Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Telaah pemikiran KH. Syarfuddin Abdus Shomad: Diskursus konsep Ta’dib sebagai pendidikan santri

Avatar photo
24
×

Telaah pemikiran KH. Syarfuddin Abdus Shomad: Diskursus konsep Ta’dib sebagai pendidikan santri

Share this article

Allah SWT berfirman: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan Tuhanmu-lah yang maha pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaran kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya. (QS. al-Alaq: 1-5)

Dunia pendidikan dalam Islam mendapatkan perhatian yang utama selain masalah ketauhidan. Surat Al-Alaq, sebagai wahyu pertama, secara tersirat menyuruh umat manusia untuk tidak serta merta beriman sebelum adanya ilmu, sehingga orang bertauhid bukanlah tanpa dasar. Ruang dialogis keimanan ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir secara hanif, tanpa ada paksaan, untuk menerima ketauhidan universal Islam.

Pendidikan dalam Islam bukanlah sebuah transfer of knowledge semata, pemindahan ilmu dari ustadz-santri, tanpa adanya dialog-dialog kritis dari kedua belah pihak, sebagaimana digambarkan dalam dialog antara Nabi Muhammad SAW dengan Jibril saat menerima wahyu pertama di Gua Hira. Adanya umpan balik antara ustadz-santri, tentu akan melahirkan berbagai macam konsep-konsep pendidikan dalam Islam, diantaranya: ta’lim, ta’dib dan tarbiyah. Kosep ini semua bermuara pada pendidikan transformatif, pendidikan yang menghantarkan peserta didik atau santri menjadi ahsanu taqwim.

Namun demikian, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Huda Duko Lao’ Arjasa Kangean Sumenep Madura, KH. Syarfuddin lebih mengutamakan kepada tadib, dalam hal ini bukan berarti menafikan talim dan tarbiyah. Alih-alih tak menafikan, ketiganya adalah konsep pendidikan Islam yang tidak boleh dipisahkan. Lebih dari itu, menurut beliau , definisi ta’dib sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan, pengajaran (ta’lim), dan pengasuhan (tarbiyah). Bahkan, ta’dib sendiri adalah istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan dalam arti Islam. Dari sini menarik kiranya kalau ditarik sebuah pertanyaan. Mengapa harus konsep ta’dib yang lebih diutamakan?

Ta’dib sebagai pendidikan santri

Kalau kita telisik, kata ta’dib adalah mashdar dari addaba yang sebenarnya secara konsisten bermakna “mendidik”. Dengan demikian, seorang guru yang mengajarkan etika dan kepribadian disebut juga mu’addib. Sekurang-kurangnya ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib, muaddib. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa keempat makna itu saling terikat dan berkaitan. Seorang pendidik (muaddib), adalah orang yang mengajarkan etika, kesopanan, pengembangan diri atau suatu ilmu agar anak didiknya terhindar dari kesalahan ilmu, menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana yang dicontohkan dalam pribadi Rasulullah SAW. Pun juga mendidiknya perlu menggunakan cara-cara yang benar sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.

Menurut KH. Syarfuddin, kata ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan secara berangsur-angsur yang ditanamkan kepada manusia (santri), tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa. Sehingga dapat membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan, serta keagungan Tuhan dalam tatanan wujud keberadaan-Nya.

Syahdan, ta’dib adalah konsep pendidikan Islam yang bertujuan mencetak manusia beradab. Ide tadib tersebut dilatarbelakangi oleh krisis ilmu yang dialami kaum muslim kontemporer, santri khususnya. Menurut KH. Syarfuddin, tantangan terbesar yang dihadapi dunia muslim kontemporer adalah kesalahan dibidang ilmu. Hal itu mengakibatkan hilangnya adab (the loss of adab).

Kehilangan adab di sini maksudnya, kehilangan identitas ilmu-ilmu keislaman, dan identitas ilmuan muslim. Lenyapnya identitas ilmu Islam tersebut, dikarenakan gencarnya para santri mengikuti pemikiran Barat sekuler, yang gerakannya seiring dengan gelombang globalisasi. Akibatnya, para santri dengan perlahan-lahan melupakan serta mengesampingkan pemikiran khazanah keislaman. Pendek kata “ibarat kacang yang lupa akan kulitnya”.

Ironisnya, pengaruh hegemoni Barat terhadap santri bukan hanya melupakan khazanah keislaman, tapi juga sopan santun pada kiai dan ustadz. Bahkan kata KH. Syarfuddin, ketika berargumen dengan menggunakan sudut pandang Barat, para santri tidak menyadari bahwa perkataan-perkataannya dapat mengeluarkannya dari Islam. Benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Abdullah bin Husain bin Thohir, dalam kitabnya Sullam al-Taufiq:

وقد كثر في هذا الزمان التساهل في الكلام حتى انه يخرج من بعضهم ألفاظ تخرجهم عن الاسلام ولا يرون ذلك ذنبا فضلا عن كونه كفرا

“Pada zaman ini benar-benar telah banyak peremehan terhadap suatu perkataan, sehingga keluar dari sebagian orang kata-kata yang dapat mengeluarkan mereka dari Islam, dan mereka tidak menyangka bahwa itu dosa apalagi kekufuran.”

Rasulullah SAW bersabda:

إن العبد ليتكلم بالكلمة لا يرى بها بأسا يهوي بهافي النار سبعين خريفا

Artinya: “Sungguh ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang dia tidak menyangka bahwa ada bahaya dalam perkataan itu, (meskipun demikian) dia tetap jatuh ke neraka yang jaraknya sampai ke dasar perjalanan 70 tahun”. (HR at-Tirmidzi)

Tak hanya itu, Syaikh Abdullah bin Husain bin Thohir juga berkata:

والقسم الثالث الاقوال وهي كثيرة جدا لا تنحصر منها ان يقول لمسلم ياكافر او يا يهودي او يانصراني او ياعديم الدين مريدا ان الذي عليه المخطب من الدين كفر او يهودية او نصرانية او ليس بدين وكالسرية باسم من السمائه تعلى اووعده اووعيده ممن لا يخفى عليه نسبة ذلك اليه سبحانه وتعلى وكان يقول لو امراني الله بكذا لم افعله اولوصارت القبلة في جهة كذا ما صليت او لو اعطاني الله الجنة مادخلتها مستخفا

Ketiga adalah Murtad Qauliyah (perkataan). Murtad karena ucapan sangat banyak, sehingga tidak terhitung jumlahnya, di antaranya: Memanggil seorang muslim dengan kata-kata, “Hai orang kafir”, “Hai orang Yahudi”, “Hai orang Nasrani”, “Hai orang tak beragama” dengan tujuan tersebut menghina salah satu nama dari nama-nama Allah SWT. Menghina janji dan ancaman Allah atau Apa yang dihubungkan kepada-Nya. Berkata: “Andaikan Allah memerintahkan-ku, maka aku tidak akan mengerjakan-Nya. Berkata: “Jika arah kiblat dipindah ke arah yg lain, maka Aku tidak mau shalat. Berkata: “Seandainya aku diberi surga oleh Allah, maka saya tak mau memasukinya. Semua diucapkan dengan tujuan merendahkan (مستخفا).

Oleh karena itu, menjawab tantangan tersebut, KH. Syarfuddin menggagas proyek ta’dib-isme ilmu pengetahuan. Proyek besar tersebut, tentu memerlukan perangkat yang kuat. Pendidikan Islam, pesantren khususnya sebagai basis utama mega proyeknya harus mampu mencetak manusia santri beradab. Adalah manusia santri yang berpandangan hidup Islam, dan menguasai ilmu-ilmu Islam secara integratif. Gagasan melahirkan manusia yang beradab tersebut diwujudkan dengan pendidikan konsep tadib sebagai formula pendidikan Islam yang ideal dan integratif.

Dari uraian diatas, bisa dikatakan bahwa makna ta’dib secara sederhana adalah tidak berbuat dzalim. Artinya, orang beradab adalah orang yang menggunakan epistemologi ilmu dengan benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil, dan mampu mengidentifikasi dan memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) yang salah.

Kiranya tak keliru, jika istilah yang paling tepat untuk pendidikan Islam menurut KH. Syarfuddin adalah ta’dib, bukan tarbiyah atau ta’lim. Mengapa demikian? Karena tarbiyah tidak menunjukkan kesesuaian makna, melainkan hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional manusia. Sementara ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif. Akan tetapi, ta’dib sudah menyangkut ta’lim di dalamnya. Singkatnya, konsep ta’dib mengandung makna yang lebih komprehensif dan integratif daripada ta’lim dan tarbiyah.

Tentunya, manusia yang beradab, akan melihat segala persoalan di alam ini dengan kacamata worldview Islam. Worldview Islam akan menjadi pisau analisa pada setiap persoalan keduniaan. Lebih dari itu, insan adabi juga harus berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan secara positif. Adalah, seorang manusia yang selalu menggunakan epistemologi Islam dalam dialognya dengan realita alam. Individu-individu yang beradab seperti ini adalah berperan penting secara sosial dalam pembentuk sebuah masyarakat beradab.

Akhirnya dari sini kita tahu bahwa, konsep ta’dib adalah konsep pendidikan yang bertujuan menghasilkan individu beradab, yang mampu melihat segala persoalan dengan teropong worldview Islam. Sisi lainnya juga dapat mengintegrasikan semua ilmu-ilmu dangan ilmu syariah. Sehingga apapun profesi dan keahliannya, syariah dan worldview Islam tetap merasuk dalam dirinya sebagai parameter utama. Wallahu a’lam bisshawaab.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.