Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Kewiraian Imam Abu Hanifah dan Pilihan Politik Kontroversial

Avatar photo
27
×

Kewiraian Imam Abu Hanifah dan Pilihan Politik Kontroversial

Share this article

Imam Abu Hanifah Saat di Pasar

Imam Abu Hanifah termasuk pedagang yang kaya raya. Toko kain sutra warisan orang tuanya menjadi penopang hidupnya, bahkan turut dirasakan para ulama di masanya. Pasalnya semua penghasilan yang beliau kumpulkan dalam setahun disedekahkan untuk mengagungkan ilmu dan memenuhi kebutuhan ahli ilmu.

Tak hanya ulama, santri-santrinya yang kurang mampu dibiayai kebutuhan hidupnya; yang ingin menikah namun tak memiliki biaya akan dibiayai. Saat mereka sudah menjadi alim, Imam Abu Hanifah akan sangat berbangga hati.

Sepertinya kedermawanan Abu Hanifah diwarisi dari perilaku gurunya, Hammad, yang juga kaya raya. Bila masuk bulan puasa, gurunya itu menyiapkan santapan takjil di rumahnya untuk 500 orang. Saat lebaran, setiap orang akan mendapat 100 dirham dari beliau.

Di pasar, Imam Abu Hanifah benar-benar mempraktikkan ilmunya, meneladani Nabi dalam cermin kewiraiannya. Suatu hari Hafs bin Abdurrahman, seorang mitra kerjanya, pernah dipesan agar menjelaskan cacat dan aib yang ada di komoditinya. Namun Hafs lupa menjelaskan. Akhirnya beliau menanyakan apakah cacat barang sudah dijelaskan pada pembeli? Hafs menjawab, “Tidak”. Maka segera hasil transaksi hari itu disedekahkan semuanya. Ini dilakukan dalam rangka menghindari syubhat.

Di lain waktu ada seorang perempuan tua membawa kain sutra dan berniat menjualnya pada Imam Abu Hanifah. Sepertinya perempuan itu sedang butuh duit, maka dia menawarkan kainnya dengan murah. “Berapa?” tawar beliau.

“Seratus.” jawab perempuan tua itu.

“Naikkan lagi,” pinta beliau, “200, 300 hingga 400.”

 Perempuan tua tadi merasa dipermainkan, “Kamu mempermainkan saya?”

“Tidak!” kata beliau, “Kalau tidak percaya coba saya tawarkan ke orang lain!”     

Kain sutra perempuan tersebut ditawarkan pada seseorang. Benar saja, kain itu ditawar 500 dirham. Seandainya bukan Imam Abu Hanifah, niscaya harga 100 yang ditawarkan perempuan tua tadi akan langsung disepakati. Namun sang imam tak ingin merugikan siapapun, baik sebagai penjual maupun pembeli. Dengan cara berdagang seperti inilah keberkahan akan datang.

Standar wirai bisa ditangkap dari pribadi Imam Abu Hanifah. Keberadaan seseorang di masjid tak bisa dijadikan standar keshalehan, kewiraiandan kezuhudan. Semua sifat ini harus melalui uji standar bagaimana bersikap dan bergaul dengan orang lain. Terutama di pasar, sebagai syarru al-biqa’ (tempat terburuk) dalam sabda Nabi Saw. Jika di sana sanggup menjalankan nilai-nilai syariat maka dia lulus. 

Baca juga: Meneladani Keulamaan Imam Malik

Perjumpaan dengan Asy-Sya’bi (w. 103 H)  

Kesibukan berdagang tak pernah benar-benar dilepaskan oleh Imam Abu Hanifah. Bahkan semenjak muda, dalam penelitian Abu Zahrah, beliau sudah terlihat sering lalu-lalang ke pasar. Hingga suatu saat dia disapa oleh Imam Asy-Sya’bi (w. 103 H).

“Hai anak muda, hendak ke mana?” tanya Asy-Sya’bi.

“Ke pasar, tuan,” jawab Abu Hanifah muda.

“Bukan itu maksudku,” jelas Asy-Sya’bi, “Kamu akan menghadiri majlis ilmu di mana? Sebaiknya kamu mulai membiasakan menghadiri majlis ilmu sebab dalam dirimu ada tanda-tanda.”

Ucapan itu membekas dalam diri Abu Hanifah muda. Sejak perjumpaan ini, dia mengurangi durasi ke pasar dan lebih banyak ke majlis ilmu, utamanya majlis Hammad bin Sulaiman (seorang murid terbaik Ibrahim An-Nakha’i yang berguru langsung ke Ibn Mas’ud di kota Kufah). As-Sya’bi bisa membaca masa depan Abu Hanifah kecil dengan firasat dan mata batinnya. Hati-hati dengan firasat seorang mukmin, karena dia melihat dengan cahaya Allah. (HR. At-Tirmizi).

18 Tahun Belajar Pada Hammad bin Sulaiman

Meski kesadaran intelektualnya diketuk oleh Asy-Sya’bi tapi kemantapan hatinya jatuh pada Imam Hammad bin Sulaiman. Bisa jadi karena kecenderungannya yang dominan pada fikih rasional, sementara Asy-Sya’bi lebih mewakil arus muhadditsin. Selama hampir 18 tahun Abu Hanifah belajar pada Hammad, menyerap ilmu dan akhlak sang guru. Sesekali berpindah dari satu guru ke guru lain, termasuk Asy-Sya’bi.

Yang terlama adalah pelariannya ke kota Makkah untuk menghindari represi penguasa Umayyah. Beliau tinggal 3 tahun di Makkah menjumpai murid-murid terbaik dari para sahabat Rasulullah. Seperti Ikrimah (murid Ibn Abbas), Nafi’ (murid Ibn Umar), Atha’ bin Abi Rabah. Maka tak heran ketika khalifah Al-Manshur bertanya dalam sebuah perjumpaan yang diabadikan dalam Tarikh Baghdad, “Kamu belajar dengan siapa, wahai Abu Hanifah?”

“Saya belajar pada murid-murid Umar, murid-murid Ali, dan murid-murid Ibn Mas’ud,” jawabnya bangga.

Abu Hanifah menjumpai hampir semua aliran yang hidup di masanya. Syiah, Khawarij, kaum Muktazilah, bahkan kaum atheis. Beliau berdialog dan berdebat dengan mereka. Namun kepada murid-muridnya, dia berpesan agar menyibukkan diri dengan fikih saja.

Baca juga: Imam Muslim, Ulama Kaya Raya Dedikasikan Hidup untuk Ilmu dan Hadits

Abu Hanifah bukan tipikal guru doktrinal. Beliau biasa menghabiskan semalam suntuk untuk berdiskusi dengan murid-muridnya. Dan dari tradisi semacam inilah kelak lahir mazhab Hanafi. Rupanya kecakapan sang guru membuat para muridnya terkesan. Meski beliau mewanti-wanti agar pendapatnya tak diikuti dengan mudah, namun tetap saja mempesona. Muhammad bin Al-Hasan  As-Syaibani dan Abu Yusuf menjadi dua murid teragung Abu Hanifah yang mendokumentasikan, menganalisis dan mematangkan mazhab gurunya itu.

Melimpahnya ulama masa itu membuat beliau enggan membuka majlis ilmu. Baru setelah Imam Hammad bin Sulaiman wafat (w. 120 H), beliau bersedia mengisi majlisnya. Umur beliau sudah menginjak usia matang secara intelektulitas–sekitar 40-an. Namun bagaimana pun ruang diskusi bersama murid-muridnya lebih eksotis bagi beliau. “Kalian adalah pelipur laraku!” kata sang imam.

Abu Hanifah Sebagai Simpatisan Syiah

Grand Syekh Al-Azhar Syekh Abdul Halim Mahmud, menulis dalam bukunya At-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam bahwa Abu Hanifah sunni al-i’tiqad wa syi’iyu al-siyasah (seorang Sunni dalam akidah, namun Syiah secara politik). Dalam catatan biografinya, beliau memang tak pernah mau membaiat Dinasti Umayyah (661-744 M).

Imam mazhab yang mewarisi keilmuan sahabat Abdullah bin Mas’ud ini tak bisa dipungkiri kharisma dan popularitasnya. Seperempat kaum muslimin dunia berfikih dengan mazhab beliau. Bahkan di masa dinasti Turki-Usmani (1281-1924 M) sempat menjadi mazhab resmi negara.

Orang besar selalu didera kontroversi, demikian Syeikh Abu Zahrah menulis mukaddimahnya tentang Abu Hanifah. Sikap politik beliau memang terkesan simpati pada Ahlul Bait (Syiah). Dia akrab secara keilmuan dengan Imam Muhammad Al-Baqir dan putranya (Jakfar As-Shadiq), Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin (imam Syiah Zaidiyah). Ketiganya dihormati dan diakui sebagai guru-gurunya meski Jakfar As-Shadiq seumuran.

Bahkan saat Imam Zaid memberontak dan menuntut hak-hak Ahlul Bait pada Dinasti Umayyah, beliau memuji “keluarnya Imam Zaid dengan tentaranya seperti keluarnya Nabi Saw.” Tapi apakah Abu Hanifah ikut bergabung? Tak ada satu pun dari penulis yang memastikan. Namun beliau mendukung gerakan tersebut dengan harta kekayaannya.

Di masa Umayyah, beliau sempat ditawari jabatan prestisius sebagai hakim agung. Ibnu Hubairah (gubernur kota Baghdad dari dinasti itu) memaksa namun beliau menolak dan akhirnya mendapat hukuman cambuk setiap harinya. Ini beberapa fakta ketegangan beliau dengan kebijakan Dinasti Umayyah.

Pilihan politik semacam ini lumrah dan tak perlu dijadikan justifikasi untuk mengeluarkan seseorang dari keluarga besar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Toh, beliau tak pernah mengajak pengikutnya untuk memilih hal yang sama. Bahkan sebaliknya, Muhammad bin Al-Hasan dan Abu Yusuf kemudian menjadi hakim agung di bawah Dinasti Abbasiyah. Dinasti yang menurut kalkulasi politik Abu Hanifah belum tepat karena bukan keturunan Sayidina Ali, meski memang masih kerabat Rasulullah karena berasal dari Bani Abbas.  

Baca juga: Meneladani Keulamaan Imam Al-Bukhari

Pembelaan Pengikut Mazhab Syafi’i

Ketegangan dan fanatisme bermazhab sering mewarnai umat Islam, utamanya di abad keempat hijriyah. Mazhab Hanafi termasuk yang mengalami ketegangan kontra mazhab Syafi’i. Saling adu argumentasi menghiasi hampir semua karya yang ditulis rentang masa itu. Ambil contoh kecil al-Luma’ , sebuah kitab Ushul Fikih karya As-Syairazi (imam mazhab Syafi’i yang wafat 476 H), menghadapkan argumentasinya vis a vis mazhab Hanafi.

Mazhab Hanafi kerap dianggap terlalu rasional sehingga mengesampingkan nilai-nilai syariat dan dalil-dalilnya. Data bagaimana proses belajar Abu Hanifah dan siapa saja guru-gurunya sudah menjelaskan kapasitas beliau sebagai imam mazhab. Dia berguru pada para imam terbaik di masanya, baik dari kalangan rasionalis maupun muhaddisin. Meski memang mazhab Hanafi lahir dari ruang-ruang diskusi yang intensif. Bahkan dia bersama muridnya bisa menghabiskan semalam suntuk untuk mendiskusikan satu masalah.

Kenyataan ini memancing dua ulama mazhab Syafi’i menulis buku secara khusus tentang Abu Hanifah. Demi membersihkan nama besar sang imam sekaligus mendamaikan dua mazhab yang saling ‘bersitegang’. Imam As-Suyuthi menulis Tabyidh ash-shahifah fi manaqib al-Imam Abi Hanifah dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Khairat Al-Hisan.

Buruk Sangka Sebelum Mengenal

Dalam Al-Khairat Al-Hisan Ibnu Hajar mencatat sebuah cerita perjumpaan Imam Al-Awza’i (seorang mujtahid mutlak yang pernah punya mazhab di Syam namun punah) dengan Imam Abdullah bin Al-Mubarak (seorang sufi murid Abu Hanifah).

“Siapa sebenarnya ahli bid’ah dari Kufah itu?” Al-Awza’i membuka pertanyaan.

Abdullah bin Al-Mubarak tak langsung menjawab. Dia membahas persoalan-persoalan rumit beserta fatwa dan jawabannya. Karena mendengar jawaban cerdas dari permasalah rumit, Imam A-Awza’i penasaran siapa orang itu. Ibnu Al-Mubarak hanya menjawab, “Seorang ulama dari Irak.”

“Ini ulama cerdas. Terus belajar padanya.” kata Al-Awza’i.

“Ya, dialah Imam Abu Hanifah,” tutup Ibnu Al-Mubarak.

Dalam satu momen, Al-Awza’i dan Abu Hanifah berjumpa di Makkah. Keduanya terlibat diskusi panjang mengenai banyak hal. Selepas perjumpaan ini, Imam Al-Awza’i berucap, “Saya iri pada ilmu orang ini (Abu Hanifah) dan kejeniusan akalnya. Saya meminta ampun pada Allah karena telah berburuk sangka. Belajar padanya! Kenyataan tidak sama dengan tuduhan banyak orang.” 

Negara Penganut Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi diikuti oleh mayoritas penduduk negara Turki, anak benua India, kawasan Transaxonia (Uzbekistan dan sekitarnya), sebagian penduduk Mesir, dan sebagian kota Zabid di Yaman.

Imam Abu Hanifah wafat di tahun yang sama dengan kelahiran Imam Asy-Syafi’i pada tahun 150 H. Nama lengkapnya: An-Nu’man bin Tsabit bin An-Nu’man (ada yang menyebut Zauthi). Kakeknya ini berasal dari Persia dan masuk Islam. Semoga Allah merahmati beliau. Amin.

Kontributor

  • Abdul Munim Cholil

    Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya