Telah kita ketahui bersama bahwa sahabat merupakan generasi (thabaqah) pertama yang mendengarkan hadits secara langsung dari Nabi Muhammad Saw. Mereka juga adalah orang yang paling perhatian dan paling loyal dalam menjaga sunah-sunah Rasul-Nya; baik dengan menghafal, mengamalkan, mencatat, serta mengajarkannya.
Oleh sebab faktor tersebut, tidak heran jika era masa sahabat merupakan masa terbaik umat Islam sebagaimana termaktub di dalam al-Quran dan Hadits.
Namun, tidak sedikit dari kita bertanya-tanya di dalam hati: mengapa sebagian sahabat meriwayatkan hadits lebih banyak daripada sebagian sahabat yang lain?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, alangkah baiknya jika kita mengenal lebih dulu apa sebenarnya arti riwayat itu sendiri.
Riwayat dalam disiplin Musthalah Hadits memiliki arti:
حمل الحديث ونقله وإسناده إلى من عزي إليه بصيغة من صيغ الأداء
“Menerima hadits dan menyampaikannya, serta menisbatkannya kepada orang yang menyampaikannya (Qail) dengan menggunakan redaksi Ada’ (menyampaikan hadits) seperti Sima’ (mendengar), Qiraah (membaca), Ijazah, dll.“.
Dari istilah di atas dapat dipahami bahwa seseorang yang menerima (Hamlu) hadits akan tetapi ia belum bisa atau tidak menyampaikannya (Ada’) maka ia belum dikatakan meriwayatkan hadits.
Ahmad Shanbur dalam kitabnya, Min An Naby Ila Al Bukhori menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan para sahabat berbeda-beda dalam jumlah periwayatan hadits. Di antaranya:
1. Faktor Zaman
Dengan meninjau ulang tahun wafat para sahabat di kitab-kitab sejarah, kita dapat dengan mudah menemukan bahwa sahabat yang banyak meriwayatkan Hadits (Al Muktsirin) hidup lebih lama dibanding sahabat yang sedikit meriwayatkan hadits (Al Muqillin).
Dalam artian sahabat yang hidup lebih lama secara otomatis mempunyai kesempatan untuk meriwayatkan hadits lebih banyak daripada sahabat yang wafat lebih dahulu.
Contoh: Riwayat Sayyidah Aisyah—2.210 hadits—(w. 57 H) tentu lebih banyak dari riwayat Sayyidah Fatimah—18 hadits—(w. 11 H), dan riwayat Sayyidina Anas bin Malik—2.286 hadits—(w. 93 H) tentu lebih banyak dari riwayat Sayyidina Abu Bakar—142 hadits—(w. 13 H).
2. Faktor Tempat
Faktor geografis juga mempunyai dampak yang sangat besar dalam banyak dan sedikitnya periwayatan hadits.
Seperti halnya sahabat yang tinggal di Madinah tentu saja lebih banyak meriwayatkan hadits dibanding sSahabat yang tinggal di wilayah Kufah, Mekah, atau pun Basrah, sebab pada saat itu Madinah menjadi pusat keilmuan serta banyak dihuni oleh penuntut ilmu dari pelbagai penjuru negara.
Contoh: jumlah hadits yang diriwayatkan Sahabat Abu Musa Al Asyari (w. 44 H) selama di kufah—mulai tahun 17 H. s/d 29 H.—hanya berjumlah 76 hadits, naik secara drastis—100 hadits—ketika ia pindah ke kota Kufah pada tahun 30 H (bilangan versi Marwiyyat yang ada di Kutub As Sittah); sebab saat itu Kufah menjadi pusat keilmuan ke dua setelah kota Madinah.
3. Ahwal Asy Syakhsiyyah (Keadaan Seseorang)
Masalah kepribadian juga mempengaruhi banyak dan sedikitnya jumlah hadist yang diriwayatkan para sahabat di saat itu. Sebab tidak semua sahabat mencurahkan sebagian besar waktunya untuk mengajar atau meriwayatkan hadits.
Seperti contoh: Sahabat yang disibukkan dengan Futuhat—pembebasan suatu wilayah—dan jihad tentunya mempunyai sedikit periwayatan hadits dibanding Sahabat yang tidak tersibukkan dengan Futuhat. Seperti Panglima perang Khalid bin Walid (w. 21 H) yang tercatat hanya meriwayatkan 5 hadits.
Sahabat yang memprioritaskan hidupnya hanya untuk beribadah, tentu mempunyai sedikit periwayatan hadits dibanding sahabat yang tidak memprioritaskan seluruh hidupnya untuk ibadah.
Seperti Sahabat Abdullah bin Amr bin Ash (w. 63 H) yang mendedikasikan sebagain besar hidupnya untuk beribadah dibanding meriwayatkan hadits. Walau begitu, ia termasuk dalam kategori Al Muktsirin (Meriwayatkan 700 Hadits)
4. Metode Menyampaikan Hadits
Metode (Manhaj) dalam meriwayatkan hadits juga mempengaruhi banyak dan sedikitnya jumlah periwayatan hadits. Sebagaimana metode periwayatan hadits di Masa Khulafa Rasyidin yang lebih menitik beratkan sedikitnya periwayatan hadits (Taqlil Riwayat)—khususnya di zaman khalifah Umar bin Khattab—berbeda halnya dengan metode setelahnya, dimana halaqah-halaqah hadits mulai semarak seperti halnya yang dilakukan sahabat Abu Hurairah.
5. Lamanya Bermulazamah Dengan Nabi Saw
Lamanya bermulazah dengan Nabi Saw juga berpengaruh dalam jumlah hadits yang diriwayatkan. Seperti halnya riwayat Sayyidah Aisyah yang menjadi istri Nabi Saw dan Sahabat Anas yang menjadi khadim Nabi saw selama sepuluh tahun, tentu lebih banyak dari sahabat yang tidak lama bermulazamah dengan Nabi Saw.
Begitu juga sahabat yang menjadi Wafidin (utusan) dari kabilahnya masing-masing atau sahabat yang baru memeluk islamnya di periode akhir masa risalahnya Nabi Saw.
Itulah faktor-faktor yang menyebabkan jumlah periwayatan hadits para sahabat berbeda-beda dari yang satu dengan yang lainnya. Semoga bermanfaat.
Sumber:
1. Ali Ahmad Ad Dzohiry Al Andalusy, Asma’ As Shohabah wa Ma Li Kulli Wahidin Minhum Min Al Adad, Al Maktabah Al Quran, Kairo.
2. Nurrudin Itr, Manahij Al Muhadditsin Al Ammah, Dar As Salam, Kairo.
3. Ahmad Shanbur, Min An Naby Ila Al Bukhori, Dar Fath, Yordania