam masalah keagamaan juga. Namun perdebatan tersebut tidak ditemukan dalam bentuk naskah tulisan.
Terkait tema di atas, ulama Serdang Bedagai ini dikenal dengan sebutan Tengkoe Fachroeddin. Ia seorang ulama yang berasal dari keturunan bangsawan.
Perubahannya menjadi seorang ulama ketika ia diminta Sultan Langkat saat itu yang juga sebagai abang iparnya agar berpindah ke Langkat kemudian belajar kepada Syekh Muhammad Nur Langkat yang merupakan ulama lulusan Mekkah dan murid Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Kedekatan kedua ulama tersebut disebutkan oleh Syekh Abdul Hamid Al-Khatib (anak Syekh Ahmad Khatib) dan Buya Hamka.
Dalam kitabnya Ba’its an-Nahdhah al-Islamiyah at-Taharruriyah fi Indunisia, al-Mudarris wa al-Khatib bi al-Masjid al-Haram wa al-Imam bi al-Maqam asy-Syafi’i, Ahmad al-Khatib menyebutkan ulama Langkat tersebut merupakan murid khusus ayahnya di Mekkah.
Sementara Buya Hamka dalam karyanya Ayahku menyebutnya sebagai pembawa tempat kitab Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, menunjukkan adanya hubungan yang cukup dekat antara keduanya.
Dari ulama Langkat tersebut Tengkoe Fachroeddin belajar kemudian menjadi ulama. Tentang riwayat pendidikannya, tidak ditemukan bahwa ia belajar di Mekkah dan tanah Arab. Ia menghabiskan waktunya belajar di Langkat selama kurang lebih 6-7 tahun.
Penulis memasukkan Tengkoe Fachroeddin dalam barisan ulama Kaum Muda. Hal itu karena dalam beberapa kesempatan, ia termasuk di antara ulama Sumatera Utara yang berpendapat bahwa mengucapkan ushalli tidak termasuk yang disunahkan. Pendapat tersebut ditemukan dalam perdebatan yang diselenggarakan oleh Kerajaan Serdang.
Rajanya saat itu, Sultan Syariful Alamsyah menghimpun para ulama tiga kesultanan: dari Kesultanan Langkat adalah Syekh Abdullah Afifuddin, Syekh Abdul Rahim, dan Tengku Zainuddin (mufti kerajaan);
Dari Kesultanan Serdang adalah Syekh Zainuddin (mantan mufti kerajaan), Syekh Muhammad Syafi’i (kadi Tebing Tinggi) dan Tengkoe Fachroeddin;
Dan dari Kesultanan Deli adalah Syekh Hasan Maksum (Imam Paduka Tuan), Syekh Muhammad Syarif (kadi Labuhan) dan Syekh Muhammad Yunus (guru Maktab Islamiyah Tapanuli).
Debat ini terjadi pada hari Ahad, 14 Sya’ban 1346 H/ 5 Februari 1928 M di Perbaungan yang ada di Istana Kesultanan Serdang.
Dalam penelusuran penulis, karya tulis Tengkoe Fachroeddin tentang tauhid yang baru berhasil ditemukan hanya dua judul, yaitu Al-Khalil dan syarah penjelasan atasnya serta Fath al-Jalil Syarah al-Khalil (Ilmoe Tauhid). Kitab pertama merupakan tulisan singkat yang kemudian dijelaskan secara lengkap dengan judul kitab kedua.
Dalam kitab Al-Khalil, Tengkoe Fachroeddin menjelaskan bahwa penulisan kitab tersebut sebagai bahan ajar untuk beberapa orang yang belajar kepadanya terkait ilmu tauhid. Namun, setelah selesai mengajarkan, ada keinginan darinya untuk menguraikannya dalam catatan penjelasan (syarah) yang lebih lengkap yang kemudian diberi judul Fath al-Jalil tadi.
Yang dibahas dalam kedua kitab di atas, tidak lain adalah tentang kajian sifat 20 Allah. Penulis melihat kitab ini termasuk yang terlengkap dari karya ulama Sumatera Utara awal abad 20 yang dalam asumsi penulis, selesai ditulis sekitar tahun 1934 M. Kelengkapan tersebut setidaknya karena memuat sampai 188 halaman di luar daftar isi.
Di banyak tempat dalam kitab itu, penulisnya tidak menyetujui pendapat kaum Muktazilah, seperti yang tertera berikut ini:
“Al-Moe’tazilah mengakoei adanja tiga sifat itoe, ja’ni jang berkata2, jang mendengar dan jang melihat, didapati dengan akal. Tetapi tiada diakoeinja, jang mendengar itoe terbit dengan sebab ada dengar atau berselazim2an dengan sifat denganr itoe. Katanja: Allah Soebhanahoe Wata’ala jang mendengar dengan zatnja. Seperti demikian djoealah diseboetnja sekalian sifat2 jang al-woejoedi itoe, jaitoe jang berkoeasa dengan zatnja, jang berkehendak dengan zatnja, yang berilmoe dengan zatnja, jang hidoep dengan zatnja, jang berkata2 dengan zatnja, jang mendengar dengan zatnja dan jang melihat dengan zatnja.”
Kemudian dia menjelaskan sikapnya, “Tiadalah kami setoejoe dengan perkataannja itoe.”
Medan, 8 Agustus 2020