Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Seri 1: Tasawuf dalam Buku “Allah dan Alam Semesta”

Avatar photo
37
×

Seri 1: Tasawuf dalam Buku “Allah dan Alam Semesta”

Share this article

Tasawuf
dikepung dari dua arah: orientalis
(sarjana barat) yang seenaknya sendiri menyetel tasawuf sesuai asumsi di
kepalanya; di sisi yang lain ada Wahhabiyah modern yang dengan sinis selalu
mendiskreditkan. Sehingga pemahaman kita mengenai tasawuf tak pernah
benar-benar jernih. Kenyataan ini harus disadari oleh pembaca yang ingin
menekuni tasawuf.

Konteks
Umm Al-Qura

Sebuah
produksi pengetahuan ditentukan, sedikit-banyak, oleh produser. Apa yang anda
bayangkan tatkala dikepung musuh? Anda menyerah atau mencari cara dan waktu
yang tepat untuk melarikan diri. Ini yang saya bayangkan tatkala membaca buku “Allah
dan Alam Semesta, Perspektif Tasawuf Falsafi” karya Prof. KH.
Said
Agil Siroj
.

Sebuah
buku terjemahan yang berasal dari disertasi doktoral, yang menurut pengakuan
penulisnya membutuhkan waktu 4 tahun untuk menyelesaikannya. Disertasi ini
ditulis di Univ. Ummul Qura Mekkah, yang menganut Wahhabiyah sebagai mazhab
resmi.

Sebagai
ketum PBNU,
Pak Said
adalah panutan yang sempurna. Bahkan Gus Dur menjulukinya sebagai “kamus
berjalan”, karena keluasan pengetahuannya. Tapi bagaimanapun sebagai mahasiswa
yang puluhan tahun menikmati fasilitas beasiswa Univ. Ummul Qura mau tidak mau
harus membalas atau setidaknya bermanis lidah dan tulisan untuk memuji apa yang
dianggap pantas dipuji.   

Terlihat
jelas bagaimana pemilihan tokoh representatif dalam disertasinya ini. Ibnu
Taimiyah sebagai referensi utama dalam penulisan karyanya ini. Buku dua jilid
yang kemudian diterjemah dengan ciamik oleh Ahmad Baso ini merupakan pendalaman
materi dari kerangka berpikir Ibnu Taimiyah. Terlihat jelas dari pujian
setinggi langit untuk Syaikh Al-Islam.

Sikap Ibnu
Taimiyah
sebagai kritikus paling bersemangat hingga menyebabkan pembacanya menjadi
orang-orang anti sufi adalah kenyataan yang tak bisa disangkal. Seluruh
bangunan buku ini seakan mendekorasi ulang bangunan
kuno Ibnu Taimiyah. Tak ada apresiasi sama sekali pada tasawuf.

Persepktif tasawuf falsafi yang menjadi anak judul buku tampil buram (atau sengaja diburamkan) karena memang tak pernah didefinisikan oleh
penulisnya. Pembaca awam pasti akan dibawa arus tulisan bahwa inilah
“cetak biru” tasawuf, yang sayangnya tasawuf
dipotret secara ‘gelap’.
  

Pemilihan
Tokoh

Sisi
gelap tasawuf dalam buku ini dimulai dengan pemilihan tokoh-tokohnya. Demi
memburamkan wajah tasawuf maka tokoh yang dipilih juga harus tokoh yang
kontroversi. Maka muncullah nama
“Jabir bin Hayyan” yang sepak terjangnya diasosiasikan pada sekte
Syiah.

Tentu
dengan cara merujuk pada Dr. Kamil Mustafa As-Syaibi yang dengan piawai mengkorelasikan
tasawuf dengan Syiah dalam bukunya “As-Shilah baina At-Tasawuf wa At-Tasyayyu’”.
Padahal dalam Syiah tak ada yang kenal ajaran tasawuf. Syiah juga menolak
istilah “tasawuf” dan memilih istilah “irfan” yang dalam pengertiannya juga
berbeda jauh.

Begitu
pula dengan Ma’ruf Al-Karkhi yang diasosiasikan pada Bani ‘Ajl sebagai suku
ekstrem Syiah. Al-Karkhi ditengarai berguru pada Ali Ar-Ridha dan ayahnya masuk
islam di tangan Imam Ar-Ridha. Memang benar Ali bin Musa Ar-Ridha adalah Ahlil
Bait (keturunan dan keluarga Nabi) tapi tidak semua Ahlul Bait kemudian dianggap
Syiah. Al-Karkhi juga berguru pada sufi lain, Dawud At-Tha’i.

Dzun Nun
Al-Misri, konseptor al-ma’rifah as-sufiyah, juga tak lepas dari stigma sebagai
alchemi ulung dan pakar perdukunan yang mempelajarinya dari sisa kuil-kuil
Aleksandria. Dzun Nun disebut menguasai al-ism al-a’dzam dan kerap
berdoa dengan membakar kemenyan dan dupa.

Deskripsi
Dzun Nun dalam buku pak Said ini sepenuhnya dikutip dari buku The Mystics of
Islam
milik Nicholson, yang memang cenderung berlebihan dalam memandang
tasawuf. Di tangan Nicholson, tasawuf menjadi sebuah diskursus yang terasing
dari
Islam. Bahkan menurutnya, tasawuf meruntuhkan semua
nilai-nilai etika dan agama apapun (Nicholson: 1951).

Pandangan
kesufian Abu Yazid diasosiasikan dengan monisme agama Hindu. Sementara konsep al-fana
nya disamakan dengan kontemplasi Hindu. Kemiripan-kemiripan tasawuf dengan anasir di luar
Islam dipertontonkan tanpa mencoba melakukan pembelaan sedikitpun. Ini
berimplikasi buruk bagi pembaca: sehingga menganggap tasawuf sebagai penyusup.
Padahal kedudukan tasawuf sangat jelas sebagai pilar agama islam; disamping
iman dan islam, ada konsep ihsan sebagai presentasi tasawuf.

Istilah-istilah
Tasawuf

Istilah-istilah
populer dalam tasawuf falsafi juga mengalami nasib yang sama. Ia dicabut dari
maskud aslinya. Terma-terma semacam ittihad, hulul, wahdatul wujud  menjadi
sepertiga sajian buku ini. Namun dengan
kesimpulan-kesimpulan yang mencengangkan para pengakaji tasawuf. Semisal konsep
Wahdatul wujud Ibn
u Arabi
yang disamakan dengan pemahaman Panteisme Barat.

Belum lagi,
bahasa kaum sufi yang simbolis, metaforis dan alegoris, yang muncul dalam
kondisi kejiwaan tak biasa (fana) dipahami secara ‘telanjang’. Ini khas model kajian
tokoh
Wahhabiyah
yang tekstualis. Efeknya sungguh menyakitkan: beberapa tokoh sufi dikafirkan,
seperti Al-Hallaj (baca versi asli berbahasa Arab). Dan kita tahu “takfir”
tidak merepresentasikan pemikiran mayoritas Ahlussunnah dan warga NU.  

Tapi kita
harus maklum karena disertasi ini ditulis di Univ. Ummul Qura. Konsekuensi
logis dari lingkungan akademik yang rigid. Yang terpenting, pandangan penulis saat
ini sudah tak mewakili apa yang dia tulis dalam disertasinya. Sebuah pemikiran
bersifat dinamis. Pak Said adalah ketua umum PBNU yang mewakafkan dirinya untuk
menyebarkan moderatisme Islam.

Dan
sepertinya, Ahmad Baso sebagai penerjemah sudah melakukan tugasnya dengan baik.
Sehingga anasir “takfiri” yang ada dalam disertasi sudah tereliminasi. Namun
pembaca awam harus tetap waspada sebab imaji tasawuf benar-benar ambyar
dalam buku versi terjemah ini.

Kontributor

  • Abdul Munim Cholil

    Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya