Umar bin Mudzaffar, atau yang dikenal dengan Ibnu al-Wardi, sejarawan besar, penyair, ahli fiqh, penganggit al-Bahjah al-Wardiyyah, sebuah nadzam fiqh 5000-an bait lebih, merupakan deretan ulama yang meninggal karena Tha’un.
Menariknya, sebelum meninggal, Ibnu al-Wardi sempat menulis risalah mengenai Tha’un melalui penggambaran yang cukup detil. Ibnu al-Wardi menulis tentang Tha’un , dan ia meninggal karenanya.
22 tahun setelah meninggalnya Ibnu al-Wardi, hal yang sama terjadi pada Taj al-Din al-Subki: ia terjangkit wabah setelah menganggit kitab tentang wabah, bertajuk Juz’un min al-Thâ’ûn.
Lima tahun setelah al-Subki, Syihab al-Din Yahya al-Tilmisani, Pengarang al-Thibb al-Masnûn fî Daf’ ‘an al-Thâun, juga mengalami kejadian serupa.
Tha’un ini memang tak pandang bulu. Ia ‘memangsa’ manusia semua strata. Entah pejabat, rakyat biasa, bahkan ulama bisa saja terjangkit wabah ini.
Seorang ulama agung, Murtadla al-Zabidi, yang dikenal syârih al-ihyâ (pensyarah Kitab Ihyâ’), malah terjangkit wabah setelah melaksanakan shalat Jumat, dan meninggal dua hari kemudian.
Ibnu al-Wardi sendiri mendokumentasikan Tha’un di Damaskus dalam kitabnya Risâlat al-Nabâ’ an al-Wabâ’. Menurutnya, Tha’un yang melanda Damaskus, bagai mesin pembunuh karena menghilangkan nyawa 1000 orang perhari.
Tha’un disebut dengan redaksi aqalla al-katsrah: menyusutkan populasi manusia. Tha’un ketika itu menjadi pandemi yang menyebar dari Palestina sampai ujung Utara Syiria, dan melalui pertengahan kota Syiria, wabah tersebut terus berjalan sampai ke Turki.
Oleh al-Shafadi, sejarawan yang juga meninggal terjangkit Tha’un, wabah ini ia narasikan dengan “mengosongkan tanah Syam dari penduduknya.”
Menurut Ibnu al-Wardi, kala itu, wabah menjadi mesin pembunuh menakutkan hingga dimana-mana terdapat barisan manusia tergeletak dengan darah mengucur dari mulut mereka. “Diantara ketetapan Allah, Tha’un ini berjalan dari rumah ke rumah.
Jika seorang mengeluarkan darah dari mulut, maka nyawanya sudah pasti terenggut. Sedang sisanya tinggal menunggu jatah mati, setelah berlalu dua atau tiga hari.”
Ia bersyair,
“Aku berdoa pada Allah
Bagaimana cara menolak Tha’un yang datang seketika
Sebab siapa saja yang sudah merasa menelan darah
Sesungguhnya ia sudah merasa pasrah (ahassa bi al-‘adam)”
Demikian tidak terkontrol penyebarannya, akhirnya masyarakat ramai belajar pengobatan secara mandiri dari buku-buku kedokteran. Berbagai metode untuk menyembuhkan wabah ini dipelajari.
Mereka memakan dedaunan kering dan makanan asam untuk obat. Di waktu lain, banyak orang mengkonsumsi cuka serta bawang untuk sterilisasi.
Ibnu al-Wardi mengatakan, “jika kalian sudah melihat banyak keranda dan para pemanggulnya, niscaya kalian akan menjauh seketika dari mereka.”
Penyebarannya sangat cepat, dan tidak pandang bulu. Hingga siapapun yang melihat mayat, ia akan ketakutan terjangkit wabah yang sama.
Menurutnya, arus keuangan menumpuk di pemanggul mayat karena demikian banyak orang meninggal setiap hari. Dan mereka mendapatkan bayaran yang mahal.
Selama 15 tahun, Damaskus diserang wabah, sampai orang-orang bersimpuh pasrah tak tahu apa yang harus diperbuat.
Ibnu al-Wardi menggambarkan, sebagian mereka menulis wasiat, ada pula yang mendadak berdamai dengan musuh lama, sebagian lagi ada yang berinfak tanpa putus.
Ada pula yang memerdekakan budak budaknya, bahkan para pedagang menambah kadar timbangan. Sebagian mereka merasa hidup hanya menunggu hitungan hari.
Pemandangan memilukan ini membuat Ibnu al-Wardi geram. Ia geram karena dimana-mana orang berbicara ketakutan, penyakit, kesedihan, dan keputusasaan. Akhirnya Ibnu al-Wardi menantang Tha’un dalam dua baitnya:
“Aku tidak takut padamu, Tha’un,
Tidak seperti selainku
Bagiku, hasilnya adalah dua kebaikan
Jika aku mati, aku beristirahat dari musuhku (Tha’un)
Jika aku hidup, berarti telinga dan mataku sudah sembuh (hilangnya wabah)”
Belum genap dua hari, wabah tersebut menyerangnya. Belum genap hitungan 48 jam pula, Tha’un itu sudah merenggut nyawanya.
Ibnu al-Wardi meninggal pada tahun 749 H. Tahun yang sama saat ia tiba tiba memasukkan pembahasan Tha’un dalam kitab târikhnya,
“Pada bulan Rajab, wabah sampai ke tanah Aleppo. Semoga Allah menjaga kita dari wabah tersebut. Wabah ini, menurut berita yang sampai padaku, telah berlangsung selama 15 tahun. Dan aku membuat risalah kecil untuk mendokumentasikannya, bertajuk al-Nabâ’ an al-Wabâ.”
Dan anehnya, di tahun yang sama pula setelah menuliskan fasal Tha’un, ia baru saja mendokumentasikan seorang Qadli yang baru meninggal karena Tha’un. Kematian sang Qadli ini sekaligus sebagai kalam akhir dari kitab tarikhnya. Ia mengatakan,
“telah sampai kabar kepadaku, meninggalnya Qadli Syihab al-Din Ahmad bin Fadlullah al-Ummari. Ia meninggal terjangkit wabah Tha’un di Damaskus.”
Ia mengakhiri kitab târikh-nya tanpa kalam akhir sebagaimana lazimnya para penganggit kitab yang lain.
Diduga, ia belum hendak mengakhiri kitabnya ini, namun wabah sudah terlebih dahulu menjangkit yang kemudian membuatnya menghadap Sang Pencipta.
KH. Ahmad Hadidul Fahmi, Lc.
(Gus Fahmi Leler)
Pondok Pesantren At-Taujieh Al-Islamy