Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Cara Mencegah Insecure menurut Imam al-Ghazali

Avatar photo
41
×

Cara Mencegah Insecure menurut Imam al-Ghazali

Share this article

Berkembangnya zaman dan teknologi merupakan sebuah fenomena yang sangat dinikmati oleh manusia. Meski telah memberikan kepuasan diri terhadap jasmani manusia, namun, masih banyak problem bersifat mental yang dialami dan berada di luar jangkauan teknologi. Misalnya, problem kecemasan dan kurangnya percaya diri atau disebut dengan “insecure”.

Saat ini hampir setiap orang mengalami rasa insecre, didapati bahwa perasaan insecure tersebut sangat beragam. Ada yang insecure karena harta, ada yang insecure karena kedudukan, dan bahkan ada yang karena paras. Semua ini mengindikasikan satu hal yang terabaikan yakni rasa syukur, yang dalam hal ini sebagai solusi untuk mencegah perasaan insecure, khsusunya syukur perspektif al-Ghazali.

Lebih lanjut tentang insecure, Abraham Maslow (1942: 33) dalam penelitiannya yang berjudul “The Dynamics of Psychological Security-Insecuriey” mendefinisikan insecure dengan suatu keadaan di mana individu merasa tidak aman, menganggap dunia sebuah hutan yang megerikan, mengancam dan beranggapan bahwa mayoritas manusia berbahaya dan egois. Pada umunya, orang yang mengalami gejala insecure merasa ditolak dan teriolasi, cemas, pesimis, tidak bahagaia, merasa bersalah, tidak percaya diri, egois dan cenderung neurotic.

Sedangkan faktor yang menjadi penyebab insecure, sebagaimana dijelaskan oleh Malanie Greenbreg dalam artikel yang berjudul “The 3 Most Common Causes of Insecurity and How to Beat Them” ialah; pertama, karena kegagalan atau disebabkan oleh penolakan peristiwa yang baru terjadi, yang memberikan pengaruh besar terhadap suasana hati dan perasaan manusia tentang dirinya sendiri. Dikarenakan ketidakbahagiaan berdampak pada self-esteem, kegagalan dan penolakan tersebut dapat berdampak dua kali lipat pada ketidakpercayaan diri.

Kedua, karena mengalami kecemasan dalam aspek sosial. Semisal takut karena dievaluasi orang lain, hal ini dapat menyebabkan rasa cemas yang pada akhirnya membuat individu menghindar dari situasi sosial karena merasa tidak nyaman. Ketiga, perasaan insecure yang didorong oleh sifat perfeksionisme atau memiliki keyakinan harus menjadi sempurna untuk mencapai kondisi terbaik dari segi fisik ataupun non-materi.

Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa individu yang memiliki perasaan insecure pada dasarnya masih belum bisa menerima apa yang terjadi dan menimpa pada dirinya, sebagaimana sifat perfeksionisme, jika individu merasa dirinya tidak terlihat sempurna di mata orang lain, maka rasa insecure itu pun akan datang. Oleh sebab itu, di sinilah perlunya untuk bersyukur.

Secara etimologi, kata “syukur” (شكور) merupakan derivasi dari syakara-yasykuru-syukuran, yang sighatnya adalah masdar. Dalam kamus al-Munawwir (1997: 734), “syakara” memiliki makna berterima kasih, semoga Allah memberi kamu pahala dan memuji. Adapun secara terminologi, menurut Imam al-Qusyairi (2009: 97) dalam “Risalah al-qusyairiyah”, hakikat daripada syukur adalah pengakuan atas nikmat Allah Yang Maha Pemberi nikmat, dengan jalan ketundukan.

Adapun konsep syukur seperti dijelaskan al-Ghazali dalam kitab “Ihya’”-nya (al-Ghazali, Vol. 4, 2017: 109), merupakan salah satu maqam para salik untuk brmakrifat kepada Allah swt. Syukur, menurut al-Ghazali tersusun dari tiga komponen yakni tersusun dari ilmu, hal (keadaan) dan amal.

Penjelasan yang lebih luas dengan ketiga komponen tersebut ialah sebagai berikut:

Pertama: lmu, yaitu pengetahuan tentang nikmat dan pemberinya, serta meyakini bahwa semua nikmat berasal dari Allah SWT dan yang lain hanya sebagai perantara untuk sampainya nikmat, sehingga akan selalu memuji Allah SWT dan tidak akan muncul keinginan memuji yang lain. Sedangkan gerak lidah dalam memuji-Nya hanya sebagai tanda keyakinan.

Kedua: Hal, yaitu (kondisi spiritual), yaitu karena pengetahuan dan keyakinan tadi melahirkan jiwa yang tentram. Membuatnya senantiasa senang dan mencintai yang memberi nikmat, dalam bentuk ketundukan, kepatuhan, mensyukuri nikmat bukan hanya dengan menyenangi nikmat tersebut melainkan juga dengan mencintai yang memberi nikmat yaitu Allah SWT.

Ketiga: Amal perbuatan yang dihasilkan dari rasa bahagia karena mengetahui dzat Yang Maha Pemberi Nikmat. Hal ini berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan, yakni hati yang berkeinginan untuk melakukan kebaikan, lisan yang menampakkan rasa syukur dengan memuji kepada Allah swt serta anggota badan yang menggunakan nikmat-nikmat Allah swt dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Yang dimaksud syukur dengan anggota badan, mata, misalnya, yaitu dengan menutup setiap aib yang dilihat. Syukur dengan telinga yaitu menutup dari segala aib yang didengar dan syukur dengan lisan yaitu menampakkan ridha atas segala yang datang dari Allah swt.

Dengan demikian, setiap individu dapat mencegah dirinya dengan komponen yang pertama yakni mengetahui dan meyakini bahwa apa yang dimiliki, datang dan yang terjadi pada dirinya sekarang merupakan nikmat yang datangnya dari Allah swt. Sehingga, dari keyakinan dan pengakuan tersebut dapat menumbuhkan rasa bahagia dan senang kepada Allah dan dirinya sendiri yang dalam hal ini merupakan komponen yang kedua. Dalam hal ini rasa insecure tentunya akan menghilang sedikit demi sedikit karena timbul rasa percaya diri pada diri individu.

Kemudian, pada komponen ketiga, ketika individu telah memiliki keyakinan dan kecintaan kepada Allah maka, secara otomatis hati individu tersebut tersentuh dan tergerak untuk berkeinginan melakukan kebaikan. Sehingga dari lisannya akan mengucapkan hal-hal baik yang dapat memberikan nilai kepercayaan pada dirinya. Tidak hanya itu, ia akan melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sehingga, secara tidak langsung ia akan merasa bersyukur atas segala nikmat yang dimilikinya.

Kesimpulannya, rasa insecure bisa diredam dengan cara bersyukur sebab dalam syukur, terutama syukur perspektif al-Ghazali memiliki tiga komponen yang dapat mengembalikan percaya diri yakni komponen yakin bahwa segala sesuatu dari Allah, yang nantinya akan berbuah rasa senang dan bahagia. Rasa senang dan bahagia tersebut berbuah amal yang dalam hal ini, individu akan melakukan hal-hal positif yang dapat meningkatkan percaya diri dan menghilangkan rasa insecure.

Kontributor

  • Lukman El Hakim

    Mahasiswa Ilmu Al Qur'an dan Tafsir STAI Al Fithrah Surabaya. Menyukai kajian tafsir, keislaman dan diskusi turats.