Kita
telah menghabiskan waktu yang panjang dalam belajar,
wajib belajar 12 tahun, ditambah kuliah empat tahun, tapi tidak kita menjadi ahli,
tidak pula ilmu-ilmu itu lengket di kepala, walau hanya satu bidang.
Kita menghabiskan umur
dalam belajar tapi tak jua terlepas dari jeratan derajat mubtadiin, pemula
dalam ilmu. Tidak terangkat kepada derajat expert, ahli.
Lalu
apa yang salah
dalam metode
belajar kita?
Guru-guru
biasanya mengatakan,
العلم عبادة فلا بد للعلم من شرطي العبادة :
الإخلاص و المتابعة ، المتابعة هنا للعلماء
“Ilmu
adalah ibadah,
maka harus ada syarat ibadah dalam ilmu yaitu ikhlas dan ada tuntunan. Tuntunan
di sini adalah tuntunan para ulama.”
Apakah
kita sudah mengikuti tuntunan ulama dalam menuntut ilmu?
Al-Allamah
Abdul Qadir Badran
ad–Dimasyqi dalam kitabnya al-Madkhal ila
madzhab al-Imam Ahmad Ibn Hanbal menuntun
kita dalam metode
belajar menuntut
ilmu.
Pertama, ujar beliau, ketika mengaji suatu kitab niatkan untuk ‘tidak
kembali’ kepada kitab tersebut. Sehingga kita benar-benar menguraikan
permasalahan dalam kitab itu, memahaminya, menghafal poin-poin pentingnya.
Jangan
mengaji
kitab niatnya hanya mengambil berkah dari karangan para ulama, kalau hanya
untuk mengambil berkah, maka membaca Al-Quran tentu lebih utama.
Setiap
kitab mengandung permasalahan-permasalahan yang dikandung oleh kitab level di
bawahnya hanya saja ada beberapa tambahan dan perluasan. Maka kokohkanlah
pemahaman terhadap kitab-kitab yang ditulis sebagai dasar dalam suatu ilmu.
Jika kokoh memahami dasar-dasar ilmu, maka akan mudah memahami syarah dan
tambahan yang luas.
Kedua, hendaklah setiap pelajar mempersiapkan
diri dengan membaca sebelum hadir dalam majelis ilmu. Mulai dengan membaca
matan (intisari ilmu) tentang pembahasan yang akan dikaji pada hari itu, lalu
uraikan isi matan tersebut berdasarkan pemahaman sendiri, tanpa melihat kepada
syarah.
Setelah
itu, lihatlah isi syarah, bandingkan pemahaman kita apakah sudah sesuai dengan
isi syarah atau masih banyak yang salah. Yang salah kita luruskan, yang luput
kita tambahkan.
Kita
uraikan pula isi syarah itu satu persatu, kita pahami kata perkata, setelah
selesai bandingkan pemahaman kita dengan tulisan panjang hasyiah, yang salah
kita luruskan, yang luput kita tambahkan.
Ketiga,
mendengarkan pemaparan guru. Tentu tidak semua permasalahan kita pahami, paham satu masalah
ada beberapa masalah yang tidak kita pahami. Di sinilah fungsi poin ketiga,
ketika hadir dalam majelis ilmu, duduk di hadapan guru, kita fokus mendengarkan
penjelasan, memperhatikan poin-poin yang tidak kita pahami. Adapun yang sudah
kita pahami, maka akan lebih kuat dan kokoh karena telah diulang kembali, yang
belum kita pahami akan dipahami dalam pengajian, yang terlewat ditambahkan.
Keempat, setelah pulang ke rumah, kita ulangi lagi membaca kitab
tersebut dengan teliti, menghadirkan setiap makna dalam setiap kalimat, setiap
kata, maupun setiap wajhul irab yang disampaikan oleh guru dan yang kita pahami
dari syarah serta hawasyi.
Kelima, sampaikanlah poin yang kita pahami tersebut kepada kawan atau
kepada istri. Bagi yang tak punya kawan tak punya istri, sampaikanlah kepada
tembok. Tembok adalah kawan bagi mereka yang tak punya kawan.
Keenam, tulislah ulang apa yang kita pahami dengan bahasa kita
sendiri. Baik menulis setiap permasalahan, atau hanya sekadar memetakan masalah.
Tulisan bisa hanya untuk pribadi, atau untuk dibagikan kepada thalibul ilmi,
dengan syarat tulisan tersebut telah diizinkan oleh guru kita.
Nasehat
di atas diambil Syaikh Abdul Qadir ad-Dimasyqi dari
gurunya,
Syaikh Muhammad Utsman al-Hanbali. Lalu beliau berkata, “Setelah saya amalkan metode
belajar dari guru saya ini, saya tak perlu mengaji di hadapan guru kecuali
hanya enam tahun saja.”