Dewasa ini, seiring dengan bebas dan mudahnya orang mengakses informasi, banyak kalangan yang mulai menganggap belajar bisa dilakukan tanpa harus ada arahan seorang guru. Terlebih lagi dalam ilmu-ilmu agama, hal ini jelas sangat tidak dianjurkan karena bisa membawa seseorang ke jalan salah.
Biasanya, orang-orang yang merasa tidak perlu adanya guru mereka akan memanfaatkan media sosial seperti Facebook, YouTube, Instagram, dan lain sebagainya.
Kita sebagai umat muslim perlu hati-hati dengan fenomena pasar bebas ustadz ini karena ketika seseorang sudah merasa bisa tanpa bantuan guru, maka dikhawatirkan ilmunya tidak akan berkah.
Ada satu cerita menarik tentang salah satu murid Syekh Ibrahim bin Adham salah satu sufi besar di zamannya. Syekh Ibrahim bin Adham memiliki seorang murid yang selalu semangat dalam bekerja sehingga menjadi kaya raya. Akan tetapi harta yang iya miliki kemudian di sedekahkan kepada gurunya dan para santri.
Suatu ketika di tengah perjalanan, ia melihat seekor burung terjatuh sebab sayapnya patah. Tak berselang lama datanglah seekor burung lain memberikan makanan kepada burung itu.
Sang murid pun begitu takjub dengan kejadian yang baru saja ia saksikan dan berkesimpulan bahwa rezeki setiap makhluk di dunia ini sudah ada yang mengatur. Nyatanya burung yang sayapnya patah dan tidak bisa mencari makanan sendiri masih bisa mendapatkan rezeki tanpa harus berusaha dahulu.
Kemudian hal ini ia sampaikan kepada gurunya. Setelah mendengar perkataan dari sang murid Syekh Ibrahim bin Adham hanya tersenyum. Lalu beliau mengatakan kepada muridnya: kamu ini kok aneh, kenapa kamu tidak mencontoh burung yang memberi, kok malah ingin meniru burung yang sayapnya patah. Toh keduanya sama-sama benarnya. Sambil berpikir sang murid akhirnya mengiyakan perkataan gurunya.
Hikmah yang dapat kita ambil dari kisah di atas adalah begitulah kira-kira gambaran orang yang belajar tanpa guru akan mudah keliru dalam memahami suatu permasalahan atau teks. Mengandalkan akal saja tanpa dikawal manhaj yang benar akan sangat liar dan mudah tersesat.
Dalam Al-Qur’an Surah al-Anam ayat 112 di sebutkan.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا شَيَٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ يُوحِي بَعۡضُهُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورٗاۚ
“Dan demikianlah kami jadikan bagian tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan dari jenis manusia dan jenis jin. Sebagian mereka membisikan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia “.
Dari cerita di atas, dapat kita pahami bahwa posisi seorang guru adalah sebagai pembanding bagi murid. Mungkin belajar autodidak tidak lah salah, akan tetapi harus sesuai manhaj dan ahwalnya para ulama.
Dalam satu maqolah di katakan;
ان العلم في صدور الرجال, ثم انتقل الى الكتب, وصارت مفاتحه بأيدي الرجال
Ilmu itu ada di hatinya para ulama, kemudian dibukukan, dan para ulama adalah kuncinya. Terkadang walaupun bisa membaca sendiri kitab-kitab atau buku pelajarannya namun tetap saja kita merasa kesulitan dalam memahaminya. Begitu juga apa yang kita pahami belum tentu sesuai dengan apa yang dimaksud oleh penulisnya.
Di sinilah peran guru itu sangat dibutuhkan. Meluruskan pemahaman yang keliru menjadi benar sesuai manhajnya para ulama terdahulu.