Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Alasan Wahabi Haramkan Peringatan Isra Mikraj

Avatar photo
69
×

Alasan Wahabi Haramkan Peringatan Isra Mikraj

Share this article

Pola bermazhab kaum Wahabi cenderung ekstrim. Mereka sangat kencang menyuarakan persoalan bid’ah terhadap mayoritas kaum muslimin di berbagai penjuru negeri.

Lebih-lebih, bila hal itu menyangkut soal tradisi, sebuah perkara yang mereka anggap telah menyalahi norma syariat agama. Mereka tak lelah, pun tak henti-hentinya mengkafirkan saudara muslim lainnya yang ikut serta melakukan perkara tersebut.

Dalam menjalankan kehidupan keagamaan sehari-hari, kita telah menyaksikan bagaimana antusiasme umat Muslim yang notabenenya Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah banyak berpartisipasi dalam menyambut dan memperingati momen-momen tertentu, seperti maulid nabi, Isra dan Mikraj dll. Demikian itu karena didominasi oleh keyakinan dan keimanan yang tertancap di benak mereka.

Seiring berjalannya waktu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih objektif terkait sebab yang menjadi gagasan utama kaum yang sebenarnya jumlah sedikit itu dalam menyatakan keharaman peringatan Isra Mikraj.

Pada dasarnya, aliran pemikiran mereka sama sekali tidak berlandaskan dalil yang kuat, tidak pula didasari oleh penelitian yang jujur, melainkan sekadar reaksi semata atas kesilauan dan kecenderungan nafsu yang menguasai hati mereka.

Baca juga: Tafsir Syekh Sya’rawi Surat Al-Isra’ 1, Mengapa Isra Mikraj Terjadi Malam Hari

Gugatan kaum Wahabi terkait keharaman peringatan Isra Mikraj ialah:

1. Perayaan Isra dan Mikraj adalah perkara batil.

2. Perbuatan tersebut tergolong kepada perkara bid’ah yang haram.

3. Kegiatan itu menyerupai tradisi Yahudi dan Nasrani.

Dengan ini, mereka menganggap bahwa tidak diperkenankan untuk ikut serta di dalam peringatan Isra Mikraj. Dalam fatwanya, nadzar seorang yang bertujuan menyembelih hewan pada tanggal 27 Rajab, tidak sah. Dan bila sudah terlanjur disembelih, maka haram dikonsumsi, karena termasuk kemaksiatan.

Dalil-dalil yang menjadi rujukan dasar pola berpikir mereka ialah al-Quran surat al-Maidah ayat 3 dan an-Nisa’ ayat 59.

 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

Artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Artinya, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Berdasarkan keyakinan mereka, maksud kembali kepada Allah, ialah kembali kepada apa yang Allah perintahkan melalui Nabi-Nya, pula kembali kepada sunnah Rasulullah Saw. Tak ada ayat begitu pun hadits yang menyarankan adanya peringatan Isra Mikraj.

Baca juga: Isra Mikraj 27 Rajab, Peristiwa Dadakan Berujung Dialog Nabi dengan Allah

Mereka juga merujuk kepada sabda Rasulullah saw. Dalam hal ini, mereka menukil sebuah riwayat yang termaktub dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab hadits lainnya.

عن عائشة رضي الله عنها قالت: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد)). وفي رواية لمسلم: ((من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد)). (رواه البخاري)

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa mencetuskan perkara baru yang belum pernah ada, maka hal itu tertolak.”

عن العرباض بن سارية قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة)). (رواه البيهقي في شعب الإيمان)

Dari Irbadh bin Sariyah berkata: Rasulullah Saw bersabda, “Hindarilah perkara-perkara baru, karena sungguh setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

ما روي أن النبي الله صلى الله عليه وسلم قال: ((ما أحدث قوم بدعة إلا رفع مثلها من السنة فتمسك بسنة خير من إحداث بدعة)). (مسند أحمد بن حنبل)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak sekelompok orang  mencetuskan hal baru, melainkan mereka telah keluar daripada sunnah. Maka dari itu, orang yang berbegang erat kepada sunnah-Ku lebih baik dari orang yang membuat-buat perkara baru.”

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَى اللَّهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ. (رواه ابن ماجه)

Rasulullah Saw bersabda, “Allah akan menolak seluruh amalan yang ahli bid’ah hingga ia meninggalkan kebid’ahannya.

Kemudian mereka juga berpikir dengan merujuk pada kaidah istishhab. Sayyid Dr. Abdurrahman Assegaf memberikan definisi mengenai istishhab sebagai berikut:

الاستصحاب بمعنى ثبوت أمر في الزمان الثاني لثبوته في الزمان الأول.

“Istishab ialah menerapkan hukum di zaman kedua dengan hukum yang telah ditetapkan di zaman pertama.”

Kaum Wahabi berdalih dan merujuk kepada asal di zaman Nabi Saw, di mana peringatan Isra Mikraj tak dibenarkan. Maka tidak sepatutnya dikatakan, “Ibadah ini disyariatkan, kecuali bila ada nash Al-Qur’an dan Sunnah yang melarangnya.”

Juga tidak boleh dikatakan, “Isra Mikraj boleh karena dilihat dari segi kemaslahatan, atau dari segi qiyas maupun ijtihad.”

Menurut mereka, sebab tidak diperbolehkannya hujjah tersebut, karena ini menyangkut ibadah, dan ibadah merupakan perkara tauqifiyyah, sehingga tak ada celah untuk mengaplikasikan ijitihad dan qiyas dalam ruang lingkup ibadah.

Logika Kaum Wahabi Melihat Isra Mikraj

Pernyataan yang kian sering disampaikan mereka ialah, bila perkara ini (peringatan Isra Mikraj) dianjurkan oleh syariat, maka sudah sepantasnya tokoh utama yang berhak memperingatinya ialah Nabi Muhammad Saw. Hal ini bila dilihat dari segi peristiwa Isra dan Mikraj.

Namun, bila peringatan ini diselenggarakan dalam rangka mengingat nikmat yang diberikan Allah kepada Rasulullah Saw, serta bertujuan untuk menghidupkan malam Isra Mikraj, maka tokoh yang lebih berhak melakukannya ialah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali disusul para tabi’in, tabi’ tabi’in, lalu imam-imam besar lainnya. Namun, tak ada satu pun dari mereka melaksakan peringatan tersebut.

Imam Samarqandi menukil perkataan Ibnu Nuhas dalam kitab Tanbihul Ghalifilin. Komentar Ibnu Nuhas terkait peringatan Isra Mikraj dinilai tak bertata karma, dan jauh dari koridor akhlak Nabi.

أن الاحتفال بهذه الليلة بدعة عظيمة في الدين، ومحدثات أحدثها إخوان الشياطين.

“Semarak peringatan malam Isra Mikraj ini merupakan bid’ah besar dalam agama, dan termasuk perkara-perkara baru dicetuskan oleh saudara-saudara setan.”

Baca juga: Sisi Lain Kisah Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw

Begitulah serangkaian dalil yang acap kali dilontarkan oleh kaum Wahabi ketika ditanya mengenai hukum peringatan malam Isra Mikraj. Kesimpulan yang mereka cetuskan ialah:

1. Peringatan ini belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw, maka hal itu bid’ah.

2. Bila perkara ini disyariatkan agama, maka sudah semestinya para sahabat lebih dulu melakukan hal tersebut.

3. Peristiwa dan Mikraj tak ditetapkan pada hari-hari tertentu.

4. Peringatan ini memicu kegundahan dan kemunkaran.

5. Agenda peringatan Isra Mikraj mengandung penuturan kisah Ibnu Abbas yang dusta.

Demikian paparan lengkap mengenai fakta paradigma yang dianut kaum Wahabi. Hal itu menggambarkan sikap keras kepala mereka yang mengabaikan fakta-fakta penting dalam bermazhab. Maka, benar-benar salah kaprah bila kita mengikuti pola fikir mereka yang keliru dan penuh dengan keraguan.

Seorang muslim sejati tak pantas menganggap bahwa teori yang dibangun kaum Wahabi itu adalah benar, walau tak dipungkiri, jika mereka mengambil dalih berlandaskan Al-Qur’an, Sunnah, dll.

Namun, keilmuan mereka belum mumpuni dalam menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari dalil-dalil tersebut. Jalan yang ditempuh mereka berkelak kelok, rancu, dan tak ada kebenaran yang menyinari hati dan logikanya. Wallahu a’lam bis Showab.

Referensi:

1. Al-Ahkam Asy-Syariyyah ba’dhu Al-Adhat Al-Hadhramiyyah, karya Dr. Fuad Amr bin Syeikh Abu Bakar.

2. Al-Madhkhal ila Ushul Al-Fiqh, karya Sayyid Dr. Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir As-Seggaf.

3. Tanbiih Al-Ghafilin, karya Abu Laits As-Samarqandi Al-Hanafi.

Kontributor

  • Faisal Zikri

    Pernah nyantri di Daarul 'Uulum Lido Bogor. Sekarang meneruskan belajar di Imam Shafie Collage Hadhramaut Yaman. Suka membaca, menulis dan sepakbola.