Berikut kisah nyata perjuangan Syekh Leo Lin Riu mulai dari tersendat tragedi runtuhnya Jembatan Makau, terdampar di Bombai, krisis Perang Dunia II, hingga menjadi ulama besar China.
Leo Lin Rui lahir di Hebei, Provinsi Changzou pada tahun 24 Desember 1917 M dari keluarga muslim di China. Ayahnya Ustadz Liu Bin adalah seorang da’i dan imam masjid yang terkenal dengan kemuliaan akhlaknya sehingga dicintai masyarakat.
Sang ayah mendedikasikan hidupnya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman bagi minoritas muslim di sana. Seorang ulama besar di China saat itu, Syekh Wang Jing Chai memujinya, “Ustadz Liu Bin adalah seorang da’i berdedikasi yang tidak mementingkan popularitas dan harta.”
Menurut pengamat, walaupun Islam telah masuk di China sejak dahulu, akan tetapi persebarannya masih sangat eksklusif di masjid. Msyarakat muslim di sana saat itu terkungkung secara sosial dari masyarakat China yang begitu besar.
Pola pendidikan orang tua, sebatas menyetorkan anak-anaknya belajar di masjid yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman sangat dasar. Berbeda dengan Ustadz Liu Bin, ia mengirimkan dua putranya Leo Lin Riu dan Leo Lin Xiang ke sekolah umum untuk mempelajari ilmu-ilmu modern, di samping pendidikan agama yang ia dapatkan di masjid dan langsung dari ayahnya.
Pada tahun 1931 M, Leo Lin Riu lulus dari SD pada usia ke-13 tahun. Saat itu tokoh-tokoh muslim di China mengadakan kerjasama dengan ulama Mesir untuk mendirikan Tsanawiah Mu’allimin di Chengda. Sang ayah mengarahkan Leo Lin masuk di sekolah baru tersebut, sebab, selain mengajarkan ilmu agama, di sana juga diajarkan matematika, sains, biologi, kesenian dan musik.
Padahal tidak banyak anak-anak yang sanggup masuk Tsanawiyah tersebut. Disebabkan sistem pembelajaran yang ketat, dengan waktu belajar tujuh jam perhari, ditambah kewajiban shalat lima waktu. Juga, para siswa sekolah ini diproyeksikan setelah lulus menjadi imam masjid. Sementara banyak dari orang tua yang enggan, mengingat saat itu profesi sebagai imam tanpa pemasukan tetap.
Tersisalah sedikit siswa yang belajar di Tsanawiah itu. Hanya mereka yang sadar akan tanggung jawab sebagai muslim untuk membangun warna kehidupan baru bagi masyarakat muslim di sana. Di antara segelintir yang bertahan itu adalah Leo Lin.
Di kemudian hari, hal yang selalu dikenang oleh Leo Lin dan syukuri dari sang ayah adalah ketika ia dikuatkan untuk bertahan di sekolah itu. Melihat harapan besar sang ayah kepadanya untuk menjadi seorang imam yang memiliki iman yang kuat, pengetahuan yang luas, akhlak yang indah, visi yang jauh ke depan, memiliki pengaruh besar dan pengikut yang banyak, orator yang fasih, mengharumkan nama keluarga serta bangsa.
Mendapat Beasiswa Belajar di al-Azhar
Pada tahun 1936, terjadi sebuah kejadian yang menjadi trigger bagi para siswa Tsanawiah Chengda. Sang kepala sekolah bernama Ustadz Ma Song Ting melawat menuju Mesir. Pada pertemuannya dengan Imam Akbar Muhammad Mustafa Al-Maragi (Grand Syekh Al-Azhar saat itu), ia ditawarkan kuota beasiswa bagi 20 siswa sekolahnya untuk melanjutkan studi di Al-Azhar, dengan visi mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam di China. Dari proses seleksi, terpilihlah Leo Lin sebagai salah satu awardee beasiswa tersebut.
Perjalanan Leo Lin ke Mesir saat itu tersendat disebabkan peristiwa runtuhnya Jembatan Makau yang terjadi 7 Juli 1937 M. Namun Leo Rin tidak angkat tangan, demi mewujudkan cita-citanya untuk belajar di Al-Azhar, dia berusaha sekuat tenaga menembus hambatan itu untuk dapat menyeberang sampai ke Hongkong. Di sanalah dia bertemu dengan 14 siswa muslim lainnya yang datang dari Beijing dan Shanghai.
Pada Januari 1938 M, dengan bimbingan Ustadz Muhammad Shi Qian, rombongan calon mahasiswa baru Al-Azhar dari China itu bertolak ke Mesir.
Mereka melalui perjalanan yang amat berat dari Hongkong menuju Kairo. Di sebabkan kesulitan ekonomi, mereka terpaksa menumpangi pengapnya Kapal Kontainer yang semestinya untuk pengangkutan kargo, harus transit di setiap negara dan berpindah dari satu kapal ke kapal kontainer lainnya. Itulah ujian pertama yang mereka hadapi.
Sampai di Pelabuhan Kolkata di India, ternyata mereka tidak menemukan kapal dengan destinasi Kairo. Terpaksa mereka terdampar dan berdiam di Kalkota beberapa hari, lalu berpindah ke Kota Bombai. Tentu mereka sangat kesulitan di sana disebabkan pertautan jauh bahasa mereka dengan penduduk setempat. Beruntung mereka berjumpa dengan Jam’iyyah Syubban Al-Muslimin (Cikal Bakal Liga Arab) Cabang India dan komunitas China di India, yang membantu mereka menemukan kapal kargo keberangkatan 23 Maret untuk melanjutkan ke tujuan.
Sesampai di Mesir, atas perjuangan panjang yang telah dilewati, merekapun segera belajar dengan penuh semangat di Al-Azhar Al-Syarif. Nahas, ketika menggebu-gebunya semangat itu, mereka mendengar berita kekacauan kondisi negara mereka disebabkan serangan Jepang. Fokus belajar merekapun terpecah, mencemaskan keluarga dan merindukan negerinya.
Namun, Leo Lin berhasil mengendalikan perasaannya itu. Ia segera kembali menjalankan kewajibannya untuk belajar dan membaca diktat-diktat kuliah berbahasa Arab yang sulit, ditambah dengan menelaah ilmu-ilmu lain di perpustakaan Al-Azhar di setiap waktu-waktu luangnya. Akibat ketekunannya itu, kemahiran berbahasa Arabnya berkembang pesat. Dia dipercayai oleh Ustadz Shi Qian untuk menjadi editor buku barunya berjudul Al-Shîn wa Al-Islâm yang ditulis dengan Bahasa Arab.
Kecintaan pada tanah air kian bertambah hari demi hari bagi pelajar rantau Leo Lin Rui dan kawan-kawan. Di luar kesibukan belajar, ia aktif bergerak dalam aksi-aksi meraih simpati Bangsa Arab untuk membela negaranya melawan perang yang diselancarkan Jepang, bahkan mereka menggalang dana untuk membantu perlawanan negaranya. Aksi itu dipuji oleh tokoh terkenal China, Tao Shing Chi dengan menuliskan pada bukunya yang berjudul Kisah-Kisah dari Balik Lelautan, “Meskipun para pelajar rantau China di Al-Azhar adalah orang-orang notabene miskin, mereka tidak mau ketinggalan mengumpulkan uang seada yang mereka miliki untuk sumbangan melawan peperangan Jepang. Saya amat terharu ketika mengunjungi Mesir, menyaksikan sebanyak 31 pelajar muslim menyanyikan lagu kebangsaan China di atas bebatuan Piramida.”
Usai Lulus tak Bisa Langsung Pulang
Setelah lima tahun penuh perjuangan belajar, tahun 1943 M Leo Rin dan teman-temannya lulus dengan menggondol gelar Al-‘Âlamiyyah (setara license) dari Al-Azhar. Mereka tak sabar untuk kembali ke tanah airnya secepat mungkin. Sayangnya lalu-lintas perjalanan darat, udara maupun laut saat itu sedang tertutup disebabkan situasi gawat darurat yang disebabkan Perang Dunia II. Terpaksa mereka harus menunggu di Mesir selama 3 tahun lagi. Leo Lin memanfaatkan waktu itu untuk membaca buku-buku baru dalam berbagai disiplin: sejarah, peradaban, filsafar dan sosiologi.
Akhirnya berkat bantuan seorang saudagar China, mereka dapat berangkat pulang pada 16 Juni 1946. Setelah perjalanan selama 3,5 bulan merekapun sampai di China pada Oktober 1946.
Terjun ke Dunia Pendidikan
Setelah 8 tahun perjalanan ilmiah di Mesir dipenuhi dengan ketekunan dibarengi kecerdasannya, Liu Lin kini telah menjadi pribadi yang matang untuk terjun pada dunia pendidikan dan pergerakan. Segera dia mengatur strategi baru untuk pendidikan Islam di China.
Disebabkan simpati Bangsa Arab yang dipioniri oleh Liu dan kawan-kawan saat China diperangi, Bangsa China menyambut baik penyambungan hubungan baik dengan negara-negara Arab. Inilah yang melatar belakangi pemerintah RRC membuka jurusan Bahasa Arab di Universitas Beijing tahun 1946 di mana Ustadz Makin mengajar di sana. Menyusul pembukaannya di Universitas Nanjing pada tahun 1947, di mana Leo Lin mengajar. Pembukaan jurusan itu di kedua universitas besar di China membuka babak baru bagi pengajaran Bahasa Arab di Negara Tirai Bambu itu. Ustadz Makin dan Ustadz Leo Lin sebagai dua orang alumni Al-Azhar memiliki jasa besar membuka jalan tersebut.
Merintis jurusan yang benar-benar baru di seantero negaranya, tentu Ustadz Makin dan Ustadz Leo menemukan kesulitan lapangan amat berat di perjalanan awal. Disebabkan belum adanya sama sekali rujukan untuk pengaturan mata kuliah, pun dengan ketiadaan modul ajar. Dengan jerih payah, mereka berdua merumuskan dan menyusun semua modul yang diperlukan, serta mencetaknya sendiri.
Masalah selanjutnya: di mana-mana, ketika ingin belajar bahasa asing, seorang pelajar mestinya memiliki kamus pegangan. Sedangkan saat itu, belum ada satupun kamus Arab-China setelah mereka cari kemana-mana. Akhirnya setelah simulasi mengajar yang panjang, mereka menemukan metode sukses mengajar bahasa walaupun tanpa kamus.
Mereka berhasil menarik minat mahasiswa untuk mengambil mata kuliah Bahasa Arab dalam SKS mereka. Mereka pun sukses dalam langkah awal yaitu mengkader murid-muridnya menjadi pengajar membantu mereka di kemudian hari. Leo Lin Riu lalu dimutasi mengajar ke Universitas Beijing, lalu bersama Ustadz Makin membentuk susunan dewan pengajar.
Segera pengajaran Bahasa Arab berkembang pesat dalam rentang waktu 10 tahun, di mana Universitas Beijing telah berhasil meluluskan alumni ahli Bahasa Arab yang kapabel sebagai diplomat, dosen di perguruan tinggi, peneliti, transmitter, jurnasil berbahasa Arab dan tenaga-tenaga kebahasaan di berbagai ranah.
Berkat jasanya mengajar Bahasa Arab selama bertahun-tahun, pada tahun 1960 Leo Lin dianugerahi oleh Universitas Beijing gelar profesor ketika usianya masih 43 tahun.
Karya Tulis Leo Lin
Ustadz Leo Lin meninggalkan banyak karya tulis, di antaranya: Kamus Arab-China, terjemahan Undang-Undang China ke Bahasa Arab, terjemahan syair-syair beberapa pujangga China ke dalam Bahasa Arab, menulis banyak novel berbahasa Arab tentang kebudayaan-kebudaan China. Sebaliknya ia juga banyak menerjemahkan karya sastrawan-sastrawan Arab ke dalam Bahasa China.
Atas kehebatan dan profesionalitasnya dalam penerjemahan, ia sangat dihormati oleh para petinggi negara dan tokoh agama di China. Pada Juni 1983 M, ia dipilih sebagai anggota ikatan penerjemah nasional China.
Beliau wafat pada tahun 1995 M. Rahimahullah.
Sumber:
مترجم من مقطع ترجمة الشيخ العلامة رضوان ليو لين روي في كتاب جمهرة أعلام الأزهر الشريف في القرنين الرابع عشر والخامس عشر الهجريين تأليف شيخنا: الأستاذ الدكتور أسامة السيد الأزهري