Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Dusta Mimpi Bertemu Nabi: Penipuan Atas Nama Allah dan Rasul

Avatar photo
24
×

Dusta Mimpi Bertemu Nabi: Penipuan Atas Nama Allah dan Rasul

Share this article

Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi disebutkan Ru’ya Shadiqah disebut sebagai bagian dari nubuwwah. Di antara mimpi yang benar itu adalah mimpi bertemu Nabi, dan nubuwwah hanya datang dari Allah (bagian dari wahyu).

Barang siapa berbohong bahwa dia mendapatkan Ru’ya Shadiqah dengan mengaku bermimpi bertemu Nabi, maka ia telah berbohong bahwa Allah telah memperlihatkan sesuatu kepadanya, padahal tidak. Dan berbohong atas nama Allah jauh lebih besar dosa dan kekejiannya daripada kebohongan biasa.

Di dalam Sahih Al-Bukhari disebutkan sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda:

 مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلُمٍ لَمْ يَرَهُ كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ، وَلَنْ يَفْعَلَ» رواه البخاري وقوله: «تَحَلَّمَ بِحُلُمٍ» تكلف الحلم أو ادعى أنه رأى حلمًا. و«كُلِّفَ»: أي يوم القيامة، وذلك التكليف نوع من العذاب. و«يَعْقِدَ» يوصل. و«لَنْ يَفْعَلَ» لن يقدر على ذلك، وهو كناية عن استمرار العذاب عليه.

Barang siapa mengaku-aku telah bermimpi sesuatu padahal ia tidak bermimpi seperti yang dikatakannya, ia akan disiksa di akhirat dengan siksa yang terus-menerus. Siksa ini diistilahkan dengan menggabungkan dua butir biji gandum, dan dia tidak akan pernah bisa melakukannya, mengisyaratkan suatu adzab yang terus-menerus.”

Imam Bukhari juga meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda:

 مِنْ أَفْرَى الْفِرَى أَنْ يُرِىَ عَيْنَيْهِ مَا لَمْ تَرَ» رواه البخاري. قوله: «أفْرَى الفِرَى» أشد الكذب وأكذب الكذبات، والفِرَى جمع الفِريَة وهي الكذبة الفادحة التي يُتعجَّب منها. و«يُرِي عَيْنَيْه» يدَّعي أنه رأى رؤيا وهو لم ير شيئًا

Baca juga: Jangan Mudah Menuduh Munafik dan Pentingnya Belajar Sirah Nabi

Hadits di atas menjelaskan bahwa mengaku telah bermimpi melihat sesuatu, padahal tidak, merupakan seburuk-buruknya kebohongan yang diistilahkan dengan “Afral Fira” atau kebohongan paling dusta.

Imam Bukhari bahkan membuat bab khusus mengenai kebohongan mimpi ini: “Babu Man Kadzaba Fi Hulmihi (Orang yang berbohong dalam Mimpinya).”

Ibnu Hajar, pensyarah kitab Sahih Al-Bukhari mensyarah judul bab ini dengan mengatakan, “Bab tentang dosa orang yang berbohong dalam mimpinya.”

Imam Ath-Thabari mengatakan meskipun berdusta tentang sesuatu di luar mimpi bisa berakibat fatal karena berpotensi menghilangkan nyawa orang dan kerusakan lainnya, tetapi kebohongan mengenai mimpi juga tidak kalah berbahaya, sehingga ada peringatan keras mengenai hal ini di dalam agama. Bagaimanapun, berbohong tentang mimpi adalah kebohongan atas nama Allah.

Dusta Mimpi Bertemu Nabi: Kebohongan Atas Nama Allah dan Rasulullah

Jika di atas disebutkan bahwa orang yang berbohong mengenai “Ru’ya Shadiqah” merupakan pendusta yang paling keji karena “mimpi yang benar” merupakan bagian dari nubuwwah yang datang dari Allah, dan ia berani berbohong atas nama Allah. Jika ada orang yang berbohong telah bermimpi berjumpa dengan Rasulullah saw dan bahwa beliau memberi wasiat tertentu atau mengatakan dan memberikan isyarat, maka kedustaanya menjadi berlipat, karena ia berdusta dengan mengatasnamakan Rasulullah saw. Na’udzu billah min dzalik.

Imam Muslim dan Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:

 ومن رآني في المنام فقد رآني ، فإن الشيطان لا يتمثل في صورتي

“Barang siapa melihatku dalam mimpi, berarti dia betul-betul telah melihatku. Karena setan tidak dapat menjelma dalam rupaku.”

Hadits di atas menjelaskan bahwa jika para sabahat melihat Nabi dalam mimpi, maka mereka betul-betul berjumpa dengan beliau karena setan tidak akan bisa menyerupai wujud Rasulullah saw.

Banyak orang yang tidak mempelajari syarah dan penjelasan mengenai hadits ini secara detail, sehingga jika ada orang mengaku berjumpa dengan baginda Rasulullah dalam mimpi, banyak orang akan mempercayainya.

Jika orang yang mengaku telah bermimpi berjumpa dengan Rasulullah saw itu ternyata berbohong, maka akibatnya bisa sangat fatal.

Baca juga: Kisah Pegulat Menjadi Wali Berkat Cinta Pada Keturunan Nabi

Tentu orang berdusta memiliki motif buruk di belakangnya; mencari ketenaran, mencari legitimasi atas sesuatu, dan lain sebagainya. Jika motif-motif buruk itu kemudian dilegitimasi dengan kebohongan telah bermimpi berjumpa Rasulullah, maka kerusakan yang ditimbulkannya bisa semakin besar.

Jangan lupa, hadits di atas itu masih ada sambungannya. Yakni sabda beliau:

 ومن كذب عليَّ متعمدًا فليتبوأ مقعده من النار

“Barang siapa berdusta atas namaku, maka siap-siaplah bertempat di neraka.”

Peringatan Nabi mengenai bahaya orang berdusta atas nama beliau yang sering kita dengar ini, merupakan bagian dari hadits tentang bermimpi berjumpa Nabi.

Melihat redaksi dan letak peringatan dalam hadits yang sama mengenai bermimpi berjumpa dengan Nabi, seharusnya membuat orang tidak lagi berani bermain-main dan berdusta dalam urusan ini, karena ancamannya adalah neraka.

Apakah Setan Berani Mengaku Diri Sebagai Nabi dalam Mimpi?

Kita perlu membahas mengenai apakah setiap orang yang bermimpi bertemu Nabi itu telah mendapatkan Ru’ya Shadiqah. Pasalnya, ada hadits yang menerangkan bahwa jika seseorang berjumpa dengan Rasulullah, maka ia betul-betul bertemu beliau. Sedangkan setan tidak bisa menyerupai beliau.

Ataukah ada kemungkinan setan berani mengaku sebagai Rasulullah—dengan tetap tidak bisa menyerupai wujud fisik beliau.

Sebelum membahas apakah setan bisa mengaku dirinya sebagai Rasulullah saw dan menemui seseorang dalam mimpi, kita perlu mengingat bahwa di dalam kehidupan nyata, ada manusia yang mengaku sebagai tuhan, juga ada manusia yang mengaku sebagai nabi. Fi’aun mengaku sebagai tuhan, Musailamah mengaku sebagai nabi.

Banyak pula riwayat mengenai dua orang alim yang berselisih tentang mana yang lebih buruk antara orang alim yang fasik dan orang bodoh ahli ibadah. Mereka kemudian berpura-pura memberikan wahyu kepada dua orang tersebut.

Terbukti bahwa orang alim yang masih fasik itu lebih baik daripada orang bodoh yang ahli ibadah. Karena si bodoh percaya bahwa yang didengarnya adalah suara tuhan.

Kisah ini di antaranya disebutkan dalam kitab Maraqil ‘Ubudiyah karya Syaikh Nawawi.

Dalam riwayat yang populer juga disebutkan bahwa ada setan yang mengganggu Al-‘Alim Wailyullah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dengan cara mengaku Tuhan.

Mengenai kisah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani ini, berikut teks dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, ulama salafi (Wahabi) dari Syria dalam salah satu fatwanya mengenai kemungkinan setan berani mengaku sebagai Tuhan dan Rasulullah:

 وقد وقع أعظم من ذلك للشيخ عبد القادر الجيلاني رحمه الله حيث رأى جالساً على عرش بين السماء والأرض يقول له : أنا ربك ؟ فقال: اخسأ عدو الله إنك إبليس . فقال : كيف عرفت أني إبليس قال : لأن الله عز وجل لا نراه في الدنيا حتى نموت ، ولأنك قلت : أنا ربك ، ولم تجرؤ أن تقول : أنا الله

Baca juga: Kisah Nabi Adam Saat Pertama Kali Turun ke Bumi

Sebagaimana Dajjal dan Fir’aun, setan juga berani mengaku sebagai tuhan untuk menyesatkan manusia. Maka ia juga pasti berani mengaku sebagai nabi. Setan juga berani mengaku sebagai Rasulullah saw dalam mimpi seseorang yang tidak pernah melihat fisik Nabi serta tidak mengaji mengenai sifat-sifat fisik beliau dalam kitab-kitab hadits—lalu mengajarinya sesuatu yang menyimpang.

Syaikh Shalih Al-Munajjid berkata, “Bisa saja setan menjumpai seseorang dalam mimpi maupun dalam keadaan terjaga, lalu mengaku dirinya adalah Rasulullah saw. Orang bodoh yang tidak mengerti sifat-sifat nabi, tidak mengerti ajaran Islam secara mendalam, bisa saja tertipu oleh setan itu.”

Bisa jadi setan akan menampakkan diri sebagai orang yang berwibawa dan bercahaya, lalu orang bodoh percaya bahwa itu adalah Rasulullah saw, karena tidak pernah berjumpa langsung dengan beliau. Berbeda dengan para sahabat yang pernah berjumpa langsung.

Ibnu Taimiyah mengatakan jika ada orang (bukan sahabat nabi) mengaku bertemu Rasulullah saw dengan ciri-ciri yang tidak sesuai yang dikabarkan dalam hadits-hadits sahih, maka yang dilihatnya itu adalah setan yang berdusta. Artinya, setan berani mengaku sebagai Rasulullah saw dalam mimpi seseorang.

Ibnu Baz, ulama rujukan kerajaan Saudi berfatwa bahwa setan bisa dan berani berbohong mengaku sebagai Rasulullah saw dalam mimpi seseorang. Setan tidak akan bisa menyerupaki fisik beliau tetapi ia berani mengaku-ngaku.

Baca juga: Keutamaan Ziarah ke Makam Imam Asy-Syafi’i sesudah Ashar Hari Jumat

Betikut ini teks fatwa Ibnu Baz:

 أما من رآه عليه الصلاة والسلام على غير صورته فإن رؤياه تكون كاذبة كأن يراه أمرد لا لحية له، أو يراه أسود اللون أو ما أشبه ذلك من الصفات المخالفة لصفته عليه الصلاة والسلام؛ لأنه قال عليه الصلاة والسلام: «فإن الشيطان لا يتمثل في صورتي» فدل ذلك على أن الشيطان قد يتمثل في غير صورته عليه الصلاة والسلام ويدعي أنه الرسول صلى الله عليه وسلم من أجل إضلال الناس والتلبيس عليهم. ثم ليس كل من ادعى رؤيته صلى الله عليه وسلم يكون صادقًا، وإنما تقبل دعوى ذلك من الثقات المعروفين بالصدق والاستقامة على شريعة الله سبحانه،

Klaim tentang berjumpa dengan Rasulullah saw dalam mimpi juga tidak boleh diterima dari setiap orang. Para ulama mengatakan, yang boleh diterima klaimnya adalah orang yang shalih, dan berjalan di atas ilmu dan syariat Islam yang benar.

Bagaimanapun juga, mimpi itu bermacam-macam. Tidak semuanya pasti benar dan merupakan bagian dari nubuwwah. Dalam Sahih Muslim disebutkan hadits, di mana Rasulullah saw bersabda:

 وَالرُّؤْيَا ثَلاَثَةٌ: فَرُؤْيَا الصَّالِحَةِ بُشْرَى مِنَ اللهِ، وَرُؤْيَا تَحْزِينٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَرُؤْيَا مِمَّا يُحَدِّثُ الْمَرْءُ نَفْسَهُ

Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah menafsirkan hadits di atas dengan mengatakan: bahwa mimpi, bisa saja benar dari Allah sebagai “kabar gembira”, bisa juga dari setan, bisa juga sekadar bunga-bunga tidur.

Apa Tindakan Terhadap Pendusta Atas Nama Allah dan Rasul-Nya?

Adapun orang yang berbohong bermimpi berjumpa atau didatangi Rasulullah saw, maka ia adalah seorang pendusta besar. Ia berdusta atas nama Allah sekaligus atas nama Rasulullah saw.

Jika dalam kebohongannya, terbukti ia memiliki motif yang bisa menimbulkan kerusakan dan kegaduhan, maka pemerintahan yang sah perlu memberlakukan hukuman dan tindakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Tidak dibenarkan melakukan kebohongan demi kebaikan atas nama apapun; misalnya untuk menghibur orang, atau membuat orang lebih semangat dalam ber-Islam.

Dalam hal ini, Ibnu Hajar mengatakan, “Maksud larangan berdusta atas nama Nabi adalah janganlah kalian nisbatkan kebohongan kepadaku.”

Jadi tidak ada yang bisa dibenarkan melakukan dusta atas nama Allah dan Rasulnya seperti mengaku mimpi bertemu Nabi biar pun demi klaim “kebaikan”. Wallahu a’lam.

Kontributor

  • Ali Mashar

    Sekretaris Pimpinan Pusat MDS Rijalul Ansor