Dewasa ini dunia Islam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan selandia Baru yang Protestan; oleh Eropa selatan dan Amerika selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh Israel yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh Cina (giant dragon), Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura (little dragon) yang Budhist-Konfusianis; oleh Jepang yang Budhis Taois; dan oleh Thailand yang Budhist.
Praktis tidak satu pun agama besar di muka bumi ini yang lebih rendah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)-nya dari pada Islam. Dengan perkataan lain, di antara semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dan lemah dalam hal sains dan teknologi.
Ketertinggalan umat Islam dalam hal Iptek ini, menjadi persoalan yang sangat krusial bagi kita semua (umat Islam), karena seolah membenarkan sinyalemen sementara orientalis Barat bahwa Islam adalah agama yang anti ilmu pengetahuan, agama teroris dan merupakan saingan dan sekaligus musuh utama peradaban modern Barat.
Pandangan minor dari sementara orientalis Barat ini, tidak mungkin dijawab dengan menyodorkan sejumlah argumen apologetik dari sumber-sumber normatif Islam. Dan bahwa Islam adalah agama yang sangat mendukung ilmu pengetahuan, yang mewajibkan pemeluknya untuk menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Karena realita yang ada di lapangan menunjukkan bahwa negara-negara muslim umumnya berada dalam kawasan negera terkebelakang yang sangat tergantung pada negara Barat.
Setiap muslim pasti meyakini bahwa al-Quran sebagai sumber referensi utama umat Islam sangat mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, namun kemudian mengapa justeru umat Islam malah terpuruk dalam keterbelakangannya, inilah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap individu muslim. Asumsi yang terkuat yang bisa dikemukakan di sini, bahwa kemungkinan besar telah terjadi kekeliruan dalam cara berpikir (system of thought) umat Islam?
Umat Islam belum mampu menangkap kembali ajaran agamanya yang otentik dan dinamis sebagaimana pernah dilakukan oleh sarjana-sarjana muslim pada sekitar abad ke-8-13 M, yang telah mengantarkan Islam pada puncak keemasannya dengan penguasaan yang penuh atas filsafat dan Iptek. Sehingga apabila umat Islam ingin meraih kembali kejayaannya, maka harus ada perubahan pada cara berpikir mereka dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Perubahan pada cara berpikir ini menuntut adanya perumusan kembali pada epistemologi Islam yang ideal, yang relevan dengan tuntutan zaman, tanpa ada pertentangan dengan semangat ajaran Islam yang mulia. Mengapa harus pada epistemologi? Karena epistemologi sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan, ia adalah cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang merupakan kunci untuk mengejar ketertinggalan umat Islam saat ini.
Epistemologi Islam dan cara berpikir umat
Ilmu pengetahuan yang merupakan kunci dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak bisa datang begitu saja tanpa ada suatu proses sebelumnya. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ini dalam kajian filsafat dikenal sebagai epistemologis. Bidang epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu, berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya, kepiawaian dalam menentukan epistemologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Secara garis besar, ada dua aliran pokok dalam epistemologis. Pertama, adalah idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalisme, yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran “akal”, “idea”, “category”, “form”, sebagai sumber ilmu pengetahuan. Di sini peran pancaindera dinomorduakan. Sedang aliran yang kedua adalah realisme atau empiricisme yang lebih menekankan peran “indera” (sentuhan, penglihatan, penciuman, pencicipan, pendengaran) sebagai sumber sekaligus sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peran akal dinomorduakan.
Tidak jauh berbeda dengan aliran epistemologis yang berkembang di Barat, secara umum epistemologi Islam menurut Muhammad Abid al-Jabiri, memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan burhani.
Pertama, epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu (teks) atau penalaran dari teks. Ilmu-ilmu keislaman seperti Hadis, Fiqh, Ushu al-Fiqh, dan lainnya, menggunakan epistemologi ini. Epistemologi bayani merupakan suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks, atau penalaran yang berpijak pada teks.
Kedua, epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak (irodah). Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Epistemologi ini benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa diverifikasi dan didemonstrasikan.
Bahkan epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa individual, daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang definitif.
Ketiga, epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk (tahsin dan tahbih).
Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah. Ibnu khaldun menyebut epistemologi ini dengan ulum al-aqliyyah (knowledge by intellect). Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles. Karena epistemologi ini lebih berpijak pada tradisi berpikir Yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.
Ketiga kecenderungan epistemologis Islam di atas, secara teologis mendapatkan justifikasi dari al-Quran. Dalam al-Quran banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas.
Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkap tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi (hati atau perasaan) terdalam.