Sore itu kami sampai di Mekkah Mukarramah, Mekah Yang Dimuliakan. Saya masih tidak menyangka, akhirnya saya berkesempatan mengunjungi Baitullah. Mungkin bagi orang berkantong tebal, itu perkara gampang. Tapi bagi anak desa seperti saya, ini adalah peristiwa yang luar biasa.
Saya bersyukur karena ditakdirkan kuliah di al-Azhar asy-Syarif. Berkat al-Azhar, akhirnya sekarang saya bisa berkunjung ke Baitullah, menghadap panggilan Allah, menjalankan umrah.
Diceritakan bahwa setelah Nabi Ibrahim selesai membangun Ka’bah, beliau menyeru, “Wahai para hamba Allah, penuhilah panggilan Tuhanmu!”
Diceritakan bahwa seruan tersebut sampai tembus ke seluruh penjuru, semua makhluk baik yang di langit maupun yang di bumi, serentak mendengarkan seruan itu.
Maka saya bersyukur, saat ini, saya bisa sampai di sini. Itu jelas berkah al-Azhar. Lalu alasan kenapa saya bisa sampai ke Azhar, itu adalah berkah para masyayikh dan para guru di pesantren Kediri dulu. Tidak mungkin tiba-tiba hati ini bergerak untuk mengarungi samudera ilmu ini, jika tanpa pengajaran dan pengenalan ilmiah oleh para guru di pondok dulu.
Dan terkahir, mustahil saya bisa merasakan manisnya keilmuan pesantren, kalau tanpa pendidikan karakter yang ditanamkan sejak kecil oleh kedua orang tua saya. Ya, semua nikmat hidup, baik yang zahir dan yang batin ini, adalah berkat asuhan kedua orang tua saya. Memang seperti itulah Islam; menuntun manusia untuk tahu diri, juga kepada siapa dan bagaimana cara berterima kasih.
Ketika sampai di Mekah, saya saksikan umat manusia datang dari seluruh penjuru dunia. Dan satu hal yang tiada henti terlintas di benakku adalah kenapa bisa berkumpul manusia sebanyak ini. Ditambah lagi, meski berbeda kulit dan bahasa, semua terlihat akur, hangat dan rukun satu sama lain. Seolah semua sepakat: kita yang berbeda ini, adalah satu kesatuan; kesatuan identitas sebagai hamba, sebagai tamu Allah, sebagai kelompok yang dalam ruang kesadaran dan kemanusiaan telah disejajarkan dalam satu kiblat bernama Ka’bah, Baitullah.
Melihat itu semua, tiba-tiba saja pikiranku mengembara pada kejadian ribuan tahun silam. Tepatnya pada peristiwa Nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya yang terdiri dari orang-orang lemah dan termarjinalkan, kala itu mereka terusir dari Mekah, kampung halaman mereka sendiri.
Alih-alih bisa menikmati ibadah salat dan tawaf dengan bebas seperti kita saat ini, mereka, para kaum muslimin masa awal-awal dulu, selalu mendapat intimidasi dan persekusi oleh kafir Quraisy.
Para sahabat Nabi Saw bisa beribadah dengan agak bebas di Mekah, baru pada tahun ke enam hijriah, ketika disepakati gencatan senjata dari kaum muslimin dan kafir Mekah yang ditandai dengan perjanjian Hudaibiyah. Itu pun tidak bebas sepenuhnya.
Orang-orang Islam yang tinggal di Mekah, dalam salah satu butir perjanjian itu, tidak diperbolehkan untuk mendatangi Nabi di Madinah. Ingin rasanya mereka segera bergabung bersama Nabi, namun Nabi menolak karena sudah masuk dalam kesepakatan dua belah pihak. Di waktu yang sama, Nabi Saw meminta kaum muslimin untuk bersabar dan menghibur mereka, bahwa Nabi Saw melihat akan tibanya pertolongan dari Allah Swt kepada mereka, kaum muslimin yang lemah waktu itu.
Ternyata, kaum muslimin yang tinggal di Mekah, tidak ambil diam. Mereka terus melakukan perlawanan. Hal itu membuat kafir Quraisy agak kerepotan dan akhirnya mengirim delegasi kepada Nabi Saw agar butir perjanjian yang mengatakan orang Islam Mekah tidak diperbolehkan hijrah ke Madinah, untuk dibatalkan. Nabi Saw pun menyanggupi.
Akhirnya, kaum muslimin Mekah lega. Dan tidak disangka, Abu Jandal sebagai tetua atau pemimpin kaum Muslimin di Mekah kala itu, membuat keputusan yang mengejutkan. Meski merasa berat tinggal di Mekkah, tapi mereka lebih memilih keputusan dan nasehat Nabi Saw untuk tinggal Mekkah. Mereka lebih memilih untuk melawan ego mereka dan lebih senang untuk mengikuti arahan Nabi Saw.
Dan ternyata benar: saat kaum muslimin tinggal di Mekkah dan hidup berdampingan dengan kafir Quraisy, karena melihat bagaimana cara hidup dan muamalah kaum muslimin secara langsung, lambat laun orang-orang Mekkah terketuk hatinya dan mendapatkan hidayah keimanan.
Itulah kabar gembira yang pernah dikatakan oleh Nabi Saw. Saking dahsyatnya pengaruh dan dampak keimanan mereka, sampai-sampai Abu Bakar Ra mengatakan: “Tidak ada pertolongan Allah Swt dalam Islam yang lebih besar dibanding pertolongan Hudaibiyah. Sesungguhnya manusia lemah pikirannya (tidak mengetahui) perihal kebenaran antara Muhammad Saw dan Tuhannya. Manusia suka terburu-buru, tapi Allah Swt tidak terburu-buru sebagaimana keinginan manusia sehingga terjadilah sesuatu sesuai kehendak-Nya.”
Setelah kejadian perjanjian Hudaibiyah ini, kemenangan Islam sampai pada puncaknya ketika terjadi Fathu Mekkah (Terbukanya Kota Mekah) pada tahun ke delapan hijriah. Sejak saat itu, orang Islam bisa leluasa beribadah di kampung halamannya serta melaksanakan salat dan tawaf di Baitullah yang mulia.
Pada tahun kesepuluh hijriah, Nabi melaksanakan Haji Wada ( haji perpisahan) dan memberikan Khutbah Wada ( khotbah perpisahan). Beliau mengajarkan dan menjelaskan banyak hal. Di antara isinya adalah:
“Wahai umat manusia, sesungguhnya orang-orang beriman adalah satu saudara. Tidak halal harta seseorang bagi saudaranya yang lain kecuali melalui cara yang makruf!
“Wahai umat manusia, sesungguhnya Tuhan kalian itu Satu, dan bapak kalian adalah satu jua. Kalian semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Tiadalah keutamaan bagi orang arab atas orang ajam kecuali dengan ketakwaan.”
Apa yang diajarkan Nabi Saw di atas adalah nilai keuniversalan. Kita hanya tunduk pada satu Tuhan: sebuah kehendak dan kuasa yang absolut. Begitu pun dalam satu kemanusiaan. Tidak ada nilai unggul satu sama lain di antara ras, kelamin, bahasa dan kebudayaan. Rasanya sungguh aneh, bagaimana mungkin nilai-nilai persaudaraan yang kemanusiaan yang kian dijunjung tinggi di era modern kini, ternyata telah dirumuskan sejak empat belas abad silam, di suatu tanah yang gersang, yang sebelumnya asing dari “lirikan” peradaban. Kalau tidak bersumber dan kebenaran wahyu dan nubuat dari langit, jelas itu adalah kemustahilan!