Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Habib Ali Al-Jufri: Musibah Besar Jika Bukan Ahlinya Berfatwa

Avatar photo
50
×

Habib Ali Al-Jufri: Musibah Besar Jika Bukan Ahlinya Berfatwa

Share this article

Salah
satu kekeliruan
beragama
adalah bila persoalan agama ditanyakan kepada orang yang tidak tepat. Termasuk
bertanya kepada orang alim
yang ditanya seputar hal-hal yang tidak diketahuinya, namun
nekad memberikan jawaban.
Habib
Ali al-Jufri
menyoroti bahwa seorang mufti semestinya mendalami realita
dari persoalan yang ditanyakan kepadanya.

Penulis
buku Al-Insaniyah Qabla at-Tadayun (Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan)  ini mengatakan bahwa seorang mufti tidak
diperbolehkan menurut syariat,
menetapkan
hukum
atas realita yang berubah-ubah sebelum betul-betul memahaminya. 

“Apabila
dia mengeluarkan
fatwa
atas suatu realita namun dia sendiri tidak mengetahui detail-detailnya, maka
dia berdosa,” terang beliau
.

Dalam
pernyataan yang dimuat Sada al-Balad, pemilik nama lengkap Sayyid
Al-Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri ini menerangkan bahwa
seorang mufti harus memiliki dan menguasai instrumen metodologi yang dapat ia
gunakan untuk melakukan pembaharuan fatwa bilamana terdapat faktor kebutuhan
untuk harus memperbarui fatwa. 

“Karakter
fatwa itu terpengaruh oleh tempat, waktu dan keadaan, di samping ada
perkara-perkara tsawabit (paten dan absolut) yang tidak dapat diijtihadi,”
jelas murid Habib Umar bin Hafiz ini.

Pendiri
sekaligus pemimpin Tabah Foundation ini mengajak kaum muslimin agar
meminta fatwa dari para spesialis dan pakar di bidang mereka masing-masing.
Meminta fatwa kepada o
rang yang
tidak kapabel di bidangnya justru akan memunculkan fatwa-fatwa yang
kontradiktif dan
mengarah kepada bencana dan petaka.

“Fatwa-fatwa
terkait dunia medis dan kedokteran, harus merujuk kepada para dokter
spesialis,” tandas beliau. 

Pendakwah
sunni kelahiran Jeddah Arab Saudi ini mengingatkan bahwa Allah swt.
memerintahkan kita untuk melakukan ikthiar dan usaha
, dan melarang siapa saja mengeluarkan
fatwa tentang masalah terkait kesehatan, lingkungan atau lainnya kecuali
sesudah merujuk kepada para pakar yang menguasai
bidang tersebut.

“Barang
siapa berfatwa dalam hal itu tanpa merujuk kepada pakar dan spesialis di bidang
terkait, telah menyalahi perintah Allah,” ujar beliau.


Menurut
Habib Ali al-Jufri, kaum muslimin sekarang hidup di tengah dua bahaya
ekstremisme. 

Muncul
pandangan ekstrem yang memanfaatkan fatwa sebagai alat untuk menguasai dan
mengarahkan manusia untuk menebarkan kebencian, permusuhan dan kejahatan.

Sebaliknya,
ada bentuk ekstremisme lain yang berasal dari ceruk yang sama. Ada kampanye
yang mengajak untuk mencerabut fatwa dari akarnya, menganggap fatwa sebagai
bentuk dominasi absolut, dan menyatakan bahwa setiap orang secara bebas berhak
mengambil apa yang dia sukai.

Kenyataan
di atas, dalam pandangan Habib yang lebih suka berdakwah di kampus dan forum
ilmiah ini, dapat dilihat dalam fatwa-fatwa keagamaan terkait pandemi Covid-19.
Ada fenomena ekstremisme yang menolak segala bentuk protokol kesehatan untuk
mencegah penularan virus dan membantah perintah Allah untuk berikhtiar
melakukan pencegahan. Pada saat bersamaan, ada bentuk ekstremisme lain yang
mengesankan untuk tidak berlebihan dalam urusan ibadah seperti shalat dan
jamaah di masjid sementara terjadi banyak kerumunan dengan pelbagai macam
bentuknya. 

“Padahal
agama
Islam
menyuruh bersikap adil dalam
bersikap,” terang beliau. 

Kontributor

  • Abdul Majid

    Guru ngaji, menerjemah kitab-kitab Arab Islam, penikmat musik klasik dan lantunan sholawat, tinggal di Majalengka. Penulis dapat dihubungi di IG: @amajid13.