Seseorang minta diceritakan tentang Sayyid Ahmad al-Badawi rahimahullah yang maulid beliau sedang dirayakan sekarang (bulan Oktober).[1]
Maulana Syekh Yusri Rusydi as-Sayyid Jabr al-Hasani hafizhahullah pun bercerita: Sayyid Ahmad al-Badawi merupakan salah seorang wali besar. Beliau dilahirkan di Maroko.
Sayyid al-Badawi dan kakak-adiknya adalah sepuluh bersaudara. Mereka semua saleh dan menjadi wali besar, keturunan Sayyiduna al-Husain radhiyallahu ‘anhu. Gelar As-Sayyid di Mesir seperti al-Habib di masyarakat Yaman.
Saudara tertua beliau bernama Sayyid al-Hasan al-Akbar. Ketika Istana Abdeen di Kairo dibangun, maqam beliau masuk dalam komplek istana sehingga tidak diziarahi lagi. Nama beliau dibuat sebagai nama jalan.
Dari Maroko, mereka diberi isyarat untuk pindah ke Makkah, kemudian ke Irak, lalu ke Thanthada (Mesir), sebuah kampung kecil terdiri dari beberapa hektar sawah.
Mereka bergerak atas dasar isyarat dari Allah swt. karena banyak ibadah dan bepergian.
Baca juga: Kisah Sayyidah Aisyah Batal Memerdekakan Budaknya
Sayyid Ahmad al-Badawi tinggal di Thantha, membuat maqraah (tempat belajar mengaji al-Quran). Beliau mengajarkan al-Quran kepada masyarakat di sana. Beliau seorang ulama qiraat dengan 10 qiraat. Karena itu, Ma’had Qiraat dibangun di Thantha.
Postur perawakan Sayyid al-Badawi besar, sangat tampan dan tidak menikah. Banyak perempuan berusaha mendapatkan hati beliau. Bayangkan saja seorang yang tampan, belum menikah dan berakhlak mulia, tentu banyak yang menyukai.
Karena ketampanan itu, beliau menutup muka sehingga digelari al-Mulatstsam (orang yang menutup muka).
Berbeda dengan masyarakat di sana yang mengenakan pakaian petani, Sayyid Ahmad mengenakan pakaian orang-orang badawi (Arab sahara) pada umumnya sehingga beliau digelari al-Badawi.
Setelah mengajar banyak murid, beliau mengalami kondisi spiritual bernama qabdh (rasa ingin menjauhi semua kecuali Allah). Akhirnya beliau tinggal di atas bangunan rumah hingga digelari as-Suthuhi (orang yang berada di atas bangunan).
Sayyid Ahmad al-Badawi punya tasbih berjumlah 1000 biji (panjangnya sekitar 10 meter). Jika ada yang ingin menyapa, beliau mengulurkan tasbih itu sebagai ganti jabat tangan karena beliau tidak ingin berjumpa siapapun.
Hal itu terjadi selama berbulan-bulan. Lalu beliau tidak shalat Jumat?
Syekh Yusri menjawab, “Iya, itu keadaan qabdh, seperti orang sakit yang tidak diwajibkan shalat.”
Kondisi demikian terjadi setelah beliau membangun madrasah besar dan mendidik banyak murid. Kadang karena banyaknya dzikir, wajah beliau bercahaya sampai harus menutup mata demi masyarakat.
Baca juga: Kisah Baqi bin Makhlad Belajar Hadits pada Ahmad bin Hanbal
Dalam masa itu, terjadi peperangan di Mansourah saat Perancis datang menyerang Mesir untuk menjajah.
Peperangan itu dihadiri oleh Sayyid al-Badawi, Sayyiduna al-Hasan asy-Syadzuli, Sayyiduna Ibnu ad-Daqiq al-Eid dan Sayyiduna al-Izz bin Abdissalam. Jadi para wali itu ikut serta berjihad di jalan Allah.
Para petani datang karena anak-anak mereka ditawan musuh. Sayyid al-Badawi pun berdoa. Dan tawanan itu tiba-tiba ada, lengkap dengan rantai-rantai yang mengikatnya. Makanya para petani bersenandung, “Allah Allah untuk al-Badawi yang mendatangkan para tawanan”.
Sementara tentara Perancis kebingungan di pagi hari mendapati penjara yang kosong tiba-tiba. Hal itu membuat mereka takut. “Apakah kita sedang melawan bangsa jin?!”
Karamat para wali Allah membuat gentar musuh.Sampai sekarang, rantai-rantai itu ada dalam ruang penyimpanan benda bersejarah Sayyid Ahmad al-Badawi.
Daerah itu pun makin besar. Kemudian bernama Thantha, sebuah kota besar, ibu kota provinsi Gharbiah. Harga apartemen di sana lebih mahal dari harga apartemen di kawasan Bundaran Tahrir (pusat kota Kairo).
Kemudian Syekh Yusri bercerita, “Nama kakekku as-Sayyid, diambil dari nama as-Sayyid al-Badawi.”
Ayah beliau, Jabr sangat mencintai Sayyid al-Badawi. Nama anak sulungnya diberi nama as-Sayyid. Jabr mempunyai 4 istri, dan as-Sayyid adalah anak laki-laki pertama dari istri pertama beliau.
Ayah beliau seorang yang punya banyak tanah, beliau juga kepala daerah. Tiap tahun beliau mengirim unta atau sapi untuk disembelih di perayaan Maulid Sayyid al-Badawi.
“Secara gen, aku mencintai Sayyid al-Badawi,” ujar Syekh Yusri.
Beliau lanjut cerita: Ayahku juga setiap pergi ke Alexandria, tidak mau melewati jalur sahara. Beliau memilih melewati jalur pertanian agar dapat berziarah pulang dan pergi ke makam Sayyid al-Badawi.
Sayyid Ahmad al-Badawi adalah salah satu wali yang mendidik murid-murid beliau sampai sekarang meskipun beliau berada di alam barzakh. Keistimewaan ini tidak dianugerahkan pada semua wali, sangat jarang. Semoga Allah memberi kita manfaat dari keberkahan beliau. Al-Fatihah untuk roh beliau.
[1] Maulid Sayyid Ahmad al-Badawi dirayakan dua kali setahun. Pertama pada bulan April, disebut dengan Maulid Rajabi. Dan kedua pada tanggal 11 Oktober dan berlangsung selama satu minggu dengan malam puncak 17 Oktober. Tercatat sebagai perayaan maulid terbesar di Mesir.