Habib
Ahmad bin Zein al-Habsyi (1069-1144 H) merupakan salah satu ulama keturunan
Rasulullah dari Yaman. Beliau murid langsung Habib Abdullah bin Alawi
al-Haddad. Risalah Jamiah adalah salah satu kitab karangannya yang banyak
dibaca pelajar dan santri.
Silsilah asab
Habib Ahmad al-Habsyi bersambung kepada Rasulullah saw. Nama lengkap beliau
adalah Ahmad bin Zein bin Alawi bin Ahmad bin Muhammad bin Alawi bin Abu Bakar
al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Asadullah bin Hasan at-Turabi bin Ali
bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali
Khali’ Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad
al-Muhajir bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far
ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin
Abi Thalib, suami Fathimah putri Nabi Muhammad saw. Jadi beliau adalah cucu
ke-28 Nabi.
Sayyid Zein al-Habsyi dirundung
kesedihan tatkala tertimpa musibah kehilangan putra yang dicintai. Anak laki-lakinya yang
bernama Salim—sebuah nama yang menyimpan
harapan keselamatan—meninggal dan
harus beliau relakan menghadap Dzat Pemilik arwah.
Sayyid Zein orang yang saleh lagi zuhud. Beliau diuji oleh Allah dengan kematian setiap anak
laki-laki yang lahir dari rahim istrinya.
Melihat wajah Sayyid Zein yang sedang
murung dan sedih, Syekh Abdul Qodir bin Muhammad asy-Syarahil menenangkannya. Temannya seorang waliyullah sekaligus ahlu kasyaf (mengetahui sesuatu
sebelum terjadi) itu memberikan
sebuah kabar gembira kepadanya.
Beliau berkata,
لا تحزن ولا تجزع والحمل الذي في بطن الشريفة ذكر يكون له
قدر وشأن عظيم وسيرث مقام جده الشيخ أحمد الحبشي
“Janganlah
bersedih, serta jangan berkecil hati! Sungguh anak yang ada di kandungan
istrimu ini akan menjadi sesosok orang yang memiliki peran yang besar serta
tingkatan yang mulia kelak. Ia akan mewarisi keilmuan dan kewalian kakeknya;
Habib Ahmad al-Habsyi.”
Allah swt. menakdirkan anak laki-laki
terakhirnya, Ahmad untuk
hidup dan menjadi tokoh berpengaruh
di kalangan umat Islam,
baik di kawasan Hadramaut sendiri maupun seantero jagat lainnya. Anak bungsu itulah yang kelak dikenal dengan nama Habib
Ahmad bin Zein al-Habsyi.
Pada tahun 1069 H, di Al-Ghurfah desa
terpencil yang terletak di
wilayah Hauthoh-Hadramaut, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi dilahirkan. Beliau salah satu ulama yang mengumpulkan
keilmuan lahir
(fikih) maupun batin
(tasawuf). Sang ulama ahli fikih
yang berhias dengan suluk dan akhlak mulia, didikan madrasah lembah Hadramaut.
Beliau pengarang kitab Risalatul
al-Jamiah sebuah kitab ringkas yang mengumpulkan 3 disiplin keilmuan Islam:
akidah, fikih dan tasawuf. Kitab ini tersebar luas hingga manfaatnya
dirasakan oleh santri-santri pesantren di Indonesia.
Sedari kecil, mulai terlihat perbedaan
signifikan yang dirasakan oleh sang ayah. Habib Ahmad tumbuh
dengan budi pekerti yang luhur. Sang ayah sangat menyanjung dan memuliakannya.
Hingga di usia yang masih dikatakan belia, ayahnya membawa dia ke kota Tarim, yang menjadi pusat keilmuan
dan tempat berkumpulnya
para ulama ahli salik di kawasan Hadramaut.
Ia pun diajak oleh ayahnya untuk
berkunjung dan menziarahi para ulama di Tarim.
Sang ayah pun
membawanya menghadap Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, pengarang Ratibul Haddad sekaligus guru
para ulama Hadramaut.
Sebuah pertemuan yang menjadi gerbang
bagi Habib Ahmad untuk menciduk lautan ilmu dari sang guru, Habib Abdullah
al-Haddad. Ulama
yang dikenal sangat warak itu mengusap
kepala anak itu di hadapan ayahnya,
dan mendoakan
keberkahan untuknya.
Semasa mencari ilmu, Habib Ahmad dikenal sebagai
seorang murid yang tak mengenal lelah. Hingga dikisahkan beliau rela menempuh
jarak yang jauh, hanya demi hadir di salah satu majelis ilmu di kota Tarim.
Dalam kesaksiannya, Habib Ahmad
bercerita,
كنت أسير إلى تريم أمشي، وليس معي الا خادم ونحمل معنا تمراً
لا غير ونأكل من ذلك التمر مدة إقامتي بتريم عشاء وغداء
“Suatu
ketika aku pernah jalan kaki dari (Hauthoh) ke Tarim. Hanya berbekal satu buah
kurma, aku dan pelayanku pun berangkat. Satu buah kurma yang aku bagi dengan
pelayanku sebagai bekalku makan siang dan malam selama di Tarim.”
Ratusan ulama telah ia timba
keilmuannya. Namun ia tak bisa menolak fakta bahwa hatinya telah terikat pada
salah satu ulama yang telah mendoakannya semasa kecil: Habib Abdullah bin Alawi
al-Haddad. Ia pun memutuskan untuk
mengaitkan hatinya kepada beliau, serta berkhidmah dan menjadi muridnya.
Habib Ahmad dikenal
sebagai murid kesayangan Habib Abdullah al-Haddad. Keyakinan, prasangka baik dan
kemantapan hatinya kepada seorang guru, menjadikan perhatian gurunya tertuju
kepadanya.
Kemantapan
hati Habib Ahmad al-Habsyi
kepada gurunya terlihat dalam
perkataanya:
“Ketika guruku Habib Abdullah
berjalan di jalan setapak, aku berjalan mengikuti tepat di belakangnya. Hal itu aku
lakukan dengan tujuan meluruskan posisi tubuhku dengan posisi hati dari guruku.
Karena hati guruku telah dipenuhi cahaya inayah Allah, maka aku berharap agar cahaya
tersebut memantul ke dalam hatiku yang kotor ini. Hati bak wadah kosong
yang kuletakkan di bawah wadah yang penuh air, dengan harapan tetesan air inayah mengalir ke wadahku.
Begitulah maksud dan tujuanku melakukan hal itu.”
Beliau dikenal pula sebagai seorang
alim yang menguasai banyak keilmuan.
Hal itu dibuktikan dengan kesaksiannya, “Suatu malam aku bermimpi
guruku Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad berkata kepadaku, ‘Aku berharap engkau
mampu melebihi Imam Syafi’i dalam bidang keilmuan fikih.’”
Kemudian ketika menyelesaikan karangan
kitab Risalah Jamiah,
Habib Ahmad ditanya perihal berapa banyak ilmu yang beliau tuang di dalamnya. Beliau menjawab, “Sungguh (ilmu yang
tersimpan dalam dada) masih lebih banyak dan tersisa banyak (dibanding apa yang
telah tertulis).”
Selain dikenal sebagai ulama, al-Allamah Habib Ahmad pula
dikenal sebagai orang yang dermawan, gemar bersedekah. Tak tanggung-tanggung
beliau sering memberikan donasi kepada masjid-masjid tua yang tak aktif—hingga beliau makmurkan
kembali. Atas hal tersebut gurunya pun menjulukinya Abul Masajid.
“Kamu adalah ayahnya masjid-masjid
(karena saking banyaknya masjid yang beliau bangun atau makmurkan kembali lewat
donasinya),” sanjung gurunya.
Al-Allamah Habib Ahmad bin
Zein al-Habsyi wafat pada tahun 1144 H, dalam usia
74 tahun. Beliau dimakamkan di daerah
Hauthoh. Makamnya pun ramai diziarahi, serta menjadi tujuan murid untuk belajar di ribat
dan pesantren peninggalan beliau.
Ratusan tahun berlalu setelah wafat,
namun manfaat dan keberkahan Habib
Ahmad al-Habsyi masih dapat kita rasakan melalui karangan, dan
nasihat-nasihat yang tertulis di dalam manaqibnya. Salah satu buktinya adalah
kitab karangannya Risalah Jamiah. Tumpuan santri pemula sebelum
mendalami lautan ilmu Fikih. Wallahu a’lam bis shawab.
Sumber: Qurrat Al-A’yn wa Jila’
Ar-Rayn fi Manaqibi Al-Ahmad bin Zein karya murid beliau Habib Muhammad bin
Zein bin Sumaith.