Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

ETOS KERJA QUR’ANI: UPAYA MENGEREM LAJU PENGANGGURAN SARJANA DI TANAH AIR

Avatar photo
442
×

ETOS KERJA QUR’ANI: UPAYA MENGEREM LAJU PENGANGGURAN SARJANA DI TANAH AIR

Share this article
ETOS KERJA QUR’ANI: UPAYA MENGEREM LAJU PENGANGGURAN SARJANA DI TANAH AIR
ETOS KERJA QUR’ANI: UPAYA MENGEREM LAJU PENGANGGURAN SARJANA DI TANAH AIR

Tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana menjadi isu yang tak henti diperbincangkan. Data dari BPS (2024) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,47 juta orang, di mana 11,28% atau 842.378 di antaranya merupakan lulusan perguruan tinggi (Taufiqurrahman, 2024). Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyebut mayoritas penganggur berasal dari kelompok usia muda 18–24 tahun yang tergolong NEET (Not in Education, Employment, or Training), yakni mereka yang tengah berada di masa transisi antara pendidikan dan dunia kerja (Safitri & Rezza, 2025).

Fenomena tersebut menciptakan skeptis dalam pandangan masyarakat terhadap pendidikan tinggi, yang semula diyakini sebagai jalan mobilitas sosial dan pengentasan kemiskinan, namun justru memperkuat stratifikasi sosial. Krisis kepercayaan ini dikhawatirkan menurunkan kualitas SDM dan memperburuk masalah pengangguran (Al-Hamimy, 2025). Padahal, Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya QS. Al-Mulk [67]: 15:

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ

Artinya: Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk[67]:15)

Menurut pandangan Al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, ayat ini menegaskan bahwa bekerja dan berusaha adalah fitrah manusia (Al-Zuhaili, 1999:23). Atas dasar ayat di atas, manusia mesti memanfaatkan potensi yang telah Allah anugerahkan di bumi dalam mencari rezeki sebagaimana generasi Muslim terdahulu yang mengembara demi penghidupan sekaligus menyebarkan dakwah Islam (Yunus, 2003:843). Kita dapat melihat ayat tersebut berkorelasi erat dengan tantangan mencari pekerjaan saat ini.

Persaingan kian ketat seiring bertambahnya lulusan baru, sementara industri semakin selektif dan menuntut sertifikasi serta keterampilan khusus yang tak selalu diajarkan di bangku perkuliahan. Kondisi ini menuntut lulusan tak hanya mengandalkan gelar, tetapi juga memiliki kompetensi yang sesuai kebutuhan industri. Kendatipun pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk mengatasi pengangguran, angka pengangguran masih relatif tinggi.

Lonjakan PHK juga turut memperparah kondisi ketenagakerjaan. Jika terus dibiarkan, fenomena ini berpotensi menghambat optimalisasi bonus demografi dan menjadi tantangan serius bagi terwujudnya visi Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu, diperlukan solusi strategis untuk mencetak lulusan yang siap kerja guna menekan angka pengangguran sarjana di Indonesia dengan membudayakan etos kerja Qur’ani.

Etos kerja Qur’ani tidak hanya mencakup kerja keras (‘amal), tapi juga niat yang benar (ikhlāṣ), ketekunan (ṣabr), kejujuran (ṣidq), profesionalitas (iḥsān), dan komitmen terhadap manfaat (nafa’). Etos ini bukan konsep abstrak, melainkan landasan perilaku generasi terbaik umat ini, termasuk para nabi dan sahabat. Kita bisa belajar dari keteladanan Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang unggul dalam tata kelola ekonomi, atau dari Rasulullah SAW yang dikenal sebagai “al-Amīn” bahkan sebelum diangkat menjadi nabi. Maka, kerja dalam Islam bukan semata mencari nafkah, melainkan menjalani amanah sebagai khalifah di bumi, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah [2]:30.

Dalam Islam, kerja bukan sekadar upaya ekonomi, tapi bagian dari ibadah dan amanah sebagai khalifah di bumi. Etos kerja Qur’ani berarti membangun produktivitas yang berpijak pada nilai, bukan sekadar angka.

Dalam konteks pengangguran sarjana, etos kerja Qur’ani berarti membangun karakter yang siap bekerja dengan kompeten sekaligus berintegritas. Tidak cukup hanya cerdas, lulusan juga perlu berakhlak kerja. Oleh karena itu, krisis ketenagakerjaan hari ini tidak hanya soal teknis atau ekonomi, tapi juga cermin krisis nilai dan karakter kerja. Inilah ruang kontribusi besar pendidikan Islam dalam membangun generasi produktif yang tidak hanya bisa kerja, tapi juga bermakna.

Maka, membangun budaya kerja berbasis Al-Qur’an berarti menanamkan nilai sekaligus merancang tindakan. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, dan kebermanfaatan bukan hanya untuk dibaca dalam kitab suci, tapi dihidupkan dalam sistem pendidikan, praktik industri, dan pilihan karier para lulusan. Etos kerja Qur’ani harus hadir dalam wujud nyata: dalam cara mahasiswa merancang masa depannya, dalam cara perguruan tinggi mendesain kurikulum, dan dalam cara negara mengarahkan potensi rakyatnya. Oleh karena itu, perlu dirumuskan langkah-langkah strategis yang menjembatani nilai dan realitas.

Pertama, mahasiswa perlu menyusun career path yang terstuktur dan visioner. Banyak lulusan yang cenderung terpaku pada penyelesaian studi semata, tanpa mempersiapkan diri terkait karier yang akan mereka jejaki setelah kelulusan. Oleh karena itu, mahasiswa perlu merancang planning yang jelas. Hal ini didasarkan QS. Al-Hasyr [59]:18 yang menegaskan pentingnya melakukan persiapan yang matang untuk masa depan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr [59]:18)

Kedua, perguruan tinggi perlu merevitalisasi kurikulum agar selaras dengan kebutuhan industri modern. Ini dapat dilakukan melalui integrasi kurikulum akademik dengan keterampilan industri, seperti magang wajib yang distandarisasi secara nasional serta akses sertifikasi profesional yang diakui oleh dunia kerja. Dengan begitu, lulusan memiliki pengalaman kerja yang kredibel. Inisiatif ini mendukung program Magang Studi Independen Bersertifikat (MSIB) dan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang digagas oleh Kemendikbudristek dengan tujuan memperkuat visi Indonesia dalam mencetak generasi unggul. Hal ini sejalan dengan QS. Az-Zumar [39]: 9 yang menegaskan pentingnya ilmu dan keterampilan dalam menentukan kualitas seseorang.

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ…

Artinya: “…Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”     (QS. Az-Zumar [39]: 9)

Ketiga, program Tenaga Kerja Mandiri (TKM) yang diinisiasi oleh Kementerian Ketenagakerjaan perlu ditransformasi dengan pendekatan yang lebih adaptif terhadap era digital. Selama ini, TKM masih berfokus pada pelatihan konvensional, padahal tantangan industri dan pola konsumsi terus berkembang. Integrasi teknologi digital menjadi langkah strategis untuk mencetak wirausaha mandiri yang tangguh, melek teknologi, dan kompetitif. Hal ini sejalan dengan QS. Al-Jumu’ah [62]: 10 yang mendorong kemandirian usaha, serta sabda Nabi Muhammad SAW. bahwa pekerjaan terbaik adalah hasil jerih payah sendiri.

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Rasulullah SAW. bersabda, “Tidak ada seorang yang memakan satu makananpun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud ‘alaihissalam memakan makanan dari hasil usahanya sendiri”. (HR. Bukhari, No. 2072)

Keempat, pentingnya pembangunan karakter kerja (work ethics) yang berpijak pada nilai-nilai akhlak Islam. Etos seperti amanah, disiplin, kerja sama, dan tanggung jawab harus menjadi bagian integral dari proses pendidikan. Allah Swt berfirman:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin…”( QS. At-Taubah [9]:105)

Ayat ini menjadi motivasi bahwa setiap amal, termasuk kerja, diawasi dan dinilai secara spiritual. Maka, bekerja dengan akhlak adalah bagian dari jalan menuju keberkahan hidup.

Fenomena pengangguran sarjana bukan sekadar persoalan minimnya lapangan kerja, melainkan cermin dari sistem pendidikan yang kurang adaptif dan ketimpangan kompetensi lulusan dengan tuntutan industri. Maka, solusi tidak cukup berhenti pada penciptaan lapangan kerja semata, melainkan mencakup peningkatan kesadaran karier sejak dini, transformasi paradigma pendidikan, serta penguatan ekosistem kewirausahaan berbasis teknologi yang memerlukan sinergi antara individu, institusi pendidikan, dan pemerintah. Dengan berpijak pada nilai-nilai Al-Qur’an dan keteladanan Rasulullah, bukan tidak mungkin kita bisa mencetak generasi yang tangguh, adaptif, dan produktif menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera.

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hamimy, M. F. (2025). Dilema Lulusan Perguruan Tinggi, Punya Gelar tapi Sulit Cari Kerja | kumparan.com. https://kumparan.com/faishol-hamim/dilema-lulusan-perguruan-tinggi-24XtJL3m69A

Al-Zuhaili, W. (1991). At‑Tafsīr al‑Munīr fī al-ʿAqīdah wa al‑Syarīʿah wa al‑Manhaj (Juz 29). Dar Al-Fikr.

BPS. (2024). Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,91 persen dan Rata-rata upah buruh sebesar 3,27 juta rupiah per bulan. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/11/05/2373/tingkat-pengangguran-terbuka–tpt–sebesar-4-91-persen-.html

Safitri, R. D., & Rezza, M. (2025). Membedah Tren Tingginya Angka Pengangguran Terbuka Pada Gen Z Di Indonesia. Jurnal Intelek Insan Cendikia, 2(1).

Taufiqurrahman, Y. (2024). Persentase ‘Sarjana Pengangguran’ di RI Meningkat Dua Kali Lipat Selama 1 Dekade Terakhir—GoodStats Data. https://data.goodstats.id/statistic/persentase-sarjana-pengangguran-di-ri-meningkat-dua-kali-lipat-selama-1-dekade-terakhir-9ah2d

Yunus, M. (2003). Tafsir Quran Karim (Cet-7). Klang Book Centre.

 

Kontributor

  • Aulia Sarah Nasarudin

    Aulia Sarah Nasarudin, lahir di Karawang 19 April 2004. Mahasiswi Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta. Sedang mendalami penulisan akademik dan aktif menulis karya ilmiah. Email: auliasarahn19@gmail.com IG: @aul.iaasrh