Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Al-Faqih Al-Muqaddam, Penggagas Tarekat Alawiyah dan Jejak Apolitiknya

Avatar photo
49
×

Al-Faqih Al-Muqaddam, Penggagas Tarekat Alawiyah dan Jejak Apolitiknya

Share this article

Posisi Al-Faqih Al-Muqaddam, bagi Alawiyyin (para habib), selayaknya Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam komunitas pesantren tradisional. Ketika ditanya tentang keduanya, al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad menjawab dalam Ithaf As-Sa’il, “Lami lebih mengutamakan Sayyid Al-Faqih. Sebab dia kakek kami!”

Saat ke Tarim Yaman atau menghadiri acara-acara resmi Alawiyyin, nama Al-Faqih Al-Muqaddam termasuk nama wajib dalam urutan fatihah yang dikirim ke semua ulama dan para wali. Sebaliknya justru nama Seikh Abdul Qadir Al-Jilani akan jarang terdengar; ini mengindikasikan bahwa masing-masing komunitas memiliki ulama atau wali yang dianggap favorit.

Siapa Al-Faqih Al-Muqaddam dan bagaimana perannya dalam politik? Ini yang bakal kita bincang. Dengan menelusuri jejak beliau, kita bisa mengetahui arus utama Alawiyyin, baik yang di Yaman maupun Indonesia, dalam kancah politik.

Al-Faqih dilahirkan di Tarim pada 574 H dengan nama Muhammad bin Ali Ba’alawi. Mulanya beliau mendalami fikih pada Syeikh Ali bin Ahmad Ba Marwan hingga diproyeksikan oleh gurunya agar menjadi imam Ibn Faurak (seorang ulama mazhab Syafi’i sekaligus pakar kalam mazhab Asy’ari) di zamannya. Ini menjadi bukti keahlian Al-Faqih dalam ilmu fikih.

Berbelok ke Arah Tasawuf

Kehidupannya mulai berbelok arah setelah berjumpa dengan Syeikh Abdurrahman Al-Muqa’ad,   yang mendapat amanah dari Abu Madyan Al-Maghribi untuk menyampaikan khirqah (pakain simbol kesufian) pada Al-Faqih. Al-Muqa’ad sebenarnya orang ketiga dalam mata rantai wasiat ini. Sebab dia mendapat wasiat dari murid Abu Madyan yang wafat di Mekah, Seikh Abdullah As-Shalih Al-Maghribi, yang diutus langsung oleh Abu Madyan.

“Kamu akan menuju ke kota Tarim Yaman, di sana ada as-syarif Muhammad bin Ali (Al-Faqih Al-Muqaddam) yang berguru pada Ba Marwan, jadikan dia penggantiku, pakaikan padanya khirqah ini.” demikian wasiat Abu Madyan. Khirqah adalah simbol keabsahan seorang salik menggantikan mursyidnya. Khirqah yang diberikan pada Al-Faqih Al-Muqaddam adalah sebuah tongkat dan tasbih.

Baca juga: Garis Keturunan Ulama Penyebar Islam di Nusantara

Gairah kesufiannya mulai terusik kembali, karena sebenarnya Alawiyyin semenjak kedatangannya ke Wadi Hadramaut memang memiliki kecenderungan pada tasawuf. Ahmad Al-Muhajir Ilallah (buyut Al-Faqih) sebagai orang pertama yang hijrah ke sana didasari alasan menjauh dari kegaduhan sosial politik di kota asalnya, Bashrah Irak.

Tarekat Alawiyah

Sementara Abu Madyan sendiri adalah seorang mursyid di Maghrib. Tarekatnya, Syua’ibiyah, menjadi salah satu tarekat yang paling banyak diikuti di sana. Dia mendapat futuh (terbukanya hati) di tangan Abu Al-Hasan bin Hirzihim, berguru pada Abu Bakar Ad-Daqqaq dan Abu Ya’za. Kemudian menuntun para murid yang jumlahnya ribuan; masing-masing menjadi wali berkat didikan Abu Madyan.     

Namun, seperti diakui oleh Habib Abu Bakar Al-Adni Al-Masyhur, suluk dan tarekat Alawiyyin tak dipengaruhi sedikitpun oleh ajaran Syua’ibiyah. Sebab memang tak ada interaksi sama sekali kecuali sebatas khirqah. Kedua, karena memang ajaran Alawiyah sudah mapan semenjak Imam Al-Muhajir. Terbukti puteranya, Ubaidillah, menjadi orang pertama yang sangat sufi karena pernah berguru langsung pada Abu Thalib Al-Makki saat di Mekah. Hanya memang praktik suluk Alawiyah bersifat warisan dari ayah ke anak, belum membentuk formasi matang kecuali di masa Al-Faqih Al-Muqaddam.

Jika ditanya: apa signifikansi Abu Madyan mengirim khirqah? Toh nyatanya Al-Faqih sudah mapan secara suluk karena mewarisinya dari kakek moyangnya. Jawabannya:soeorang sufi hanya mengikuti ilham yang diterimanya dari Allah. Abu Madyan pun demikian. Peristiwa ini sekaligus berfungsi mengobati kegelisahan Al-Faqih untuk memilih secara total jalan kesufian, bukan jalan fikih seperti diinginkan gurunya, Ba Marwan.

Dengan adanya khirqah, tarekat Alawiyah mendapatkan otoritas legalnya setelah sebelumnya hanya berlangsung secara sporadis dan praktik suluknya berlangsung secara turun temurun. Jadi dari aspek sanad dan silsilah, Alawiyah punya dua jalur: jalur Abu Madyan dan jalur kakek moyang Al-Faqih Al-Muqaddam. Menurut Jatman NU, tarekat Alawiyah masuk tarekat yang mu’tabarah (legal).   

Ajaran tarekat ini memiliki lima rukun, seperti disistemisasi oleh Imam Al-Haddad: ilmu, amal (praktik), ikhlas, wara dan khauf (takut pada Allah). Kelimanya dijelaskan sangat detail di Al-Manhaj As-Sawi karya Habib Zain bin Smith, seorang ulama yang masih hidup di Madinah.

Baca juga: Hadramaut Yaman, Bumi Sejuta Wali

Pilihan Politik Al-Faqih Al-Muqaddam

Al-Faqih Al-Muqaddam menjadi semacam patron kaum Alawiyyin maupun para muhibbinnya. Semua perilaku Al-Faqih menjadi acuan tarekat Alawiyah sehingga yang tidak merepresentasikan Al-Faqih maka dianggap sudah off the track.

Selain sudah mendapat gelar al-uztadz al-a’dzam (seorang guru agung) karena dia telah melengkapi diri dengan semua keilmuan yang disepakati ulama di masanya; Al-Faqih di siang hari sibuk mengajar dalam keadaan puasa, malamnya dia bangun hingga sahur, selalu menghatamkan Al-Qur’an. Jadi kehidupannya antara imu dan praktik (amal), antara tawakal dan mencari penghidupan layaknya orang-orang.

Tarekat Alawiyah merupakan tarekat yang moderat tanpa mengenal istilah kerahiban. Seorang penganut Alawiyah bekerja tanpa meninggalkan ibadah. Al-Faqih sendiri termasuk seorang yang kaya raya, memiliki perkebunan kurma yang sangat luas.

Namun kekayaannya dihabiskan untuk sedekah: dalam setahun, dia menyiapkan 120.000 kantong kurma. Dengan menghabiskan 28 kantong kurma dalam seharinya. Wakafnya untuk masjid Ba’alawi 90 dinar emas dalam setahun. Istrinya, Zainab binti Ahmad, dijuluki Umm Al-Fuqara (ibu para fakir miskin) karena kedekatannya pada fakir miskin.

Kedermawanan ini sudah menjadi identitas yang melekat pada Alawiyyin dan Ahlul bait semenjak masa Rasulullah Saw. hingga saat ini. Kisah-kisah kedermawanan mereka sulit ditandingi. Ahmad Al-Muhajir, orang pertama yang hijrah ke Hadramaut, membawa serta kekayaannya. Sesampai di Hadramaut dia membeli properti kemudian diserahkan pada para budaknya.

Mematahkan Pedang

Dalam kaca mata politik, kehidupan Al-Faqih menjadi sorotan. Seseorang yang mendapat simpati dari masyarakat karena kealiman, kedermawanan dan kesempurnaannya sebagai mursyid yang membimbing para santri dan pengikutnya akan dicurigai oleh penguasa. Kesanggupan memobilisasi massa meski untuk tujuan positif selalu dianggap saingan oleh penguasa yang tidak becus.

Belum lagi pengalaman pahit keluarga dalam interaksi dengan pemerintah: kakeknya, Muhammad Shahib Al-Mirbath, terpaksa harus hijrah ke Mirbath karena alasan politik. Pamannya, Alawi (Ammul Faqih) kakek buyut para Sunan Wali Songo, terbunuh syahid karena diracun penguasa.

Baca juga: Kedekatan Emosional antara Al-Azhar dan Warga Afro-Amerika

Keadaan semacam ini membuat Al-Faqih waspada sehingga dalam kisahnya Al-Faqih selalu membawa pedang bahkan tatkala hadir dalam majlis ilmu Ba Marwan. Pedang itu diletakkan di bawah pahanya tatkala berada dalam majlis.

Ketegangan politik semacam ini yang membuat Al-Faqih mengambil keputusan yang kelak akan dikenang abadi oleh semua keturunan dan para pecintanya. Ketika majlisnya dikepung oleh tentara pemerintah, dia berdiri seraya mematahkan pedangnya, “Kami hanya akan menyibukkan diri dengan ilmu. Tak ada urusan dengan politik”.

Prinsip apolitik semacam ini yang mewarnai kehidupan kaum Alawiyyin (para habib) dari masa ke masa. Suatu keputusan politik yang kelak menentukan perkembangan keilmuan dan tersebarnya ajaran Alawiyyin dari Tarim hingga ke anak benua India bahkan Nusantara. Seandainya Al-Faqih bersikap konfrontatif maka nasib ajarannya tak bisa tersebar luas seperti saat ini.

Sayid Ali bin Husein Al-Atas dalam Taj Al-A’ras menjelaskan motif di balik pematahan pedang:

1. Al-Faqih ingin mengajak anak keturunannya agar lebih fokus pada senjata batin, berupa hujjah dan dalil serta menyebarkan ilmu.

2. Dia melihat anak cucunya akan beranak pinak di Hadramaut sehingga dia perlu mengajarkan hidup berdampingan dalam bingkai toleransi dan rasa aman.

3. Karena mengamalkan hadis-hadis yang menganjurkan menghindari fitnah akhir zaman bahwa “di akhir zaman akan muncul banyak fitnah. Yang duduk (berdiam diri di rumah) lebih baik dari yang berjalan.” (HR. Muslim). Jadi keputusan ini berdampak sangat signifikan dalam kehidupan para habib.

Pilihan apolitik seperti ini dijalankan para habib (Alawiyyin), baik di Hadramaut, India maupun Nusantara dari masa ke masa. Sehingga ajaran Alawiyah menjadi sangat populer dan nir-konflik dengan penguasa. Beberapa tradisi mereka juga sangat mudah diterima di kalangan warga Nahdliyyin, sebagai basis Islam tradisional di Indonesia. Lihat saja, pembacaan mawlid Simtu Durar karya Habib Ali Al-Habsyi yang mulai menggeser buku-buku mawlid yang lebih dulu dikenal di Indonesia.

Jadi, para habib yang terjun dalam politik praktis atau bahkan cawe-cawe dan ikut bersinggungan dengan pemerintah, apalagi memposisikan diri sebagai lawan (oposisi) bisa dipastikan sudah keluar dari jalur Al-Faqih Al-Muqaddam, sebagai panutan dan imam besar yang posisinya setara dengan Seikh Abdul Qadir Al-Jilani.

Kontributor

  • Abdul Munim Cholil

    Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya