Mari kita sama-sama perhatikan hadits
shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia mendengar Rasulullah saw.
bersabda:
توضؤوا مما مست النار
“Berwudhulah kalian setelah
(memakan) makanan yang terkena api.” (HR.
Muslim)
Hadits ini shahih, tercantum di kitab
hadits tershahih kedua yang dimiliki kaum muslimin setelah Shahih al-Bukhari, yaitu Shahih Muslim.
Tapi, pertanyaannya adalah apakah
setelah mengetahui hadits ini shahih lantas langsung bisa kita gunakan dan
simpulkan sendiri?
Kalau kita lihat dari zhahir haditsnya,
pemahaman gampang-gampangannya begini. Kalau kita makan jagung bakar, ayam bakar
atau sate maka kita harus berwudhu lagi ketika ingin beranjak shalat. Karena Nabi sendiri yang memerintahkan kita untuk berwudhu setelah
mengkonsumsi sesuatu yang bersinggungan dengan api, dan haditsnya shahih.
Tapi apakah seperti ini yang dipahami
oleh jumhur ulama kita? Jawabannya tidak.
Mereka mengatakan bahwa wudhu kita tidak
batal hanya karena memakan sate atau ayam bakar.
Mengapa mereka tidak menggunakan hadits
shahih ini? Apakah para ulama fikih kita tidak tahu keshahihan hadits ini?
Ternyata mereka sangat tahu hadits ini.
Bahkan tidak hanya tahu kualitasnya, mereka sampai mengetahui seluruh
seluk-beluk hadits ini, dari sebab keluarnya, kapan keluarnya, dan lain-lain. Hanya
saja mereka tidak mengamalkannya, karena mereka tahu bahwa hukum yang ada di
hadits shahih ini telah dimansukh (dihapus) dengan hadits Sahabat Jabir yang
datang belakangan.
Mengapa mereka tahu ada hadits yang menggantikan hukumnya?
Karena mereka hafal dan paham
banyak hadits.
Jadi, memastikan kevalidan suatu hadits
itu baru tahap awal untuk menjadi sebuah hukum. Ada
metode rumit dan pertimbangan dalil lain yang harus dilewati. Kalau diibaratkan,
memastikan kevalidan hadits itu sama seperti memastikan adanya beras untuk
membuat nasi goreng, harus dimasak dulu, disiapkan bumbunya, digoreng kemudian
diaduk dan seterusnya.
Jika suatu saat kita menemukan sebuah hadits
yang shahih, maka langkah selanjutnya adalah bertanya, “Apa komentar ulama tentang hadits ini?”
Jangan biasakan nyelonong menyimpulkan sendiri tanpa lihat kanan kiri.
Sudah semangat mengamalkan, ternyata
haditsnya telah dimansukh (dihapus hukumnya)
atau ditakhsis (diperkhusus cakupannya).
Jika Ingin mengetahui tentang hukum-hukum, dan kita belum
menguasai metode istidlal
(menarik kesimpulan), maka sebaiknya kita merujuk ke kitab-kitab fikih, bukan kitab-kitab hadits.
Karena kitab-kitab fikih adalah intisari dari ijtihad
panjang para ulama terhadap sekian banyak dalil. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.