Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Islam Kejawen di Tengah Komunitas Madura

Avatar photo
28
×

Islam Kejawen di Tengah Komunitas Madura

Share this article

Raksasa pemikir Islam, Imam Al-Ghazali, pernah menulis buku khusus untuk memberi sinyal kesesatan kaum Batiniyah yang berjudul Fadhaih Bathiniyah wa Fadha’il Mustazhiriyah. Buku ini adalah hadiah bagi khalifah Al-Mustazhir (w. 512 H).

Meski bernuansa politis karena mempunyai tujuan untuk meredam pengaruh Syiah Ismailiyah yang kental kebatinannya, tapi tak lantas mengurangi kualitas ilmiah buku ini. Buku Al-Ghazali ini memang bukan buku pertama yang membahas Batiniyah. Ada Imam Al-Baqillani dari mazhab Asy’ari dan beberapa ulama Muktazilah sebelumnya.

Batiniyah, di Indonesia, lebih dikenal dengan kebatinan atau kejawen. Sebuah aliran sinkretis yang mencoba menyinkronkan ajaran Islam dengan ajaran atau agama masa lalu. Jika di Batiniyah, kata Al-Ghazali, mencampur aduk ajaran Islam dengan dualisme Zoroaster yang berkembang di Persia serta teori filsafat, maka kejawen di Indonesia menyajikan ajaran Islam dengan warisan Hindu dan Budha dalam satu kesatuan.    

Berdirinya kesultanan Islam di Jawa seperti Demak (1475-1554 M) dan Mataram (1588-1680 M) membuat cendekiawan dan sastrawan Jawa memutar otak untuk, setidaknya, mempertahankan ajaran leluhur. Islam kejawen adalah upaya menyinkronkan ajaran leluhur dengan agama baru yang banyak mendapat atensi rakyat masa itu: Islam.

Kalangan cendekiawan dan sastrawan itu kemudian mengadaptasi istilah-istilah yang masyhur dalam Islam ke dalam prosa Jawa (macapat) yang mudah diucapkan oleh masyarakat. Terkadang memang sengaja disajikan samar-samar sehingga nilai sastrawi sekaligus magisnya lebih kuat.

Baca juga: Kejeniusan Ulama Membaca Kitab Berkali kali

Ciri-ciri Kejawen

Ciri-ciri kejawen, seperti dicatat oleh Prof. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen, ada tiga.

Pertama, para sastrawan Jawa umumnya tidak banyak pengetahuan bahasa Arab dan Islam sehingga banyak istilah Islam diterjemah sesuai dengan tanggapan dan pemahaman sendiri. Akibatnya banyak istilah yang samar dan sulit dipahami. Poerbatjaraka mengakui, “kaum klenik (kejawen) jika bersua dengan kitab klenik yang samar-samar malahan dianggap sangat indah dan murni.”

Kedua, istilah Islam sengaja ditafsirkan sesuai dengan penafsiran kaum kejawen. Dalam Serat Hidayat Jati, Allah diterangkan sebagai: “Iya sejatine kang aran Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun”.

Ketiga, menempatkan kepentingan politis kaum priyayi sebagai nilai tertinggi. Masalah-masalah agama diarahkan untuk kebesaran kerajaan dan kesucian sang raja. Dalam Serat Wedhatama disebutkan: “Jika kamu terpaksa meniru, contoh teladan Nabi, o anakku, itu terlalu jauh jangkauanmu, biasanya tidak kuat. Karena kamu priyayi Jawa, syariat itu sedikit saja cukup, jangan cari pujian, jangan mengikuti aturan persis seperti dalam fikih. Kalau kuat memang keramat.” Zainul Milal Bizawie dalam bukunya, Perlawanan Kultural, menempatkan Serat Cebolek karya Mbah Mutamakkin sebagai perlawanan terhadap karya kejawen yang memiliki ciri khas mengabdi pada istana.

Tasawuf Dijadikan Pintu Masuk

Penganjur kejawen melihat tasawuf Islam sebagai pintu paling terbuka untuk dimasuki sehingga mereka selalu mengasosiasikan diri pada ajaran tasawuf. Istilah yang diadaptasi juga diambil dari tasawuf. Dalam serat Wedhatama ada istilah “sembah catur” yang terdiri dari sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa, sebagai gubahan empat taraf menjalankan tasawuf, yakni syariat, tarekat, hakekat dan makrifat.

Dalam masa kebangkitan sastra Jawa, kesusastraan Jawa baru di Kertasura dan Surakarta hampir tidak bisa dipahami secara baik tanpa mengenal ajaran Islam, utamanya tasawuf. Ronggowarsito (1873 M) sebagai sastrawan kejawen paling masyhur dan disebut “sastrawan penutup” menulis dalam karya-karyanya banyak sekali istilah-istilah tasawuf yang disamarkan dan dikaburkan dari maksud aslinya.

Kejawen di Tengah Komunitas Madura

Belakangan, dengan semakin kuatnya Islam sebagai ajaran dan tradisi masyarakat Indonesia, kejawen seakan tenggelam dan jurang antara mereka dengan Islam semakin menganga. Kejawen sudah tidak bisa mengintegrasikan diri ke dalam Islam. Ini yang tampak di permukaan.

Kenyataan di lapangan bisa berbeda. Penulis beberapa kali bertemu dengan komunitas maupun individu yang masih kukuh mengamalkan ajaran kejawen. Di Kraksaan Probolinggo, penulis pernah bertemu dengan komunitas Madura yang menjadi pengamal ajaran-ajaran kejawen. Komunitas ini legal secara hukum, sebab berteduh di bawah payung padepokan (perguruan silat) dan memiliki ribuan pengikut yang tersebar di kawasan tapal kuda Jawa Timur.

Dalam obrolan santai, mereka mengaku bahwa moyang mereka terhubung dengan Syaikhona Khalil Bangkalan selayaknya guru-murid. Meski, tanpa sungkan mereka tidak shalat tatkala penulis mengajak shalat maghrib. Katanya, jika sudah punya ‘kunci surga’ tak butuh lagi shalat. Kalaupun harus shalat, semata karena menghindari perasaan dan caci maki tetangga. “Kami sudah makrifat,” tegas mereka.

Di tahun 80-an, satu kitab kejawen berjudul Bayan Alif pernah menjadi konsumsi komunitas kejawen di pesisir utara Bangkalan Madura. Suatu buku yang menjelaskan rahasia-rahasia huruf alif dengan pendekatan tasawuf falsafi yang mengarah ke konsep manunggaling kawulo Gusti.

Baca juga: Kitab Biografi Veteran Perang Badar Dari Cirebon

Tak ada yang salah dengan Bayan Alif karena kitab semacam itu ada dalam karya-karya Ibnu Arabi. Rahasia-rahasia (asrar) huruf hijaiyah biasa ditulis dalam tasawuf nadzari. Yang kemudian bermasalah adalah siapa yang mengonsumsinya? Komunitas semacam ini sering memandang remeh syariat sebagai pondasi tasawuf.

Dalam dunia pesantren Jawa-Madura, karya-karya tasawuf biasa dikonsumsi bersanding dengan fikih. Itu didasari kesadaran mendalam atas ucapan Imam Malik, “Siapa yang belajar fikih tanpa tasawuf maka akan fasik, siapa yang belajar tasawuf tanpa fikih maka akan zindik (sesat), siapa yang menggabungkan keduanya maka akan sampai pada kebenaran.”

Kejawen Pasti Sesat?!

Apakah ajaran kejawen/kebatinan semuanya pasti sesat?

Pertanyaan ini pernah diajukan ke Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan (Rois Am Jam’iyah Ahlu Thoriqah Mu’tabaroh NU), dan dijawab dengan sangat moderat bahwa tidak semua ajaran semacam itu sesat. Dia membaginya menjadi dua: ada hitam ada putih. Kebatinan putih diajarkan dan diwariskan oleh para sunan dengan ciri khas bacaan dan ritual yang sesuai dengan syariat. Sementara hitam adalah sebaliknya, seperti kasus di lapangan yang saya sebutkan. Mereka cenderung menyepelekan syariat layaknya kaum Batiniyah yang digambarkan Al-Ghazali dalam bukunya.

Kesimpulan

Ada kesamaan antara Batiniyah yang dikaji Imam Al-Ghazali dengan kejawen: sinkronisasi ajaran Islam dengan ajaran masa lampau. Apa yang dilakukan sastrawan Jawa seperti Ronggowarsito berbeda dari warisan para sunan. Para sunan dalam dakwahnya memang mengadopsi budaya Jawa tapi bukan melemahkan Islam. Ronggowarsito dan leluhurnya berusaha bertahan dengan ajarannya, terkadang dengan menyerang fikih sebagai representasi syariat: “…. karena kamu priyayi Jawa, syariat itu sedikit saja cukup, jangan cari pujian, jangan mengikuti aturan persis seperti dalam fikih.”

Kejawen mendapat tempat secara remang-remang di tengah masyarakat kita. Ajaran ini disukai karena cenderung menghalalkan cara-cara menjauh dari ajaran agama yang masih dianggap beban oleh sebagian orang. Namun tanpa merasa jauh dari agama. Kejawen dianggap jalan pintas untuk makrifat. Terkadang guru kejawen memang dilengkapi dengan semacam kesaktian, seperti dia bisa tahu kapan akan mati, bisa membaca pikiran orang dst. sehingga semakin meyakinkan awam bahwa ajaran ini benar.

Kontributor

  • Abdul Munim Cholil

    Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya