Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Mengenal Al-Farabi Sebagai Ilmuwan Politik dan Ketatanegaraan

Avatar photo
34
×

Mengenal Al-Farabi Sebagai Ilmuwan Politik dan Ketatanegaraan

Share this article

Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan
bin Uzalagh Al-Farabi, di dunia Barat dikenal dengan nama
Alpharabius.
Seorang ulama besar kelahiran Wasij, wilayah Farab (sekarang masuk daerah
Kazakhstan). 

Al-Farabi lahir pada tahun 257 H
(870 M), ayahnya berkebangsaan Persia, ibunya berkebangsaan Turki. Karena
memiliki keturunan dari dua jalur bangsa yang berbeda ini, terdapat dua teori
tentang garis keturunan Al-Farabi.

Teori pertama menyatakan bahwa Al-Farabi merupakan
keturunan bangsa Persia murni, sebagian teori kedua menyatakan bahwa Al-Farabi
adalah keturunan orang Turki. 

Namun, terlepas dari kontroversi jalur keturunan
Al-Farabi, para peneliti sejarah meyakini bahwa hampir seluruh masa hidup
Al-Farabi dihabiskan di kota Baghdad.

Al-Farabi dikenal luas sebagai seorang filsuf
besar muslim yang masih disegani di dunia hingga saat ini.
Dia juga
memiliki berbagai karya di berbagai
disiplin keilmuan seperti bidang psikologi, fisika, matematika,
kimia, seni musik, matematika, serta ilmu politik dan ketatanegaraan.

Dari sekian banyak karya-karya Al-Farabi yang masih bisa
diakses hingga saat ini, setidaknya ada tiga karya yang merekam tentang
pandangan serta teori-teorinya dalam bidang politik dan ketatanegaraan, yaitu: Kitab
As-Siyasat Al-Madaniyyah
(Buku tentang Kebijakan-Kebijakan Sipil), Ara’
Ahli Al-Madinah Al-Fadhilah
(Pandangan-Pandangan Penduduk Kota/Negara
Utama), dan juga Tahsil As-Sa’adah (Mencapai Kebahagiaan).

Al-Farabi, dalam masa hidupnya, cukup dipengaruhi oleh
tradisi neo-aristotelian, begitu juga pendapat
nya tentang
asal terbentuknya negara.
Dia juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang tidak
bisa mencukupi kebutuhannya sendiri, dan karena itu manusia secara alami
cenderung akan membentuk masyarakat. 

Pengaruh pemikiran Plato juga terlihat dalam pembagian
kinerja masyarakat dalam pandangan Al-Farabi.
Dia berpendapat
bahwa negara ibarat sebuah tubuh manusia. Ada organ-organ tubuh yang sangat
vital seperti otak dalam kepala dan jantung, yang mana saat keduanya kehilangan
fungsi, maka tubuh akan mati, namun juga ada anggota-anggota badan yang
sifatnya menyokong fungsi anggota badan yang lain agar fungsinya maksimal. 

Begitu pula dalam struktur negara, terdapat golongan
masyarakat yang memiliki potensi kerja untuk menjadi komponen-komponen utama
dalam sebuah masyarakat, seperti menjadi soeorang pemimpin (golongan ini
menempati kelas tertinggi dalma masyarakat), lalu terdapat berbagai potensi
kerja masyarakat yang bersifat mendukung para pemimpin yang menempati peringkat
nomor dua, dan seterusnya hingga pada level yang paling bawah. Konsep pembagian
masyarakat seperti ini cukup identik dengan konsep potensi kerja milik Plato dalam
karyanya
, Republik

Dalam konsep kepemimpinan, Al-Farabi berpendapat bahwa
orang yang paling layak memimpin sebuah negara yang ideal (negara utama) adalah
orang yang paling utama dari golongan potensi kerja yang paling tinggi, lalu
dibantu oleh sekelompok orang yang sama-sama dari golongan tertinggi tersebut.
Dan jika ditemui lebih dari satu orang dalam golongan peringkat tertinggi yang
layak menjadi seorang pemimpin, maka dipilih salah satu, dan yang lain menunggu
giliran setelahnya. 

Menurut Al-Farabi, kepala negara harus ada terlebih
dahulu sebelum rakyat, dengan dalih bahwa jantung -dalam tubuh manusia- adalah
sebab adanya kekuatan untuk dapat melakukan perbuatan, begitu pula dalam
negara, kepala negara harus ada dahulu baru kemudian mengatur warga negaranya. 

Kepala negara, menurut Al-Farabi juga berhak untuk
menentukan wewenang, hak dan kewajiban, serta strata potensi kerja dari setiap
warga negara, sehingga jika ada warga negara yang menghamba
t
roda sistem pemerintahan (diibaratkan seperti sebuah benalu), maka kepala
negara
berhak menyingkirkannya.

Al-Farabi mengkategorikan sebuah negara berdasar pada
“tingkat kebahagiaan” serta usaha untuk mewujudkan tingkat kebahagiaan
tersebut. 

Negara yang paling utama menurutnya adalah
negara yang seluruh potensi kerjanya berjalan dengan baik dan sesuai porsinya
masing-masing. Ibarat sebuah tubuh, Negara Utama adalah tubuh yang benar-benar
sehat seluruh anggota badannya, dan memiliki tujuan untuk meraih kebahagiaan. 

Satu tingkat di bawah Negara Utama
adalah Negara  Bodoh, yaitu negara yang warga
negaranya tidak tahu sama sekali tentang kebahagiaan, bahkan terbayang tentang
kebahagiaan saja tidak, sehingga jika diarahkan menuju kebahagiaan, mereka akan
menolak. 

Lalu satu tingkat di bawahnya lagi adalah Negara Rusak,
yaitu negara yang memiliki tujuan kebahagiaan, namun tidak mampu menggerakkan
seluruh potensi kerja warganya untuk menuju tujuannya, karena warga negaranya
berperilaku seperti pada negara bodoh. 

Kemudian terdapat Negara Merosot, yaitu negara yang awalnya sudah merupakan negara
utama, tetapi merosot ke peringkat di bawahnya. Lalu terdapat Negara Sesat,
yaitu negara yang tidak mampu menggerakkan potensi kerja, namun pemimpin negara
tersebut seolah-olah membawa menuju kebahagiaan. 

Selanjutnya terdapat istilah “rumput-rumput
jahat” pada level yang paling rendah, yaitu sekelompok orang yang hanya menjadi
“pengganggu” terhadap kemajuan dan tujuan negara-negara di sekitarnya.

Konsep-konsep yang ditawarkan oleh Al-Farabi terlihat
seperti sebuah anti-tesis terhadap keadaan pada masa tersebut. Bahkan, bisa
dikatakan dia tidak sedang merekam pemikiran-pemikiran politik dan
ketatanegaraan yang berjalan pada masa tersebut, namun Al-Farabi sedang
menawarkan konsep filsafat ilmu politik dan ketatanegaraan yang benar-benar
baru pada masa tersebut. 

Hal ini amat mungkin terjadi karena ia hidup
di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyyah sedang diguncang oleh berbagai pihak. Pada
masa hidup
nya (870 M – 950 M), kurang lebih terdapat 8 pergantian
kepala negara. 

Pada masa tersebut stabilitas politik juga terguncang
karena adanya berbagai pemberontakan. Pada masa-masa tersebut, cukup banyak
para keturunan wilayah-wilayah taklukan Abbasiyyah mencoba mengambil alih
kembali kekuasaan di masing-masing wilayah, seperti orang-orang Persia dan
orang-orang Turki. 

Orang-orang yang mencoba merebut kembali kekuasaan di
wilayah nenek moyangnya, pada masa tersebut biasanya bekerjasama dengan
golongan
Syiah
yang masih meyakini bahwa kepemimpinan politik umat Islam pada masa tersebut
haruslah melalui jalur Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Al-Farabi, meski memiliki gagasan besar tentang negara
ideal, termasuk bukan ilmuwan bidang politik yang
menjadi
“pegawai” pemerintah, tidak pula sebagai orang dekat pemerintahan pada
masanya. 

Gagasan-gagasan tentang negara
ideal Al-Farabi
sangat dipengaruhi oleh pertemuan pemikirannya dengan
tradisi pemikiran Plato–Aristoteles, dan juga nihilnya stabilitas politik.
Tidak masuknya
dia dalam struktur pemerintahan pada masa tersebut dianggap memiliki
keuntungan
baginya. Karena dengan itu, ia
bebas menyatakan gagasannya tentang negara yang ideal beserta
perangkat-perangkat masyarakatnya. 

Dan hal ini jugalah yang menjadikan pembahasan dalam
berbagai karya Al-Farabi lebih bersifat filosofis tentang teori-teori politik
dan ketatanegaraan, daripada bersifat praktis tentang tata kelola pemerintahan
secara langsung. 

Al-Farabi meninggal pada tahun 328 H (950 M), pada masa
pemerintahan Al-Muthi’, penguasa ke-23
Dinasti
Abbasiyyah
.

Kontributor

  • Landy T. Abdurrahman

    Asal Purworejo, Jawa Tengah. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir. Sekarang sedang menyelesaikan program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta