Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Hijrah Ekologis dan Krisis Kepedulian Umat Islam terhadap Lingkungan

Avatar photo
56
×

Hijrah Ekologis dan Krisis Kepedulian Umat Islam terhadap Lingkungan

Share this article

Khazanah Islam, akidah, hukum, berikut nilai-nilainya menawarkan solusi
yang komprehensif dan efektif dalam menjawab tantangan global melawan
krisis
ekologi
. Meski demikian, apa yang membuat umat Muslim hari ini terkesan
kendor dan kurang peka menyangkut apa yang dihadapi lingkungannya?

Seorang kawan yang saya tanya memberi jawaban yang agaknya tidak
sepenuhnya keliru: “Konsentrasi umat Islam belum ke sana, masih sibuk memprioritaskan
kampanye
moderasi
agama
sambil memperdebatkan makna ‘hijrah’.”

Islam memiliki rujukan yang tak terhitung dalam menekankan pentingnya
pelestarian serta konservasi sumber daya alam. Menurut disiplin Islam yang
paling mendasar, alam dengan berbagai elemen dasarnya yang meliputi tanah, air,
udara, satwa, serta tumbuh-tumbuhan adalah milik bersama seluruh makhluk, bukan
semata kepunyaan manusia.

Al-Qur’an dan Sunnah adalah tuntunan serta rujukan utama dalam menempuh
kehidupan termasuk keberlanjutan ekosistem dari dahulu hingga masa-masa
mendatang. Allah SWT memerintahkan manusia untuk menghindari tindakan-tindakan
destruktif seperti mengeksploitasi sumber daya alam.

Hak istimewa manusia dalam mendayagunakan sumber daya alam adalah dengan
mengganti apa yang telah diambilnya, oleh karenanya Islam memiliki prinsip ihya’
al-mawat
yang bukan hanya bermakna menyulap area tandus menjadi lahan
pertanian, namun juga ‘isi ulang’ serta tanggung jawab memperbaiki
perusakan-perusakan yang dilakukan.

Konsep amanah yang senantiasa diagung-agungkan umat Muslim sejatinya
sangat relevan dalam kaitannya menjaga keseimbangan alam. Setiap insan, sebagai
individu memiliki kewajiban dan predikat yang sama di mata Allah, yakni
khalifah. Bisa dilihat dalam surat al-Baqarah pada ayat 30 bagaimana waswasnya
para malaikat dengan rencana penciptaan manusia yang disebut khalifah bakal
membuat kerusakan dan pertumpahan darah.

Seorang manusia akan lulus menjadi manusia bila tidak berbuat kerusakan
di muka bumi. Seorang manusia harus menempuh segala langkah supaya dapat
mewariskan lingkungan bagi generasi berikutnya dalam bentuk selestari dan seideal
mungkin, tidak lain karena bumi adalah amanah, titipan yang dipercayakan Tuhan
kepada manusia untuk dijaga dan dilestarikan.

Setiap manusia adalah pelestari
lingkungan
yang harus menerapkan harmonisasi dengan segenap makhluk
lainnya. Dengan demikian, menghormati, menghargai, serta merawat lingkungan
tidak lain adalah implementasi dari seluruh rukun iman. Sejalan dengan ayat 85
dari surat al-A’raf:

“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan)
dengan baik. Itulah yang lebih baik bagi kalian jika kalian beriman.”    

Pada penutup ayat 64 surat al-Ma’idah dengan sangat tegas Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan, demikian juga pada ayat 77 surat
al-Qashas. Dalam ekosistem, kerusakan-kerusakan bisa berupa korupsi sumber daya
alam, pencemaran industri, eksploitasi kekayaan yang terkandung di dalam bumi,
termasuk produksi plastik berlebihan yang kemudian tidak diiringi pendaurulangan.

Tidak hanya kepada para pelaku kerusakan, Allah juga tidak menyukai
mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengonsumsi makanan dan
minuman. Bisa dilihat lebih lanjut dalam teks maupun penafsiran dari ayat 31 surat
al-A’raf.

Menurut Al-Qur’an lingkungan lestari adalah harga mati, bukan alternatif
yang boleh dipilih boleh ditinggal. Beberapa ayat yang disinggung di atas hanya
sebagian dari lautan Al-Qur’an yang menyinggung hal ihwal ekologi dan
ekosistem.

Nabi Muhammad SAW. juga acap membahas berbagai aspek lingkungan hayati,
meliputi sumber daya alam, pengolahan tanah, hingga keberhasilan lingkungan.
Sebagai penafsir Al-Qur’an yang pertama dan paling utama beliau berulang-ulang
melarang pengikutnya berlaku konsumtif, boros, bermewah-mewahan, dan
tindakan-tindakan destruktif terhadap alam. Sebaliknya mendorong umat Islam
senantiasa bersikap moderat dan sederhana dalam berbagai hal.

Sebuah hadis riwayat Imam Muslim menyatakan “Sesungguhnya dunia ini manis
dan hijau (indah), dan sesungguhnya Allah menunjuk kalian sebagai pelestari di
dalamnya, maka Dia senantiasa melihat apa-apa yang kalian perbuat (terhadap
alam semesta)”,
tidak lain adalah tafsir nabi terhadap ayat-ayat yang
menyinggung tanggung jawab yang diberikan Allah kepada manusia untuk menjaga
keseimbangan alam.

Dalam riwayat Imam Muslim yang lain disebutkan bahwa, “Tidaklah
seorang Muslim bercocok tanam lalu tanaman itu dimakan manusia, binatang, atau
burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat”.

Boleh dibilang itulah hadis sedekah oksigen lantaran telah menyisihkan waktu bercocok
tanam, bukan semata karena buah atau bijinya telah dimakan makhluk lain. Hari
ini ketika ilmu pengetahuan sudah cukup maju, pepohonan dikenal dengan istilah
bank oksigen karena menyediakan ‘kehidupan’ bagi makhluk hidup di sekitarnya.

Karena pentingnya bercocok tanam, Rasul sampai-sampai berucap dalam
sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, “Andai kata besok kiamat tiba, sementara
tergenggam tunas di tangan seorang dari kalian, hendaklah ia tetap menanamnya.”

Rasul juga secara terang melarang perusakan tumbuh-tumbuhan, bahkan
ketika dalam situasi perang sekalipun. Beliau memberikan perhatian khusus
terhadap laju pengolahan lahan, minimalisasi limbah, peningkatkan mutu sumber
daya alam, etika terhadap binatang ternak, hingga perlindungan terhadap satwa-satwa
liar. Beliau sangat mengimani bahwa sumber daya alam sudah sepatutnya tidak
dieksploitasi atau disalahgunakan secara berlebihan.


Green Muslims adalah sebuah organisasi nirlaba yang
berusaha menjadi sumber pendidikan lingkungan berbasis spiritual di komunitas
Islam dan bergerak mempromosikan kesadaran lingkungan.

Meski menjadi sangat populer hari-hari ini, “hijrah” adalah kosakata
Islam yang sudah ada sejak masa kenabian. Bila ia dimaknai tindakan
meninggalkan kegelapan menuju cahaya Islam yang terang benderang, bukankah alam
lingkungan saat ini tengah menapaki masa tergelapnya sebab perusakan-perusakan?

Semakin hari bumi semakin papa akan ‘cahaya’ islah. Bukankah sudah
saatnya
hijrah ekologis
diprioritaskan?

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.