Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Bantahan ulama Ahlus Sunnah atas larangan memperingati Isra Mikraj

Avatar photo
20
×

Bantahan ulama Ahlus Sunnah atas larangan memperingati Isra Mikraj

Share this article

Kita telah mengetahui bagaimana satu kelompok yang terhitung minoritas di berbagai penjuru negeri telah menyebarkan pemahaman yang keliru terkait persolan tradisi kepada sejumlah umat Islam. Mereka mengeksploitasi pemahaman baru untuk melemahkan seruan Islam di hati kaum Muslimin.

Lalu, apalagi yang tersisa dari keimanan bila seseorang mengingkari konsep hakikat Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam agamanya? Bukankah Islam mengajarkan kita untuk bersatu, dan tak terpecah belah menjadi beberapa ajaran?

Para pengusung gagasan mazhab kaum minoritas itu telah kehilangan dua hakikat sekaligus: mereka kehilangan hakikat agama, juga tidak mendapat hakikat keimanan.

Seandainya mereka bersikap jujur dan ikhlas karena Allah dalam berdakwah, niscaya mereka akan menghentikan pemikirannya, dan beralih kembali kepada kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Baca juga: Alasan Wahabi Haramkan Peringatan Isra Mikraj

Setelah menelaah dalil-dalil yang dijadikan gagasan utama kaum minoritas dalam beragumen mengenai keharaman peringatan Isra dan Mikraj, mayoritas ulama yang notabenenya Ahlus sunnah bersepakat untuk memberikan bantahan dan mematahkan seluruh dalil mereka. Gugatan mereka dinilai tidak substansial, pada nyatanya banyak umat muslim yang melakukannya.

Menurut para ulama otoritatif di kalangan Sunni, tradisi peringatan Isra dan Mikraj adalah perkara mubah, bahkan dianjurkan dalam syariat. Demikian itu karena kegiatan di dalamnya tak terlepas dari sebuah perkumpulan sejumlah manusia, bertatap muka, menyambung silaturahmi serta saling menyapa, melantunkan qasidah bersama, menuturkan kisah Nabi ketika Isra dan Mikraj ke sidratul muntaha, dan ada pula penyampaian untaian nasihat juga pelajaran-pelajaran lainnya.

Simpulan yang disepakati jumhur ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, di antaranya:

1. Perkara ini termasuk kategori bid’ah hasanah, sebab terdapat kebaikan di dalamnya.

2. Pelaku kegiatan ini tidak perlu berlandaskan dalil khusus, demikian itu karena peringatan ini adalah perkara mubah.

Penuturan kisah Isra dan Mikraj merupakan perkara yang dianjurkan dalam syariat, dan tak ada perbedaan pendapat mengenai hal tersebut.

Persoalan bahwa kaum minoritas mengharamkan perayaan Isra dan Mikraj dengan merujuk terhadap kitab-kitab tafsir dan hadits, kaidah ushul, serta akal logika, dapat mudah dijawab oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Berikut penjabarannya:

Membantah larangan perayaan Isra Mikraj

Meski hukum sebuah perayaan tidak tercantum secara nash dalam syariat, setidaknya ada beberapa dalil yang menunjukan atas keabsahannya:

1. Perayaan Rasulullah Saw mengingat keselamatan Nabi Musa dan tenggelamnya Fir’aun.

2. Perayaan seorang sahabat Nabi yang bernadzar untuk memukul rebana selepas kepulangan Rasulullah Saw dengan selamat dari medan perang.

3. Puasanya Rasulullah Saw pada hari senin sebagai tanda terima kasih kepada Allah swt atas hari kelahirannya.

Bantahan terkait dalil al-Quran

Pihak penggugat mengambil dalih merujuk kembali kepada firman Allah swt,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا (المائدة:3)

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”

Dalih mereka, tak boleh menambahkan sesuatu yang baru dalam agama, karena Allah telah menegaskan sendiri dalam firman-Nya, bahwa Ia telah menyempurnakan agama, dan perayaan Isra dan Mikraj adalah perkara baru yang tak ada dalam syariat.

Baca juga: Isra Mikraj, shalat, dan graduasi tata caranya

Menanggapi syubhat di atas, begini jawaban Ahlus Sunnah, “Ayat ini tidak bisa dijadikan dalil mengenai keharaman peringatan Isra dan Mikraj, sebab seorang muslim meyakini bahwa Allah swt telah menyempurnakan agama-Nya beserta ushul dan kaidah-kaidah umum, tidak beserta persoalan-persoalan yang silih berganti setiap zaman.”

Bantahan terkait dalil hadits Nabi

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ  قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ. (رواه مسلم).

Dari Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim)

Menurut mereka, Nabi Saw telah menegaskan dengan jelas, bahwa setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. Begitupun sama halnya dengan perayaan Isra dan Mikraj.

Perlu kita ketahui secara seksama, bid’ah yang dilarang itu memiliki 2 syarat, yaitu: belum pernah dilakukan di masa kenabian dan para sahabat, dan bertolak belakang dengan dalil-dalil syariat, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak, Qiyas.

Setelah kita memahami hal tersebut, maka kita nyatakan bahwa peringatan Isra dan Mikraj tidak termasuk sebagai bid’ah yang sesat, melainkan bid’ah yang baik (hasanah). Sebab, seluruh agenda di dalamnya terdapat kebaikan-kebaikan yang dianjurkan syariat, seperti membaca shalawat, untaian nasihat dll.

Bantahan terkait dadlil Istishab

Istishab yang mereka jadikan dalil kurang tepat, sebab Istishab hanya berlaku bagi seorang yang membuat ibadah baru dalam syariat, sehingga dapat dihukumi haram. Lain halnya dengan sebuah perayaan, yang mana hal ini berasal dari adat istiadat dan telah berlaku sejak zaman dahulu. Lantas, sebuah adat pun mampu berganti menjadi ibadah bila diiringi dengan niat. Imam Ibnu Ruslan menuturkan,

لكن إذا نوى بأكله القوى      على طاعة الله له قد نوى

“Tetapi apabila ia makan dengan niat memulihkan tenaga agar membantunya taat kepada Allah, maka ia akan mendapat apa yang ia niatkan.”

Bantahan terkait dalil logika

Menyikapi gugatan logika yang dipaparkan kaum minoritas, “Bila peringatan Isra dan Mikraj dianjurkan oleh syariat, maka sudah sepantasnya tokoh utama yang berhak memperingatinya ialah Nabi Muhammad Saw.”

Maka kita jawab, sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw belum tentu dilarang atau tidak boleh. Layaknya puasa Daud, tak ada riwayat bahwa Nabi melaziminya. Meski demikian, tidak menjadikan puasa Daud haram karena Nabi tak mengerjakannya. Bahkan, hal itu beliau anjurkan terhadap sahabat yang bertanya kepada-Nya mengenai amalan sunnah.

Baca juga: Tafsir Syekh Sya’rawi Surat Al-Isra’ 1

Adapun perkataan mereka, “Bila peringatan ini bertujuan dalam rangka mengingat nikmat yang diberikan Allah kepada Rasulullah Saw, maka tokoh yang lebih berhak melakukannya ialah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.”

Kita jawab, sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh Sayyidina Abu Bakar tidak berarti bahwa itu haram. Tidakkah kita melihat, bahwa Sayyidina Umar bin Khattab ra telah melakukan perkara baru yang belum pernah dilaksanakan oleh Abu Bakar di masa pemerintahannya, yaitu dengan mempersatukan shalat tarawih dengan berjama’ah dll.

Berdasarkan pernyataan di atas, kita mengetahui bahwa setiap argumen yang dilontarkan oleh pihak minoritas dapat dijawab dengan mudahnya oleh mayoritas ulama Sunni. Demikianlah kesimpulan jawaban-jawaban yang dipaparkan ulama dengan metode pengambilan hukum dari al-Qur’an, hadits, ijmak, juga qiyas. Wallahu A’lam bis Showab.

Referensi:

1. Al-Ahkam Asy-Syariyyah ba’dhu Al-Adhat Al-Hadhramiyyah, karya Dr. Fuad Amr bin Syeikh Abu Bakar.

2. Al-Anwar Al-Bahiyyah min Isra wa Mikraj Khairul Bariyyah, karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki.

3. Al-Bida’ Al-Hauliyyah, karya Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At-Tawizri.

4. Mu’jam Al-kabir, karya Imam Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani.

5. Umdatul Qori Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Imam Badruddin Al-Aini Al-Hanafi.

Kontributor

  • Faisal Zikri

    Pernah nyantri di Daarul 'Uulum Lido Bogor. Sekarang meneruskan belajar di Imam Shafie Collage Hadhramaut Yaman. Suka membaca, menulis dan sepakbola.