Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Ibnu Al-Jauzi, Pakar Fikih Mazhab Hanbali dan Penggede Ulama Abad 6 H

Avatar photo
42
×

Ibnu Al-Jauzi, Pakar Fikih Mazhab Hanbali dan Penggede Ulama Abad 6 H

Share this article

Sepeninggalnya sang Hujjatul Islam—Imam Al-Ghazali—pada tahun 505 H, lima tahun sesudah itu lahirlah bayi laki-laki dari daratan Baghdad yang nanti akan menjadi sarjana agung dan penggede ulama abad keenam hijriah. Dia adalah Ibnu Al-Jauzi.

Nama lengkap Ibnu Al-Jauzi adalah Abu Al-Faraj Abdurrahman Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Ubaidillah bin Abdullah bin Hummadiy bin Ahmad bin Muhammad bin Ja’far Al-Jauzi bin Abdullah Al-Qasim bin Nadhar bin Al-Qasim bin Muhammad bin Abdullah bin Abdurrahman bin Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq.

Ia merupakan sejarawan, pakar fikih, ahli tata bahasa, sekaligus ahli tafsir terkemuka pada masanya. Oleh kalangan di sekitarnya ia tenar dijuluki “Jamaluddin al-Hafiz”. Atribut gelar Al-Hafiz ini, lantaran ketekunannya dalam menelaah dan mengumpulkan ilmu-ilmu yang ia peroleh.

Di benak para pengkaji ilmu pengetahuan dan dalam tradisi lisan tutur masyarakat luas, namanya lebih pamor digaungkan dengan Ibnu Al-Jauzi. Usut punya usut, ternyata kemasyhuran nama ini nisbat dari satu tempat di kota Basrah, di mana pada tahun 508 H/1114 M, bayi mungil penyandang nama Abdurrahman ini lahir di distrik Al-Jauz.

Menyoal nama aslinya tadi, ternyata kejelasannya masih simpang siur, banyak versi meriwayatkan hal tersebut. Satu contoh, dalam kitab “Dzailu Thabaqat Al-Hanabilah”, Ibnu Al-Qathi’i mendapatkan cerita bahwa nama dia adalah Al-Mubarak hingga tahun 520 H. Berarti saat itu dia masih bocah  yang berumur belasan tahun.

Lain lagi dengan keterangan yang dituturkan  oleh Ibnu Al-Jauzi sendiri; “Saudaraku (baca: pamanku) bernama Syekh Ibnu Nashir memberiku nama: Abdullah dan Abdurrahman dan Abdurrozaq, tetapi aku telah diberi gelar tersendiri sehingga aku lebih kesohor dengan julukan tersebut.”

Akan tetapi, bila dilihat-lihat secara seksama dari ketiga nama dengan awalan Abd di atas, nama yang lebih populer adalah Abdurrahman. Selain soal nama, ketidakpastian lainnya juga menjangkau di ranah kapan titi mangsa beliau dilahirkan.

Baca juga: Kewiraian Imam Abu Hanifah dan Pilihan Politik Kontroversial

Al-Mundziri mengira-ngira tahun kelahiran Ibnu Al-Jauzi tepat di tahun 508 H, akan tetapi pendapat lain mengatakan tahun 510 H. Sedangkan, Ibn Kholkan menukil dari kitab “Dzailu Tarikh Baghdad” karangan Ibn Najjar. Di sana dikatakan bahwa Abu Al-Faraj Ibnu Al-Jauzi berkata, “Aku tidak pernah memastikan kapan tahun kelahiranku, selain berdekatan dengan kematian ayahku di tahun 500 H, Ibuku juga bercerita kalau waktu itu umurku masih berkisar tiga tahunan.”

Argumentasi ini dipertegas lagi oleh beliau sendiri dalam kitabnya yang berjudul “Shaid Al-Khatir” halaman 213: “Pada saat ayahku mati, waktu itu aku belum mengerti sama sekali—menyadari betul keadaan yang terjadi, bahkan ibuku pun tidak menoleh ke arahku.”

Tentu adanya perbedaan pendapat mengenai tahun kelahiran Ibnu Al-Jauzi tidak untuk saling dibenturkan, tetapi perkara penting yang mesti ditandai bersama adalah acuan-acuan tahun kelahiran tersebut bisa menampilkan wajah sejarah yang sedang terjadi, baik menyibak kondisi sosial masyarakatnya, peradabannya, ataupun situasi pemerintah yang tengah bergejolak pada zaman itu.

Fakta ini menunjukan bahwa periode kelahiran beliau berbarengan dengan adanya dominasi Seljuk atas Dinasti Abbasiyah yang dipimpin Khalifah Al-Mustazhir billah, yaitu rentang tahun 487 H sampai 512 H, yang mana dikenal sebagai  periode dengan perpolitikan dan pertahanan yang kacau balau.

Masa Kecil Ibnu AL-Jauzi

Ibnu Al-Jauzi tumbuh besar sebagai anak yatim di tengah keluarga berpunya bersama ibu dan bibinya. Selama masa-masa perkembangan ini, bibinya menangkap sinyal positif dari keponakannya itu. Dinilai memiliki tingkat intelejensi dan kecerdasan di atas rata-rata, akhirnya ia dikirim ke masjid Abu  Fadhl ibn Nashir—Muhammad Nashir al Hafiz—yang tak lain adalah pamannya sendiri. Di titik inilah dia dipoles dan digembleng dengan bermacam displin keilmuan yang banyak digemari para pelajar pada waktu itu.

Di bawah sentuhan tangan dingin pamannya, Ibnu Al-Jauzi dikader menjadi seorang sarjana yang menjulang tinggi keilmuannya. Masa-masa bersama sang paman inilah merupakan masa yang penting baginya, sebab pada titik inilah yang menentukan corak mazhab apa yang akan diikuti.

Baca juga: Lebih Dekat Dengan Abu Hasan Al-Asy’ari, Imam Besar Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Satu bukti menampilkan bahwa beliau merupakan seorang ahli fikih bermazhab Hanbali, bila ditelusuri genealogi keilmuannya. Pada masa kecilnya ia banyak dipengaruhi oleh sang paman ketika bergumul di pengajian-pengajian kitab yang mengkaji Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal.

Kegandrungannya pada ilmu pengetahuan, membuat dia hobi berkelana kemana-mana, meskipun jarak perjalanan hingga bermil-mil jauhnya. Di samping itu, ia juga berkarib baik dengan santri-santri yang tak seumuran dengannya, karena bagi dia tidak ada waktu sedikitpun yang disisihkan untuk bermain bersama anak-anak di jalanan. Segalannya, ia curahkan untuk mengabdi kepada ilmu dan ilmu. Alih-alih menghabiskan waktu untuk kejar kejaran dengan anak sebayannya, ia justru lebih memilih bersimpuh di serambi masjid untuk belajar ilmu hadits, mengingat pelajaran apa yang didengar selama pengajian, kemudian setibanya di rumah ia tulis kembali.

“Aku adalah seorang yang mencintai ilmu pengetahuan sedari kecil, maka aku selalu menyibukkan diri denganya. Tidaklah aku batasi cita-citaku hanya dengan mencintai satu disiplin ilmu saja bahkan beragam ilmu aku juga pelajari.” Begitu ujar Ibnu Al-Jauzi menggambarkan dirinya sendiri.

Tak ketinggalan perhatian, Ibnu Al-Jauzi kecil juga menaruh hati yang sangat dalam kepada Al-Qur’an sebesar ketertarikannya menghadiri majlis-majlis keilmuan. Kesaksian ini dinyatakan oleh Abu Syamah dalam kitab “Adz-Dzailu ‘ala Raudlatain” bahwa Ibnu Al-Jauzi mengkhatamkan al-Quran sekali dalam seminggu, dan ia hanya akan keluar rumah untuk mendatangai masjid saja, kalau tidak untuk salat Jumat, maka untuk mendatangi majlis ilmu. Hari-hari ia habiskan dengan menekuri kitab-kitab dan memperbanyak muthalaah. Bila ditaksir berapa banyak kitab-kitab yang sudah ia lahap, kurang lebih 20.000 kitab.

Guru-guru Ibnu Al-Jauzi

Kemudian, berbicara seputar guru-guru Ibnu Al-Jauzi, bila dihitung dari segi kuantitas ternyata ia gemar nyantri kepada banyak guru, berpindah dari satu pondokan ke pondokan lainnya. Mereka di antaranya; Ibrahim bin Dinar an Nahrawani, Ahmad bin Ahmad bin Abdul Wahid Al-Mutawakkili, Ahmad bin Hasan bin Ahmad Abdullah bin al banna, Ahmad bin Hasan bin Hibatullah bin Husain Al-Muqri’ Al-Iskaf,  Ahmad bin Said bin Ali Al ‘Ijli, Ahmad bin Dzafar bin Ahmad Al-Maghazili, Ahmad bin Ali bin Muhammad Al-Mujalli,  Ahmad bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Ahmad bin Sulaiman Al-Baghdadi, Ahmad bin Muhammad bin Husain Utsman Al-Madzari, Ahmd bin Muhammad bin Badul Aziz Al-Abbasi Asy-Syarif, dan masih banyak yang lain lagi. Apabila seluruhnya ditotal, guru dia mencapai delapan puluh sembilan syaikh. Jumlah yang fantastis bukan?!

Sedangkan, mengenai buah karyanya sudah barang tentu tak bisa dikesampingkan lagi. Produktivitasnya yang luar biasa dalam menulis membuat karyanya bejibun sampai empat ratus lebih. Anak-anak rohani itu antara lain bernama Ikhbar Ahli Ar-Rusukh fi Al-Fiqh wa Al-Hadits bi Miqdar Al-Mansukh min Al-Hadits, Akhbar al Adzkiya’, Akhbar Al-Hamqa wa Al-Mughafalin, Akhbar Adz-Dzuraf wa Al-Mutamajinin, Akhbar ‘an-Nisa’, Bustan Al-Wa’idzin wa Riyadh As-Sami’in, Tarikh Umar bin Al-Khattab, Talbis Iblis, Taqwim Al-Lisan, Ruh Al-Arwah, dan Sirah Umar bin Abdul Aziz, Manaqib Ahmad bin Hanbal, Manaqib Al-Hasan Al-Bashri, Al-Muntadhim fi Tarikh Al-Muluk wa A-Umam, dan Nawasikh Al-Quran.

Wafat

Malam Jum’at, di waktu antara Magrib dan Isyak, hari ketiga belas bulan Ramadhan tahun 1200 M, Ibnu Al-Jauzi meninggal dunia disebabkan penyakit darah yang menggerogoti kesehatanya selama lima hari sebelumnya. Ia menghembuskan nafas terakhir di rumahnya sendiri yang berdekatan dengan kuburan sufi arif billah Ma’ruf Al-Karkhi, sebelah barat kota Baghdad.

Baca juga: Imam Muslim, Ulama Kaya Raya Dedikasikan Hidup untuk Ilmu dan Hadits

Dikisahkan, bahwa kabar kemangkatnnya merupakan duka yang tak terperi dan guncangan yang dahsyat di hati seluruh penduduk kota Baghdad. Bahkan sebagai penghormatan kali terakhir kepadanya, banyak pasar-pasar besar sepakat tutup meliburkan diri.

Ribuan orang mengiringi jenazahnya menuju masjid Al-Manshur untuk dishalati. Menurut satu riwayat, yang mengimami shalat adalah anaknya sendiri, yaitu Abu Al-Qosim Ali. Karena kelewat banyaknya pelayat yang hadir, masjid pun menjadi sempit, sesempit dada orang-orang yang menanggung kesedihan melepas kepergiannya. Disebutkan juga prosesi menshalati jenazahnya bahkan dilakukan sampai dua kali. Semoga Allah merahmati dan mengasihinya.

Ibnu Al-Jauzi dikebumikan di dekat kuburan Imam Ahmad rahimahullah. Sibtuh Abu Al-Mudzfir—cucunya sendiri—berkata, “Kakekku berwasiat kepadaku untuk menuliskan bait-bait syair ini di atas kuburannya.”

يا كثير العفو عمّن  • كثر الذّنب لديه

جاءكَ المذنب يرجو الــصّفح عن جرم يديه

أنا ضيف و جزاء الــضّيف إحسان إليه

Oh Dzat berlimpah maaf, dari hamba penuh dosa

datang pada-Mu mengharapkan pengampunan

Aku hanya seorang tamu dan balasan bagi tamu Tak lain hanya ingin diperlakukan dengan baik

Kontributor