Najmudin At-Thufi mengilustrasikan julukan imam para muhaddisin karena di dalam diri dua imam (Al-Bukhari dan Muslim) ini terdapat sifat wara’, zuhud, kesungguhan dan keuletannya dalam mentakhrij hadits. Seorang imam yang tak bisa dikejar oleh ulama setelahnya, kata An-Nawawi dalam mukaddimah Syarah Shahih Muslim.
Nama Imam Muslim bersanding dengan Amir al-Mukminin dalam ilmu hadits, Al-Bukhari. Tak ada yang meragukan kapasitasnya dalam ilmu hadits. Karyanya, Shahih Muslim, dianggap sebagai buku terbaik dalam aspek kerapian penyusunan dan sajiannya yang sistematis.
Dialah Imam Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim. Lahir di kota Nisaphur-Iran pada 204 H. Ada banyak pendapat mengenai tahun kelahiran. Ada yang mengatakan 206 H. Namun semua pengkaji bersepakat tentang tahun wafatnya, Ahad 25 Rajab 261 H di umurnya yang ke-55.
Imam Kaya Raya yang Dermawan
Imam Muslim punya toko, yang menjual kain dan beberapa toko lain. Sebab Nisaphur masa itu menjadi tempat perdagangan paling strategis. Namun kesibukannya berdagang tak menghalanginya untuk menambah ilmu, malah kekayaannya menjadi penopang hidup sekaligus membantunya melakukan petualangan ilmiah mendokumentasikan hadits.
Tokonya sesekali berubah menjadi majlis ilmu hadits. Seperti penuturan Al-Hakim An-Nisaburi, “Saya mendengar ayah bercerita: saya melihat Imam Muslim bin Al-Hajjaj menyampaikan hadits di Khan Muhammas (nama pasar di mana toko beliau bertempat).”
Kekayaannya tak melenakan. Dia kerap berbagi dengan kaum duafa’. Hingga kisah kedermawanannya dikenal di seantero Nisaphur. Dia dijuluki dengan muhsin Nisaphur (sang dermawan kota Nisaphur).
Dengan kekayaan yang dimiliki, beliau berhasil mengunjungi kota-kota penting ilmu di masanya, menjumpai imam-imam agung dan ulama. Sebuah pesan pada pembaca: kekayaan tak selamanya menjadi penghalang dari ilmu. Ada Imam Muslim dan Imam Abu Hanifah yang terkenal kaya raya. Dari kalangan kaum sufi ada Imam Abu Al-Hasan As-Syazili.
Kezuhudan tidak diukur dari miskin dan kekayaan materi seseorang; bisa saja secara lahiriyah dia miskin tapi hatinya rakus, atau secara lahiriyah kaya raya tapi hatinya zuhud. Rumusnya kata imam Al-Ghazali dalam Ihya’ as-skha’ ra’su az-zuhdi (kedermawanan adalah kepalanya sifat zuhud). Artinya, seseorang dianggap zuhud tatkala dengan ringan mendermakan hartanya. Sebab di hatinya tak ada kecintaan pada harta.
Baca juga: Meneladani Keulamaan Imam Al-Bukhari
Petualangan Ilmiah Imam Muslim
Umur 12 tahun, setelah merampungkan dasar-dasar ilmu Islam pada ayahnya, Al-Hajjaj, Muslim kecil mulai berpetualang. Mula-mula, dia berguru pada ulama Nisaphur seperti Yahya bin Yahya An-Nisaburi (226 H), Ishaq bin Rahuyah (236 H) dan Qutaibah bin Said (240 H). Sebelum baligh, dia sudah berangkat ke Mekah melaksanakan haji dan berguru kepada Al-Qa’nabi (guru terbesarnya).
Sepulangnya dari tanah haram, dia mampir dan tinggal selama 10 tahun di kota ilmu (Kufah) dan berguru pada Ahmad bin Yunus. Berguru pada imam Ahmad bin Hambal di Baghdad. Berguru pada Harmalah bin Yahya (salah seorang santri terbaik imam Syafi’i di Mesir sekaligus dokumenter kitab Al-Umm yang masyhur itu). Berguru kepada imam Al-Bukhari di Bukhara. Selain itu, Iraq, Bashrah, Rayy, Khurasan dan Syam tak luput dari kunjungannya.
Imam An-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim, mendeskripsikan sosoknya sebagai “salah seorang petualang ilmu hadits. Berhasil menjumpai imam-imam besar di sepanjang negeri yang dikunjunginya.” Semua ini berkat kegigihan dan kekayaan keluarganya yang didedikasikan untuk ilmu.
Begadang Semalaman Demi Satu Hadits
Semangat Imam Muslim sangat tinggi dalam mencari ilmu dan mengumpulkan hadits-hadits Nabi Saw. Terkadang beliau menghabiskan semalam suntuk hanya untuk mengkaji satu hadits. Bahkan ada asumsi bahwa penyebab wafatnya adalah kegagalannya mengkaji dan mencari satu hadits hingga membuatnya sangat bersedih.
Al-Hakim berkisah: Kami melewati malam itu untuk berdiskusi, hingga suatu ketika ada satu hadits yang tak dikenal oleh Imam Muslim. Dia bergegas pulang, menutup pintu kamar belajarnya seraya berkata, “Tak boleh ada yang masuk”. Sesaat kemudian ada yang mengetuk pintu, “Ada apa?” tanya beliau. “Ada seseorang mengantar sekeranjang kurma,” jawab keluarganya memberitahu. “Sini!”
Kurma itu dihaturkan pada beliau yang sedang asyik dengan kitab-kitabnya. Semalaman beliau meneliti dan mengkaji hadits itu hingga tanpa terasa kurma sekeranjang habis. Al-Hakim beresimpulan, “Saya yakin malam itu menjadi penyebab kematiannya.”
Keistimewaan Shahih Muslim
Bila menemukan kalimat “muttafaq aliahi” maka yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim. Seakan dua kitab ini kembar, dan mengindikasikan ketinggian derajat dua kitab ini di kalangan ulama islam.
Hampir semua ulama timur hingga barat islam bersepakat bahwa shahih Al-Bukhari menempati posisi teratas kecuali beberapa ulama Maghrib (meliputi Maroko, Tunis, Libya dan sekitarnya) yang mendahulukan shahih Muslim karena alasan kerapian susunan dan ringkasan sanad yang disajikan.
Bagaimanapun shahih Al-Bukhari tetap lebih unggul karena persyaratan ketat yang dipakai dalam dokumentasi hadits: Al-Bukhari menyaratkan liqa’ (harus ada kepastian pertemuan antara guru dan murid) sementara Imam Muslim hanya menyaratkan mu’asharah (cukup sezaman) tak perlu ada kepastian perjumpaan antara guru dan murid.
Baca juga: Meneladani Keulamaan Imam Malik
Perjumpaannya dengan Imam Al-Bukhari
Setelah diinventarisir, guru-guru Imam Muslim dalam kitab shahihnya mencapai angka 220 an orang; tak disebutkan Imam Al-Bukhari dalam shahihnya. Tapi dalam kitab yang lain menunjukkan betapa agung penghormatan beliau kepada gurunya, Al-Bukhari.
Dalam kunjungan terakhir Imam Al-Bukhari ke Khurasan, Imam Muslim buru-buru mendatangi Al-Bukhari mencium kedua tangan dan keningnya seraya berucap, “Biarkan saya menciummu, imam para muhaditsin dan ustaznya para asatiz.”
Dalam perjumpaan ini, beliau mengambil faedah tentang hadits ‘kaffarat al-majlis’ yang masih terindikasi ‘cacat’ secara transmisi hadits. Imam Al-Bukhari kemudian memberikan jalur tarnsmisi sanad “…diriwayatkan oleh Musa bin Isma’il, dari Wahib, dari Musa bin Uqbah, dari Aun bin Abdullah, Rasulullah Saw bersabda: …” sementara Imam Muslim mencatatnya. Dia memuji Imam Al-Bukhari, “Tak ada yang membencimu kecuali pendengki. Saya bersaksi tak ada yang sepertimu di dunia ini.”
Perjumpaan ini sangat membekas dalam perjalanan intelektualnya. Bahkan Imam Ad-Daruqutni mengatakan, “Seandainya bukan karena Al-Bukhari tak akan muncul Imam Muslim.” Pengaruh Imam Al-Bukhari sangat kuat dalam cara mendeteksi ‘cacat’ hadits dan menyeleksi rijal (para rawi hadits). Metode yang dipakainya adalah metode yang juga dipakai Imam Al-Bukhari dalam bidang ini.
Imam Muslim pernah meninggalkan seorang ulama, Az-Zuhali, yang ketahuan mengejek Imam Al-Bukhari. Dia tak rela siapapun mengejek gurunya itu. Muhamad bin Yahya Az-Zuhali merupakan ulama hadits kota Nisaphur, mewarisi ilmu Az-Zuhri (seorang tabiin), namun memiliki kecenderungan membela pendapat Muktazilah dalam “Al-Qur’an makhluk”.
Imam Muslim termasuk seorang penulis yang produktif, ada sekitar 15 karya yang sudah ditemukan, selebihnya hilang: ada Al-Asâmi wa Al-Kuna, Asma’ Ar-Rijal, At-Tamyiz, Thabaqat At-Tabi’in, Al-Musnad As-Shahih, Al-Munfaridat wa Al-Wahdan dan seterusnya. Semuanya berkaitan dengan hadits dan studi ilmu hadits.